CAFE BUDAYA GEMA FAJAR

Selasa, 26 Agustus 2014

SASTRA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU PERINTIS SASTRA DUNIA


Oleh: Gema Kertanegara, S.S., M.A.

Sebetulnya, Indonesia memiliki peran besar yang bisa dibanggakan oleh dunia internasional. Hal ini, bisa kita telurusi dari tradisi sejarah sastra Indonesia di awal permunculannya. Ternyata, kurun waktu lahirnya tradisi sastra Indonesia sebanding dengan lahirnya syair epik Beowulf (abad ke-8), yang diklaim sebagai bagian dari sastra Inggris Kuno!

          Sebagaimana kita ketahui, sebelum Soempah Pemoeda (1928) dicetuskan, istilah untuk menunjuk Indonesia adalah “Hindia Belanda (Nederlandsche Indische)” dan “Nusantara”. Istilah yang pertama, merujuk pada wilayah koloni yang dikuasai secara politis oleh Belanda (pada abad ke-19 hanya tersisa pulau Jawa saja). Sementara yang kedua, dipakai untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang terdiri dari bangsa-bangsa. Istilah Nusantara sendiri mengacu pada konsep penggambaran kerajaan Majapahit (1293—1500), yang dipopulerkan kembali oleh Ki Hadjar Dewantara di awal abad ke-20. Maka, bahasa yang dijadikan pengantarnya pun sesuai dengan bahasa ibu dari masing-masing bangsa (Jawa, Sunda, Madura, Bugis, dan lain-lain). Tetapi, di samping bahasa ibu mereka juga menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca, artinya bahasa yang berfungsi sebagai pemersatu dalam bahasa pergaulan, pengantar, dan perdagangan. Penutur bahasa Melayu inilah yang paling banyak penuturnya di Nusantara dan kelak menjadi cikal-bakal bahasa Indonesia.
          Berabad-abad sebelum Masehi, Selat Malaka sudah mulai digunakan oleh pedagang Arab dan Persia sebagai lalu-lalang pelayaran mereka dalam membawa barang perniagaan dari Tiongkok (China), Sumatera, dan India ke pelabuhan Yaman. Pada saat itu, Yaman tidak hanya sebagai pusat kebudayaan bangsa Arab, tetapi juga memiliki kerajaan-kerajaan yang kuat seperti kerajaan Ma'in (1200 SM), kerajaan Qutban (1000 SM), dan kerajaan Saba' (950 SM). Kerajaan yang disebut terakhir, sudah menjalin hubungan perniagaan yang baik dengan Sumatera jauh sebelum bangsa Arab memeluk Islam (dalam Al-Quran, barulah peran Nabi Sulaiman dalam Islam sangat penting via ratu Bilqis). Dengan demikian, komoditas utama yang dianggap paling penting bagi kerajaan Saba' adalah rempah-rempah. Oleh karena itu, pulau Sumatera menjadi pulau yang dianggap penting karena di pulau inilah para pedagang itu mendapatkan rempah hasil bumi dari Maluku dan Aceh yang sudah terkenal kualitasnya di negeri Arab. Bahkan, menurut Utomo dan Rahman (2008: 24—32) kapur barus yang berfungsi sebagai pengawet mayat (untuk dimumikan) pada zaman Mesir kuno diambil dari wilayah Sumatera, yakni kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur (nama lain dari Barus).
        Kemudian, pada abad ke-1 Masehi para pedagang India mulai berlayar ke timur menuju Tiongkok dengan terlebih dahulu melalui Selat Malaka. Begitu juga halnya dengan pedagang Tiongkok yang hendak berlayar ke barat menuju India. Dengan demikian, pelabuhan yang terletak di kepulauan Melayu ini tidak hanya sebagai tempat persinggahan semata, tetapi juga sebagai tempat perdagangan para pedagang India dan Tiongkok. Di samping itu, berdatangan pula para penyebar agama baik dari India maupun Tiongkok, yang menyebabkan bahasa Melayu Purba mendapat pengaruh baru. Maka, dalam periode ini bahasa Melayu disebut juga sebagai bahasa Melayu Kuno.
          Hal ini dapat kita telusuri mulai dari kedatangan I-Tsing (635—713), seorang bhiksu[1] Tiongkok dalam era Dinasti Tang, yang menetap di Sriwijaya pada 685 untuk memperdalam bahasa Sansekerta. Dalam zaman itu, sudah ada perguruan tinggi agama Budha. Sedangkan bahasa resmi yang ditetapkan oleh kerajaan adalah bahasa Melayu. Dalam salah satu catatannya, I-Tsing menggunakan sebutan Mo-Lo-Yeu untuk menyebut dua buah kerajaan yang dilaluinya (periksa: Sunarto, dkk., 2001: 90). Lebih jauh, Chau Ju Kua, dalam bukunya Chufanchi (1225), juga mengungkap, pada abad ke-13 kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan yang sangat terkemuka, kuat, maju, dan makmur di Asia Tenggara. Wilayah taklukkannya, antara lain meliputi Kelantan, Batak, Aceh, Ceylon, Sunda, Myanmar, Filiphina, Siam, Kamboja, dan Campa. Maka, penutur bahasa Melayu juga berkembang di wilayah-wilayah tersebut (lihat: Wibowo, 2003: 123).

Sastra Indonesia Sebagai Perintis
          Sejalan dengan bahasan di atas, berkembangnya bahasa Melayu diperkuat dengan ditemukannya empat prasasti wiracarita (baca: epik) peninggalan kerajaan Sriwijaya, yaitu: (1) Prasasti Kedukan Bukit (Palembang). Prasasti ini bertarikh 605 tahun Saka (abad ke-7), dengan tulisan berhuruf Pallawa (kiranya inilah sastra Indonesia tertua); (2) Prasasti Talang Tuo (Palembang). Prasasti ini bertarikh 606 tahun Saka; (3) Prasasti Kota Kapur (Pulau Bangka), bertarikh 608 tahun Saka; dan (4) Prasasti Karang Brahi (Jambi), di Batang Merangin, bertarikh 614 tahun Saka. Berikut cuplikan prasasti Talang Tuo dan transliterasinya berdasarkan terjemahan Slamet Muljana:

Svasti. Cri cakavarsatita 606 dim dvitiya cuklapaksa vulan caitra, sana tatkalana parlak Criksetra ini niparvuat, parvan Dapunta Hyang Cri Yayanaca. ini pranidhanan Dapunta Hyang: 'Savanakna yang nitanam di sini; Niyur, pinang, hanau, rumviya, dngan samicrana yang kayu nimakan vuahna....

“Bahagia! Tahun Saka 606 pada hari kedua bulan terang caitra, itulah waktunya taman Sriksetra ini diperbuat, milik Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Ini pesan Dapunta Hyang: Semuanya yang ditanam di sini; nyiur, pinang, enau, rumbia, dan lain-lain yang berasal (dari) pohon, dimakan buahnya...”

          Berdasarkan cuplikan di atas, kita dapat menarik simpulan bahwa pada abad ke-7 struktur bahasa Melayu sudah berkembang. Selain itu, tradisi tulis pun kian menunjukkan peningkatan yang baik. Sementara itu, di Eropa pada abad ke-7 juga sudah mulai berkembang tradisi tulis, khususnya di Britania Raya (Great Britain). Sama halnya dengan di Nusantara, karya-karya di negeri-negeri Britania Raya juga pada awalnya berbentuk epik. Misalnya, naskah Beowulf (abad ke-8) yang diklaim sebagai sastra Inggris. Sedangkan karya yang diklaim sebagai sastra Inggris tertua adalah Caedmon's Hymn (abad ke-7 M). Padahal, di masa itu Inggris belumlah menjadi negara bersatu hingga tahun 927 M. Di samping itu, perlu juga dicatat bahwa wilayah Inggris di abad ke-7 meliputi Skotlandia di utara, Wales di barat, dan Laut Irlandia di barat laut. Wilayah Inggris juga hanya merupakan bagian dari Britania Raya. Oleh sebab itu, kesusasteraan Inggris diperkaya pula oleh karya-karya yang berasal dari negara-negara Britania Raya (di samping Irlandia Utara, Skotlandia, dan Wales). Salah satunya, syair epik paling terkenal Beowulf.
          Beowulf merupakan syair epik berlatarkan negara Skandinavia (Swedia dan Denmark). Syair yang mengisahkan kepahlawanan seorang kesatria bernama Beowulf itu, ditulis sekitar abad ke-8, oleh penulis Anglo-Saxon tak dikenal (anonim), serta ditulis dalam aksara Latin dengan menggunakan bahasa Inggris kuno. Bahasa Inggris kuno, pada awalnya adalah sejumlah dialek yang berasal dari kerajaan-kerajaan Anglo-Saxon di Inggris. Meskipun Syair ini ditulis di Inggris, akan tetapi pengarangnya adalah penulis Anglo Saxon. Karenanya, Beowulf  juga dapat digolongkan ke dalam kesusasteraan Anglo-Saxon. Namun demikian, hingga saat ini Beowulf dianggap sebagai sastra Inggris tertua.
          Hal di atas, bertalian erat dengan gelombang invasi pertama oleh pendudukan bangsa Viking pada abad ke-8 dan abad ke-9. Maka, berkembang pula tuturan bahasa Jermanik Utara, yakni bahasa Norwegia Kuno (Dansk Tunga) yang memengaruhi bahasa Inggris kuno. Penutur bahasa bangsa ini berasal dari cabang Skandinavia keluarga bahasa Jermanik. Kaum ini menghuni dan menaklukkan beberapa bagian negara Britania. Berikut cuplikan bait awal dari syair Beowulf yang menggunakan aksara Inggris kuno

            “Hwæet!
            Wē Gār-Dena
            in geārdagum,
           þēodcyninga, þrym gefrūnon,
           hū ðā æþelingas ellen fremedon”

Adapun terjemahan versi Thomas Meyer (2012) dalam bahasa Inggris dewasa ini menjadi:

            “HEY now hear
           what spears of Danes
           in days of years gone
           by did, what deeds made
           their power their glory —
           their kings & princes:”

          Sementara itu, Caedmon, dianggap sebagai Bapak puisi Inggris kuno, yang hidup di Northumbria, dalam abad ke-7, dan Caedmon's Hymn adalah satu-satunya puisi yang terlestarikan. Puisi ini hanya terdiri dari satu syair dan sembilan baris.
          Selain sastra Inggris, tradisi sastra tertua lainnya adalah sastra Perancis, yakni Piagam Strasbourg (Les Serments de Strasbourg), yakni dokumen perjanjian antara keturunan Charlemagne, yang ditulis pada 842 M (abad ke-9). Akan tetapi, tradisi kesusasteraannya dimulai sejak abad pertengahan. Sedangkan sastrawan terbesar yang pernah dimiliki Perancis adalah Emile Zola (1840). Sastra Belanda baru mengalami kemajuannya pada abad ke-17, sejalan dengan terbentuknya Republik Tujuh Provinsi (Republiek der Zeven Provincien). Zaman ini juga dikenal sebagai zaman keemasannya Belanda. Andries Pels, Jan Luijken, dan yang terkenal Justus Van Effen adalah nama-nama pelopor sastra Belanda. Ketiga penyair tersebut, banyak dipengaruhi oleh penyair-penyair dari Perancis. Hanya saja, dari abad ke-17 dan seterusnya, gaung kesenian di Belanda lebih identik dalam seni lukis. Sebut saja Rembrandt, Vermeer, hingga ke Van Gogh dan Mondriaan.
          Di lain tempat, era keemasan Sastra Rusia dimulai pada abad ke-18 dan 19, dengan munculnya nama-nama seperti Alexander Pushkin (1799) dan Leo Tolstoy (1828). Akan tetapi, karya sastra Rusia Lama dapat dijumpai dalam epik Slovo o polku Igoreve (atau The Tale of Igor's Campaign) ditulis pada abad ke-12 dengan menggunakan bahasa Slavia Timur Kuno; dan Moleniye Danila Zatochnika (atau Praying of Daniel the Immured), ditulis pada abad ke-13. Keduanya ditulis secara anonim (tanpa nama pengarang).
         Berpijak dari hal di atas, kiranya Nusantara dapat dikatakan sejajar atau bahkan memiliki tradisi sastra yang sangat kaya. Artinya, tradisi kesusasteraan Indonesia tidak kalah dengan kesusasteraan bangsa Eropa. Kerajaan Sriwijaya (kini Palembang), merupakan kerajaan yang kuat dan makmur selama hampir enam abad lamanya (abad ke-7 s.d. 13). Terlebih, bahasa resmi yang ditetapkan oleh kerajaan adalah Melayu. Artinya, kita berhak menyatakan bahwa sastra Indonesia sudah mulai lahir saat itu (tahun 605 tarikh Saka).
          Hal tersebut, yang juga dilakukan oleh Inggris terhadap naskah Beowulf, yang diklaim sebagai karya sastra Inggris. Padahal, naskah Beowulf lahir sebelum Inggris bersatu dan menjadi sebuah negara. Terlebih, istilah “England” pun belum dipergunakan saat itu. Istilah “England” dahulu digunakan untuk menyebut wilayah bagian selatan Britania Raya, seiring dengan ditaklukkannya wilayah ini oleh William (Duke of Normandy), pada 1066. Sedangkan dalam ejaan modern, istilah ini baru digunakan pada 1538. Namun, hingga sekarang Beowulf ditetapkan sebagai sastra Inggris. Artinya, dari empat prasasti Sumatera yang ditemukan di atas, disebut juga sebagai inskripsi sastra Indonesia tertua.

Sastra Indonesia Klasik
        Sementara itu, sejumlah pakar boleh saja menggambarkan secara periodik bahwa tradisi sastra Indonesia dimulai sejak awal abad ke-20. Jakob Soemardjo (1981: 11), misalnya, mengatakan bahwa secara historis kesusasteraan Indonesia mulai hadir sejak Merari Siregar melahirkan novel berbahasa Melayu yang pertama, yaitu Azab dan Sengsara (1920). Sedangkan roman Merari yang sebelumnya, yakni Si Jamin dan Si Johan (1919) dianggap sebagai roman saduran yang aslinya berjudul Jan Smees, karya Justus Van Maurik. Sementara itu, syair-syair yang hadir sebelum abad ke-20 hanya dianggap sebagai karya sastra Pujangga Lama, yang hanya dihiasi semangat istana (dibaca: Istana Sentris) dalam rangka membangun komunikasi politik suatu kerajaan dalam menggambarkan citra baik, agar dipandang arif dan berwibawa. Namun ternyata, asal-muasal sastra Indonesia dapat dilacak jauh sebelum abad ke-20.
           Sejatinya, karya yang bertendensi Istana Sentris menggunakan bahasa ibunya sebagai bahasa teks. Selain itu, puja-puji kepada raja pun tidak kurang apik karena karya tersebut berupa “pesanan” kaum bangsawan dari lingkungan istana (sama seperti memesan sebilah keris kepada seorang Empu). Di sinilah sastra ternyata berperan juga sebagai penyebar kekuasaan. Akan tetapi, bila mau dicermati lebih teliti kita akan menemukan bahwa beberapa penyair tidaklah bersifat Istana Sentris seperti yang terdapat dalam karakteristik Angkatan Pujangga Lama.
          Hamzah Fansuri (abad ke-16), misalnya, pujangga yang berasal dari Barus ini merupakan salah satu pujangga yang hidup di masa kesultanan Aceh. Akan tetapi, meskipun ia hidup di lingkungan istana, syairnya yang berjudul Syair Perahu, Syair Dagang, Syair Burung Pingai, dan Syair Sidang Fakir sudah menggunakan bahasa Melayu. Berikut salah satu kutipan dari bait Syair Perahu:

            Ingati sungguh siang dan malam                    Baiklah perahu engkau perteguh
            lautnya deras bertambah dalam                     hasilkan pendapat dengan tali sauh
            anginpun keras, ombaknya rencam                anginnya keras ombaknya cabuh
            ingati perahu jangan tenggelam.                    pulaunya jauh tempat berlabuh.
            …..................................................                   …..................................................
            Sampailah ahad dengan masanya                   Lengkapkan pendarat dan tali sauh
            datanglah angin dengan paksanya                 derasmu banyak bertemu musuh
            belajar perahu sidang budimannya                selebu rencam ombaknya cambuh
            berlayar itu dengan kelengkapannya.            La ilaha illallahu akan tali yang teguh.

          Dalam syair di atas, penggunaan bahasa Melayu makin mantap. Artinya, makin mendekati bahasa Indonesia dewasa ini. Implikasinya, nampaklah bahwa Fansuri tidak ada hubungannya dengan greget istana dalam berkarya atau dengan kata lain ia bukanlah kaum Istana Sentrisis. Hal ini dilakukan untuk mencerdaskan masyarakat sebangsanya yang rata-rata memahami bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Malahan, hingga dewasa ini Hamzah Fansuri lebih dikenal sebagai sastrawan yang karyanya bermuatan religi. Wajar, mengingat pengaruh agama Islam datang dari para pedagang Gujarat dan Persia, maka tak heran bila karya sastra Melayu dipengaruhi oleh sastra Persia dan Arab.
          Selain Hamzah Fansuri, dikenal pula nama-nama seperti Syekh Syamsudin Passai (1630), yang tercatat sebagai murid Hamzah Fansuri. Karyanya antara lain: Mi'ratul Iman (Filsafat dan Keimanan) dan Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (memuat tentang uraian karya sastra Hamzah Fansuri). Adapun nama besar lainnya adalah Nurudin al-Raniri, seorang penasehat kesultanan Aceh di masa Sultan Iskandar II. Karyanya yang paling monumental adalah Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja, 1636). Lalu yang terakhir, Abdurrauf Singkel (1615). Karyanya Tarjuman al-Mustafid, Syair Ma'rifah, dan Daqa'iq al-Huruf merupakan naskah yang ditulis dalam bahasa Melayu.
          Seperti halnya Hamzah Fansuri, ketiga penyair terakhir juga menyampaikan ajaran-ajaran agama dalam karyanya. Kiranya, tradisi berkarya dengan muatan religi ini juga berkembang hingga era Raja Ali Haji (1808). Hal tersebut dapat kita temukan dalam naskah Gurindam Dua Belas (1847). Tampaknya penyebaran Islam di Aceh, Pasai, dan Malaka memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap pandangan dunia mereka, sehingga dapat dikatakan wajar bila esensi sastra mereka memuat nasihat-nasihat agama.
          Adapun hal yang perlu digarisbawahi adalah penggunaan bahasa yang mereka tulis sudah berbahasa Melayu. Lalu, mengapa berbahasa Melayu? Kenapa tidak berbahasa Aceh atau berbahasa Arab yang notabene sebagai bahasa agama? Hemat saya, dalam hal ini para pengarang perintis sastra Indonesia di atas sudah memiliki semangat kebangsaan dan kesadaran dalam memajukan masyarakatnya. Agar karya sastra mereka dibaca dan mudah dipahami oleh masyarakat di Nusantara, maka penggunaan bahasa Melayu kiranya menjadi pilihan terbaik.

Jakarta, 2013




Daftar Rujukan

Sumardjo, Jakob. 1981. Sosiologis Novel Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.
Sunarto, P., dkk. 2001. Sejarah Nasional dan Umum. Jakarta: Bumi Aksara.
Utomo, Bambang Budi dan Nik Hasan Shuaimi Nik Abd Rahman. 2008. Zaman Klasik di Nusantara Tumpuan Kajian di Sumatera. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Wibowo, Wahyu. 2003. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.



[1] Sumber lain menyatakan I-Tsing adalah seorang musafir yang menceritakan situasi di Melayu (sebelum dikuasai Sriwijaya) secara tertulis pada 671 M. Dikatakannya, bahwa Melayu merupakan bandar yang ramai, dan memiliki hubungan yang dekat dengan India. Tahun 685 M adalah perjalannya ke Melayu yang kedua. Di era ini, Melayu diberitakannya sudah dikuasai oleh Sriwijaya.
Share This

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By Blogger Templates