Oleh: Gema Kertanegara, S.S., M.A.
Sebetulnya, Indonesia memiliki peran besar yang bisa dibanggakan oleh dunia
internasional. Hal ini, bisa kita telurusi dari tradisi sejarah sastra
Indonesia di awal permunculannya. Ternyata, kurun waktu lahirnya tradisi sastra
Indonesia sebanding dengan lahirnya syair epik Beowulf (abad ke-8), yang
diklaim sebagai bagian dari sastra Inggris Kuno!
Sebagaimana kita ketahui,
sebelum Soempah Pemoeda (1928) dicetuskan, istilah untuk menunjuk Indonesia
adalah “Hindia Belanda (Nederlandsche Indische)” dan “Nusantara”. Istilah yang
pertama, merujuk pada wilayah koloni yang dikuasai secara politis oleh Belanda
(pada abad ke-19 hanya tersisa pulau Jawa saja). Sementara yang kedua, dipakai
untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang terdiri dari bangsa-bangsa. Istilah
Nusantara sendiri mengacu pada konsep penggambaran kerajaan Majapahit
(1293—1500), yang dipopulerkan kembali oleh Ki Hadjar Dewantara di awal abad
ke-20. Maka, bahasa yang dijadikan pengantarnya pun sesuai dengan bahasa ibu
dari masing-masing bangsa (Jawa, Sunda, Madura, Bugis, dan lain-lain). Tetapi,
di samping bahasa ibu mereka juga menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua
franca, artinya bahasa yang berfungsi sebagai pemersatu dalam bahasa
pergaulan, pengantar, dan perdagangan. Penutur bahasa Melayu inilah yang paling
banyak penuturnya di Nusantara dan kelak menjadi cikal-bakal bahasa Indonesia.
Berabad-abad sebelum
Masehi, Selat Malaka sudah mulai digunakan oleh pedagang Arab dan Persia
sebagai lalu-lalang pelayaran mereka dalam membawa barang perniagaan dari
Tiongkok (China), Sumatera, dan India ke pelabuhan Yaman. Pada saat itu, Yaman
tidak hanya sebagai pusat kebudayaan bangsa Arab, tetapi juga memiliki
kerajaan-kerajaan yang kuat seperti kerajaan Ma'in (1200 SM), kerajaan Qutban
(1000 SM), dan kerajaan Saba' (950 SM). Kerajaan yang disebut terakhir, sudah
menjalin hubungan perniagaan yang baik dengan Sumatera jauh sebelum bangsa Arab
memeluk Islam (dalam Al-Quran, barulah peran Nabi Sulaiman dalam Islam sangat
penting via ratu Bilqis). Dengan demikian, komoditas utama yang dianggap paling
penting bagi kerajaan Saba' adalah rempah-rempah. Oleh karena itu, pulau
Sumatera menjadi pulau yang dianggap penting karena di pulau inilah para
pedagang itu mendapatkan rempah hasil bumi dari Maluku dan Aceh yang sudah
terkenal kualitasnya di negeri Arab. Bahkan, menurut Utomo dan Rahman (2008: 24—32)
kapur barus yang berfungsi sebagai pengawet mayat (untuk dimumikan) pada zaman
Mesir kuno diambil dari wilayah Sumatera, yakni kota-kota pelabuhan pantai
barat Panchur (nama lain dari Barus).
Kemudian, pada abad ke-1 Masehi
para pedagang India mulai berlayar ke timur menuju Tiongkok dengan terlebih
dahulu melalui Selat Malaka. Begitu juga halnya dengan pedagang Tiongkok yang
hendak berlayar ke barat menuju India. Dengan demikian, pelabuhan yang terletak
di kepulauan Melayu ini tidak hanya sebagai tempat persinggahan semata, tetapi
juga sebagai tempat perdagangan para pedagang India dan Tiongkok. Di samping
itu, berdatangan pula para penyebar agama baik dari India maupun Tiongkok, yang
menyebabkan bahasa Melayu Purba mendapat pengaruh baru. Maka, dalam periode ini
bahasa Melayu disebut juga sebagai bahasa Melayu Kuno.
Hal ini dapat kita
telusuri mulai dari kedatangan I-Tsing (635—713), seorang bhiksu[1] Tiongkok
dalam era Dinasti Tang, yang menetap di Sriwijaya pada 685 untuk memperdalam
bahasa Sansekerta. Dalam zaman itu, sudah ada perguruan tinggi agama Budha.
Sedangkan bahasa resmi yang ditetapkan oleh kerajaan adalah bahasa Melayu.
Dalam salah satu catatannya, I-Tsing menggunakan sebutan Mo-Lo-Yeu untuk
menyebut dua buah kerajaan yang dilaluinya (periksa: Sunarto, dkk., 2001: 90).
Lebih jauh, Chau Ju Kua, dalam bukunya Chufanchi (1225), juga mengungkap, pada
abad ke-13 kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan yang sangat terkemuka, kuat,
maju, dan makmur di Asia Tenggara. Wilayah taklukkannya, antara lain meliputi
Kelantan, Batak, Aceh, Ceylon, Sunda, Myanmar, Filiphina, Siam, Kamboja, dan
Campa. Maka, penutur bahasa Melayu juga berkembang di wilayah-wilayah tersebut
(lihat: Wibowo, 2003: 123).
Sastra Indonesia Sebagai Perintis
Sejalan dengan
bahasan di atas, berkembangnya bahasa Melayu diperkuat dengan ditemukannya
empat prasasti wiracarita (baca: epik) peninggalan kerajaan Sriwijaya, yaitu:
(1) Prasasti Kedukan Bukit (Palembang). Prasasti ini bertarikh 605 tahun Saka
(abad ke-7), dengan tulisan berhuruf Pallawa (kiranya inilah sastra Indonesia
tertua); (2) Prasasti Talang Tuo (Palembang). Prasasti ini bertarikh 606 tahun
Saka; (3) Prasasti Kota Kapur (Pulau Bangka), bertarikh 608 tahun Saka; dan (4)
Prasasti Karang Brahi (Jambi), di Batang Merangin, bertarikh 614 tahun Saka.
Berikut cuplikan prasasti Talang Tuo dan transliterasinya berdasarkan
terjemahan Slamet Muljana:
“Svasti. Cri cakavarsatita 606 dim dvitiya cuklapaksa vulan caitra, sana
tatkalana parlak Criksetra ini niparvuat, parvan Dapunta Hyang Cri Yayanaca.
ini pranidhanan Dapunta Hyang: 'Savanakna yang nitanam di sini; Niyur, pinang,
hanau, rumviya, dngan samicrana yang kayu nimakan vuahna....”
“Bahagia! Tahun Saka 606 pada hari kedua bulan terang caitra, itulah
waktunya taman Sriksetra ini diperbuat, milik Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Ini
pesan Dapunta Hyang: Semuanya yang ditanam di sini; nyiur, pinang, enau,
rumbia, dan lain-lain yang berasal (dari) pohon, dimakan buahnya...”
Berdasarkan cuplikan
di atas, kita dapat menarik simpulan bahwa pada abad ke-7 struktur bahasa
Melayu sudah berkembang. Selain itu, tradisi tulis pun kian menunjukkan
peningkatan yang baik. Sementara itu, di Eropa pada abad ke-7 juga sudah mulai
berkembang tradisi tulis, khususnya di Britania Raya (Great Britain).
Sama halnya dengan di Nusantara, karya-karya di negeri-negeri Britania Raya
juga pada awalnya berbentuk epik. Misalnya, naskah Beowulf (abad ke-8) yang
diklaim sebagai sastra Inggris. Sedangkan karya yang diklaim sebagai sastra
Inggris tertua adalah Caedmon's Hymn (abad ke-7 M). Padahal, di masa itu Inggris belumlah menjadi negara bersatu hingga tahun
927 M. Di samping itu, perlu juga dicatat bahwa wilayah Inggris di abad ke-7
meliputi Skotlandia di utara, Wales di barat, dan Laut Irlandia di barat laut.
Wilayah Inggris juga hanya merupakan bagian dari Britania Raya. Oleh sebab itu,
kesusasteraan Inggris diperkaya pula oleh karya-karya yang berasal dari
negara-negara Britania Raya (di samping Irlandia Utara, Skotlandia, dan Wales).
Salah satunya, syair epik paling terkenal Beowulf.
Beowulf merupakan
syair epik berlatarkan negara Skandinavia (Swedia dan Denmark). Syair yang
mengisahkan kepahlawanan seorang kesatria bernama Beowulf itu, ditulis sekitar
abad ke-8, oleh penulis Anglo-Saxon tak dikenal (anonim), serta ditulis dalam
aksara Latin dengan menggunakan bahasa Inggris kuno. Bahasa Inggris kuno, pada
awalnya adalah sejumlah dialek yang berasal dari kerajaan-kerajaan Anglo-Saxon
di Inggris. Meskipun Syair ini ditulis di Inggris, akan tetapi pengarangnya
adalah penulis Anglo Saxon. Karenanya, Beowulf juga dapat digolongkan ke
dalam kesusasteraan Anglo-Saxon. Namun demikian, hingga saat ini Beowulf
dianggap sebagai sastra Inggris tertua.
Hal di atas,
bertalian erat dengan gelombang invasi pertama oleh pendudukan bangsa Viking
pada abad ke-8 dan abad ke-9. Maka, berkembang pula tuturan bahasa Jermanik
Utara, yakni bahasa Norwegia Kuno (Dansk Tunga) yang memengaruhi bahasa Inggris
kuno. Penutur bahasa bangsa ini berasal dari cabang Skandinavia keluarga bahasa
Jermanik. Kaum ini menghuni dan menaklukkan beberapa bagian negara Britania.
Berikut cuplikan bait awal dari syair Beowulf yang menggunakan aksara Inggris
kuno
“Hwæet!
Wē
Gār-Dena
in
geārdagum,
þēodcyninga,
þrym gefrūnon,
hū ðā
æþelingas ellen fremedon”
Adapun terjemahan versi Thomas Meyer (2012) dalam bahasa Inggris dewasa ini
menjadi:
“HEY now
hear
what spears of
Danes
in days of
years gone
by did, what
deeds made
their power
their glory —
their kings
& princes:”
Sementara itu,
Caedmon, dianggap sebagai Bapak puisi Inggris kuno, yang hidup di Northumbria,
dalam abad ke-7, dan Caedmon's Hymn adalah satu-satunya puisi yang
terlestarikan. Puisi ini hanya terdiri dari satu syair dan sembilan baris.
Selain sastra
Inggris, tradisi sastra tertua lainnya adalah sastra Perancis, yakni Piagam
Strasbourg (Les Serments de Strasbourg), yakni dokumen perjanjian antara
keturunan Charlemagne, yang ditulis pada 842 M (abad ke-9). Akan tetapi,
tradisi kesusasteraannya dimulai sejak abad pertengahan. Sedangkan sastrawan
terbesar yang pernah dimiliki Perancis adalah Emile Zola (1840). Sastra Belanda
baru mengalami kemajuannya pada abad ke-17, sejalan dengan terbentuknya
Republik Tujuh Provinsi (Republiek der Zeven Provincien). Zaman ini juga
dikenal sebagai zaman keemasannya Belanda. Andries Pels, Jan Luijken, dan yang
terkenal Justus Van Effen adalah nama-nama pelopor sastra Belanda. Ketiga
penyair tersebut, banyak dipengaruhi oleh penyair-penyair dari Perancis. Hanya
saja, dari abad ke-17 dan seterusnya, gaung kesenian di Belanda lebih identik
dalam seni lukis. Sebut saja Rembrandt, Vermeer, hingga ke Van Gogh dan
Mondriaan.
Di lain tempat, era
keemasan Sastra Rusia dimulai pada abad ke-18 dan 19, dengan munculnya
nama-nama seperti Alexander Pushkin (1799) dan Leo Tolstoy (1828). Akan tetapi,
karya sastra Rusia Lama dapat dijumpai dalam epik Slovo o polku Igoreve
(atau The Tale of Igor's Campaign) ditulis pada abad ke-12 dengan
menggunakan bahasa Slavia Timur Kuno; dan Moleniye Danila Zatochnika (atau
Praying of Daniel the Immured), ditulis pada abad ke-13. Keduanya ditulis
secara anonim (tanpa nama pengarang).
Berpijak dari hal di atas,
kiranya Nusantara dapat dikatakan sejajar atau bahkan memiliki tradisi sastra
yang sangat kaya. Artinya, tradisi kesusasteraan Indonesia tidak kalah dengan
kesusasteraan bangsa Eropa. Kerajaan Sriwijaya (kini Palembang), merupakan kerajaan
yang kuat dan makmur selama hampir enam abad lamanya (abad ke-7 s.d. 13).
Terlebih, bahasa resmi yang ditetapkan oleh kerajaan adalah Melayu. Artinya,
kita berhak menyatakan bahwa sastra Indonesia sudah mulai lahir saat itu (tahun
605 tarikh Saka).
Hal tersebut, yang
juga dilakukan oleh Inggris terhadap naskah Beowulf, yang diklaim sebagai karya
sastra Inggris. Padahal, naskah Beowulf lahir sebelum Inggris bersatu dan
menjadi sebuah negara. Terlebih, istilah “England” pun belum dipergunakan saat
itu. Istilah “England” dahulu digunakan untuk menyebut wilayah bagian selatan
Britania Raya, seiring dengan ditaklukkannya wilayah ini oleh William (Duke of
Normandy), pada 1066. Sedangkan dalam ejaan modern, istilah ini baru digunakan
pada 1538. Namun, hingga sekarang Beowulf ditetapkan sebagai sastra Inggris.
Artinya, dari empat prasasti Sumatera yang ditemukan di atas, disebut juga
sebagai inskripsi sastra Indonesia tertua.
Sastra Indonesia Klasik
Sementara
itu, sejumlah pakar boleh saja menggambarkan secara periodik bahwa tradisi
sastra Indonesia dimulai sejak awal abad ke-20. Jakob Soemardjo (1981: 11),
misalnya, mengatakan bahwa secara historis kesusasteraan Indonesia mulai hadir
sejak Merari Siregar melahirkan novel berbahasa Melayu yang pertama, yaitu Azab
dan Sengsara (1920). Sedangkan roman Merari yang sebelumnya, yakni Si
Jamin dan Si Johan (1919) dianggap sebagai roman saduran yang aslinya
berjudul Jan Smees, karya Justus Van Maurik. Sementara itu, syair-syair
yang hadir sebelum abad ke-20 hanya dianggap sebagai karya sastra Pujangga
Lama, yang hanya dihiasi semangat istana (dibaca: Istana Sentris) dalam rangka
membangun komunikasi politik suatu kerajaan dalam menggambarkan citra baik,
agar dipandang arif dan berwibawa. Namun ternyata, asal-muasal sastra Indonesia
dapat dilacak jauh sebelum abad ke-20.
Sejatinya,
karya yang bertendensi Istana Sentris menggunakan bahasa ibunya sebagai bahasa
teks. Selain itu, puja-puji kepada raja pun tidak kurang apik karena karya
tersebut berupa “pesanan” kaum bangsawan dari lingkungan istana (sama seperti
memesan sebilah keris kepada seorang Empu). Di sinilah sastra ternyata berperan
juga sebagai penyebar kekuasaan. Akan tetapi, bila mau dicermati lebih teliti
kita akan menemukan bahwa beberapa penyair tidaklah bersifat Istana Sentris
seperti yang terdapat dalam karakteristik Angkatan Pujangga Lama.
Hamzah Fansuri (abad
ke-16), misalnya, pujangga yang berasal dari Barus ini merupakan salah satu
pujangga yang hidup di masa kesultanan Aceh. Akan tetapi, meskipun ia hidup di
lingkungan istana, syairnya yang berjudul Syair Perahu, Syair Dagang, Syair
Burung Pingai, dan Syair Sidang Fakir sudah menggunakan bahasa Melayu.
Berikut salah satu kutipan dari bait Syair Perahu:
Ingati
sungguh siang dan
malam
Baiklah perahu engkau perteguh
lautnya
deras bertambah
dalam
hasilkan pendapat dengan tali sauh
anginpun
keras, ombaknya
rencam
anginnya keras ombaknya cabuh
ingati
perahu jangan
tenggelam.
pulaunya jauh tempat berlabuh.
…..................................................
…..................................................
Sampailah
ahad dengan
masanya
Lengkapkan pendarat dan tali sauh
datanglah angin dengan
paksanya
derasmu banyak bertemu musuh
belajar
perahu sidang
budimannya
selebu rencam ombaknya cambuh
berlayar
itu dengan
kelengkapannya.
La ilaha illallahu akan tali yang teguh.
Dalam syair di atas,
penggunaan bahasa Melayu makin mantap. Artinya, makin mendekati bahasa
Indonesia dewasa ini. Implikasinya, nampaklah bahwa Fansuri tidak ada
hubungannya dengan greget istana dalam berkarya atau dengan kata lain ia
bukanlah kaum Istana Sentrisis. Hal ini dilakukan untuk mencerdaskan masyarakat
sebangsanya yang rata-rata memahami bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
Malahan, hingga dewasa ini Hamzah Fansuri lebih dikenal sebagai sastrawan yang
karyanya bermuatan religi. Wajar, mengingat pengaruh agama Islam datang dari
para pedagang Gujarat dan Persia, maka tak heran bila karya sastra Melayu
dipengaruhi oleh sastra Persia dan Arab.
Selain Hamzah
Fansuri, dikenal pula nama-nama seperti Syekh Syamsudin Passai (1630), yang
tercatat sebagai murid Hamzah Fansuri. Karyanya antara lain: Mi'ratul Iman
(Filsafat dan Keimanan) dan Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (memuat tentang uraian
karya sastra Hamzah Fansuri). Adapun nama besar lainnya adalah Nurudin
al-Raniri, seorang penasehat kesultanan Aceh di masa Sultan Iskandar II.
Karyanya yang paling monumental adalah Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja,
1636). Lalu yang terakhir, Abdurrauf Singkel (1615). Karyanya Tarjuman
al-Mustafid, Syair Ma'rifah, dan Daqa'iq al-Huruf merupakan naskah yang ditulis
dalam bahasa Melayu.
Seperti halnya
Hamzah Fansuri, ketiga penyair terakhir juga menyampaikan ajaran-ajaran agama
dalam karyanya. Kiranya, tradisi berkarya dengan muatan religi ini juga
berkembang hingga era Raja Ali Haji (1808). Hal tersebut dapat kita temukan
dalam naskah Gurindam Dua Belas (1847). Tampaknya penyebaran Islam di Aceh,
Pasai, dan Malaka memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap pandangan dunia
mereka, sehingga dapat dikatakan wajar bila esensi sastra mereka memuat
nasihat-nasihat agama.
Adapun hal yang
perlu digarisbawahi adalah penggunaan bahasa yang mereka tulis sudah berbahasa
Melayu. Lalu, mengapa berbahasa Melayu? Kenapa tidak berbahasa Aceh atau
berbahasa Arab yang notabene sebagai bahasa agama? Hemat saya, dalam hal ini
para pengarang perintis sastra Indonesia di atas sudah memiliki semangat
kebangsaan dan kesadaran dalam memajukan masyarakatnya. Agar karya sastra
mereka dibaca dan mudah dipahami oleh masyarakat di Nusantara, maka penggunaan
bahasa Melayu kiranya menjadi pilihan terbaik.
Jakarta, 2013
Daftar Rujukan
Sumardjo, Jakob. 1981.
Sosiologis Novel Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.
Sunarto, P., dkk.
2001. Sejarah Nasional dan Umum. Jakarta: Bumi Aksara.
Utomo, Bambang Budi
dan Nik Hasan Shuaimi Nik Abd Rahman. 2008. Zaman Klasik di Nusantara Tumpuan
Kajian di Sumatera. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Wibowo, Wahyu. 2003. Manajemen
Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[1] Sumber lain menyatakan I-Tsing
adalah seorang musafir yang menceritakan situasi di Melayu (sebelum dikuasai
Sriwijaya) secara tertulis pada 671 M. Dikatakannya, bahwa Melayu merupakan
bandar yang ramai, dan memiliki hubungan yang dekat dengan India. Tahun 685 M
adalah perjalannya ke Melayu yang kedua. Di era ini, Melayu diberitakannya
sudah dikuasai oleh Sriwijaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar