CAFE BUDAYA GEMA FAJAR

Sabtu, 11 April 2015

MEMBACA FILSAFAT KETUHANAN AL-KINDI


Oleh:
Gema Fajar Rakhmawan, S.S., M.A.[1]
Akhmad Fauzi, S.Hi., M.A.


Pamula         
  Pembahasan mengenai “Yang Ada” merupakan perbalahan panjang para filsuf semenjak Yunani hingga tradisi filsafat Islam lahir. Masing-masing filsuf memiliki pendapat berbeda dalam mengemukakan pemikirannya. Namun, mereka memiliki argumentasinya masing-masing untuk membenarkan pandangannya.Dalam filsafat umum, pembahasan mengenai Yang Ada atau Causa Prima merupakan tema sentral yang seringkali kita temui. Kajian tentang Yang Ada dalam filsafat umum juga dikenal dengan Filsafat Ketuhanan. Adapun pokok bahasan dalam kajian tersebut adalah Tuhan sebagaimana dikenal oleh akal (Fahham, 2012: 8). Sementara itu, Dalam konteks filsafat Islam, tema ketuhanan merupakan bahasan sentral yang berupaya membuktikan keberadaan Tuhan. Hal yang dilakukan oleh para filsuf muslim bukanlah meragukan keberadaan Tuhan melainkan menopang iman kepada Tuhan dengan argumentasi filosofis.
            Permasalahannya kemudian, selama ini umat muslim sudah cukup jelas mendapatkan informasi ihwal Tuhan dan segala yang berhubungan dengan-Nya dalam kitab suci Quran dan Sunnah/Hadis? Lalu, mengapa para filsuf muslim mesti melakukan kajian filosofis terhadap masalah ketuhanan? Tidak memuaskankah informasi tentang Tuhan yang termaktub dalam kitab-kitab tersebut?
            Di tengah permasalahan serta “perbalahan” tersebut, Abu Yusuf Ya’qub b. Ishaq Al-Kindi (l.801—w.873 M),[2] merupakan sosok yang digadang-gadang sebagai filsuf Arab-Muslim awal yang mencoba menguraikan pandangannya tentang keberadaan Tuhan berdasarkan penciptaan (creation ex nihilo). Berdasarkan dalil penciptaan yang ditelaahnya melalui Quran, Al-Kindi menolak Aristotelian yang meyakini keabadian alam semesta dan materi. Oleh sebab itu, ia berupaya untuk mendemonstrasikan secara filosofis bahwa alam semesta mulai ada dalam waktu yang terbatas. Karenanya, pasti ada Pencipta (creator) yang membawa alam semesta menjadi ada dari ketiadaan (al-mubdi).[3]

Bukti Keberadaan Tuhan Menurut Al-Kindi
Al-Kindi mengajukan beberapa argumentasi mengenai keberadaan Tuhan seperti dideskripsikan sebagai berikut:
1. Keterbatasan Alam Semesta (Jasad [body], Waktu [time], dan Gerak [motion])
Menurut Fahham (2012: 32), bukti pertama keberadaan Tuhan dalam pandangan Al-Kindi didasarkan pada premis bahwa alam semesta itu terbatas dari sudut jasad (body), waktu (time), dan gerak (motion). Melalui Magnum Opus-nya, Fi al-Falsafah al-Ula (Tentang Filsafat Pertama), Al-Kindi mencoba membantah keabadian jasad dengan menyatakan bahwa jasad memilikigenus” dan “spesies”. Menurutnya, sesuatu yang abadi tidaklah memiliki subjek, predikat, dan genus. Dalam konteks ini, ia menegaskan bahwa “karena jasad memiliki genus dan spesies (sementara yang abadi tidak punya genus), maka jasad tidaklah abadi”. Setelah itu, ia membuktikan bahwa jasad alam semesta adalah terbatas dan karena itu jasad alam semesta diciptakan.
Menurut Atiyeh dalam bukunya Al-Kindi: The Philosopher of the Arab (dalam Fahham, 2012: 33) Al-Kindi menyatakan pandangannya sebagai berikut:

"Sekarang, jika kita mengambil sebagian dari jasad yang disebut tidak terbatas, maka sisanya bisa terbatas dan keseluruhannya tidak, atau sisanya terbatas dan keseluruhannya juga tak terbatas. Jika keseluruhannya itu terbatas dan kemudian kita tambahkan padanya apa yang telah terambil, hasilnya akan menjadi jasad yang sama seperti sebelumnya, yakni jasad yang tak terbatas. Hal tersebut akan diimplikasikan bahwa yang tak terbatas adalah lebih besar dari yang tak terbatas, dan itu adalah rancu. Dan ini juga secara tidak langsung akan berarti bahwa seluruhnya itu identik dengan bagian, hal mana adalah kontradiktif. Karena itu sebuah jasad yang aktual haruslah terbatas secara niscaya. Alam semesta betul-betul ada (aktual), karenanya ia harus terbatas, dalam arti bahwa ia dicipta."

Menurut Kartanegara (2007: 19), setelah menunjukkan keterbatasan jasad alam semesta, Al-Kindi lalu mengemukakan penciptaan waktu dan gerak, yang dianggapnya sebagai dua hal yang niscaya tidak dapat dipisahkan dari alam semesta. “Karena jasad alam semesta” telah dibuktikan terbatas, gerak dan waktu, sebagai dua hal yang harus bersamaan (concomintant), haruslah juga terbatas” dan karenanya diciptakan. Argumentasinya dalam menolak keabadian waktu, ia berujar:

“Jika ‘masa lalu’ tanpa sebuah permulaan itu mungkin, ia tidak bisa sampai pada “saat ini”karena hal tersebut akan mengatakan secara tidak langsung bahwa yang tidak terbatas tidak bisa menjadi aktual (comes into actuality), karena yang tidak terbatas tidak bisa‘dilintasi’(cannot be tranversed); dan mengatakan bahwa ‘masa kini’ telah melalui sejumlah saat tak terhingga akan sama dengan menyatakan bahwa yang tak terbatas telah dilintasi. Karena itu, waktu adalah terbatas dan diciptakan.”

Adapun gerak, karena tidak dapat dipisahkan dengan waktu maka ia haruslah terbatas. Pendapat Al-Kindi tentang ketidakterpisahan gerak dinyatakannya sebagai berikut:

“Jika ada gerak di sana pasti ada waktu; dan jika tidak ada gerak, niscaya tidak akanada waktu.”

Pendapat Al-Kindi di atas, dikemukakan untuk membangun fondasi filosofisnya yang berdasarkan pada keyakinan bahwa alam semesta diciptakan dari tiada (creatio ex nihilo). Al-Kindi menyatakan, Tuhan itu Esa, pencipta dari tiada (al-mubtadi) yang mempertahankan atau memelihara keberadaan segala sesuatu yang telah Dia ciptakan dari tiada”. Seusai membantah segala kemungkinan abadinya alam semesta dari sudut jasad, waktu, dan gerak, dan mengarahkan kepercayaannya pada penciptaan dari tiada, ia menyimpulkan bahwa alam semesta dicipta dalam waktu (muhdats) (Kartanegara, 2007: 20).
Argumen yang pada dasarnya menekankan kesementaraan alam semesta, sebenarnya telah digunakan oleh para teolog dibandingkan dengan para filsuf. Dan pendapat yang dikemukakan oleh para teolog dalam membuktikan kesementaraan (temporality) alam semesta, kata Majid Fakhry, “ialah dengan cara menunjukkan bahwa alam yang mereka definisikan sebagai segala sesuatu selain Tuhan, itu terdiri dari atom-atom dan aksiden-aksiden. Aksiden-aksiden tersebut dikenal dengan ‘aradh yaitu bahwa semua benda mengalami perubahan keadaan yang bermacam-macam, baik yang berupa bentuk, warna, gerakan, bergantian, surut, dan perubahan-perubahan lainnya.[4]
            Setiap aksiden hanya bisa bertahan sesaat, dan harus dicipta secara terus menerus oleh Tuhan yang menciptakan dan menghancurkan semuanya. Dalam hal ini, Al-Kindi, sebagai seorang filsuf yang berorientasi pada teologi, menolak dengan tegas konsep apapun yang mengimplikasikan keabadian alam semesta, sebagaimana dipertahankan oleh Aristoteles dan para pengikutnya—dan sampai taraf tertentu juga oleh kaum Neo-Platonis Muslim setelah Al-Kindi.[5]

2. Argumentasi Al-Kindi Berdasarkan pada Ide Keesaan Tuhan (Keanekaan Alam Wujud)
Argumentasi berikutnya berkaitan dengan telaah Al-Kindi terhadap Konsep Keesaan Tuhan. Al-Kindi berupaya menunjukkan bahwa alam yang tersusun (murakkab) dan beragam (katsrah) itu sesungguhnya tergantung (secara mutlak) pada satu sebab yang di luar alam; satu sebab itu, tidak lain adalah zat Tuhan Yang Esa (Al-Dzat Al-Ilahiyyah Al-Wahid). Dalam konteks ini, Al-Kindi menyatakan:

“Objek inderawi dan keanekaan harus merupakan satu kelompok dari satuan-satuan tunggal, maka niscaya bahwa tidak akan pernah ada (yang namanya) keanekaan. Jika seandainya tidak ada kesatuan, keanekaan tidak akan pernah memiliki wujud. Karenanya, setiap perwujudan semata-mata hanya akibat (effect), yang mana akibat ini mewujudkan sesuatu yang tidak ada menjadi ada; dan konsekuensinya, emanasi (pancaran)kesatuan dari Yang Maha Esa, Yang Mahaawal adalah terwujudnya setiap objek inderawi dari sesuatu yang dilekatkan pada objek inderawi tersebut; dan (Yang Maha Esa) menyebabkan setiap dari objek itu menjadi ada melalui wujud-Nya. Oleh sebab itu, sebab kejadian (sesuatu itu) adalah kembali kepada Yang Maha Esa, yang tidak memeroleh kesatuan dari seeorang pemberi (donor), tetapi melalui esensi (Dzat)-Nya.”

3. Argumentasi Al-Kindi Berdasarkan pada Ide Bahwa Sesuatu Tidak Bisa Secara Logika Menjadi Penyebab Bagi Dirinya
            Selanjutnya, Al-Kindi mengemukakan argumentasinya bahwa secara logika sesuatu tidak dapat menjadi penyebab bagi dirinya. Dalam Fahham (2012: 35), Al-Kindi mengajukan ide tersebut dengan menolak empat keadaan yang mengatakan bahwa sesuatu bisa menjadi sebab bagi dirinya. Adapun keempat situasi tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:[6]
a)            Sesuatu yang menjadi sebab bagi dirinya mungkin tiada, dan esensinya juga tiada. Dalam hal ini, tidak ada sebab maupun yang disebabkan, karena sebab dan akibat dinisbahkan hanya pada yang ada;
b)            Sesuatu mungkin tidak ada tapi esensinya ada. Dalam konteks ini, berarti bahwa sesuatu itu tidak ada, dan sesuatu yang tidak ada bukanlah sesuatu (nothing). Kemudian, jika sesuatu yang tiada merupakan sebab bagi dirinya, maka pada waktu yang bersamaan (ia) adalah dirinya dan juga berbeda dengan dirinya. Akan tetapi, hal tersebut amat kontradiktif;
c)            Sesuatu mungkin ada dan esensinya tiada. Sesuatu mungkin ada dan esensinya tiada. Di sini, kita akan menemukan kontradiksi yang sama; dan
d)           Sesuatu mungkin ada dan esensinya juga ada. Argumentasi ini hendak menunjukkan bahwa esensi seuatu itu berbeda dengan dirinya (hal mana adalah tidak mungkin). Atau, sesuatu yang sama akan menjadi sebab dan sekaligus akibat (yang juga akan merupakan suatu kontradiksi dalam istilah). Karena itu, untuk mengatakan bahwa sesuatu benda yang ada dan yang esensinya juga ada sebagai sebab bagi dirinya adalah rancu.

Penyanggahan Al-Kindi atas penolakan di atas, ia kemudian berkesimpulan bahwa karena ketidakmampuan sesuatu untuk menjadi penyebab bagi dirinya, maka segala sesuatu secara niscaya  memerlukan sebab luar untuk mewujudkan dirinya. Akan tetapi, sebab luar tadi juga tidak mampu untuk mewujudkan dirinya. Oleh karena itu, sebab luar itupun memerlukan sebab lain untuk mewujudkan dirinya. Kondisi ini akan terjadi secara terus-menerus hingga rangkaian sebab tersebut mencapai sebab terakhir yang tidak tersebabkan, yakni sebab sejati dan terakhir dari penciptaan, yang kita rujuk sebagai Tuhan sebagai sebab satu-satunya yang sejati dan nyata dari alam semesta.

4. Argumentasi Al-Kindi Melalui Perumpamaan (Tamtsil)
Bukti keempat didasarkan pada perumpamaan antara jiwa (nafs) yang terdapat di dalam jasad manusia dengan Tuhan yang merupakan sandaran bagi alam.

“Sebagaimana mekanisme tubuh manusia yang teratur (al-nizham) mennunjukkan adanya kekuatan yang tak nampak, yang disebut jiwa, demikian juga mekanisme alam semesta yang berjalan secara teratur (al-tadbir) dan serasi, mengisyaratkan adanya seorang administrator (mudabbir) yang mengaturnya.”

5. Argumentasi Al-Kindi Melalui Keteraturan Alam
            Al-Kindi menyandarkan bukti kelima pada rancangan (al-inayah), keteraturan (al-hikmah), dan tujuan (al-ghayah) dari alam. Berikut argumentasi Al-Kindi:
         
         “Susunan yang mengagumkan pada alam semesta ini: keteraturannya, interaksi yang selaras atas bagian-bagiannya, cara yang menakjubkan di mana beberapa bagian tunduk kepada pengarahan bagian-bagian lainnya, pengaturan yang begitu sempurna sehingga yang terbaik selalu terpelihara dan terburuk selalu terbinasakan. Semua ini adalah petunjuk yang paling baik tentang adanya suatu pengatur yang paling cerdas.”
       
             Berdasarkan kutipan pernyataan Al-Kindi di atas, dapat dikatakan bahwa pengatur paling cerdas yang mengatur, menertibkan, dan menyelaraskan mekanisme alam itulah yang disebutnya sebagai Tuhan.

Pamunah
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Al-Kindi mencoba menunjukkan bahwa alam semesta, karena diciptakan, haruslah mempunyai seorang pencipta. Sebagaimana pembahasan di atas,limaargumentasi keberadaan Tuhan menurut Al-Kindi dapat disimpulkan sebagai berikut:
(1)   Argumen pertama, bersandar pada premis bahwa alam semesta adalah terbatas dan diciptakan dalam waktu. Yang ditunjukkan bahwa alam semesta adalah terbatas dari sudut jasad, waktu dan gerak, yang berarti bahwa ia haruslah diciptakan, yaitu menurut hukum kausalitas;
(2)   Argumen kedua, didasarkan pada ide Keesaan Tuhan, menunjukkan bahwa segala sesuatu yang tersusun dan beragam tergantung secara mutlak pada Keesaan Tuhan, adalah sebab terakhir dari setiap obyek inderawi memancar, dan ia yang membawa setiap obyek tersebut menjadi wujud;
(3)   Argumen ketiga, pada dasarnya bersandar pada ide bahwa sesuatu tidak bisa secara logika menjadi penyebab bagi dirinya; dengan penyangkalan empat yang menjadi sebab bagi dirinya sendiri:
a)      Sesuatu yang menjadi sebab bagi dirinya mungkin tiada dan esensinya juga tiada;
b)      Sesuatu mungkin tidak ada tapi esensinya ada;
c)      Sesuatu mungkin ada dan esensinya tiada;
d)     Sesuatu mungkin ada dan esensinya juga ada.
(4)   Argumen keempat, yang bersandar pada argument a novitate mundi (dalil al-huduts), didasarkan kepada analogi antara mikrokosmos (badan manusia) dan mikrokosmos (alam semesta); dan
(5)   Bukti kelima disandarkan pada rancangan (al-inayah), keteraturan (al-hikmah), dan tujuan (al-ghayah) dari alam. Dikatakannya bahwa pengatur paling cerdas yang mengatur, menertibkan, dan menyelaraskan mekanisme alam itulah yang disebutnya sebagai Tuhan.




DAFTAR PUSTAKA
Craig, William Lane. 1980. The Cosmological Argument from Plato to Leibniz. Oregon: Harper and Row Publishers Inc.
Fahham, Achmad Muchaddam. 2012. Tuhan dalam Filsafat Allamah Thabathaba’i. Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute.
Hanafi, Ahmad. 1974. Theologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Kartanegara, Mulyadhi. 2007. Nalar Religius: Menyelami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia. Jakarta: Erlangga.
Nasution, Harun. 1996. Islam Rasional. Bandung: Mizan.
Walzer, Richard. 1962. Greek into Arabic: Essays on Islamic Philosophy Oriental Studies. Oxford: Bruno Cassier.




[1] Makalah ini dipresentasikan dalam mata kuliah God in Islamic Philosophy, ICAS-Paramadina University Jakarta, Jumat, 10 April 2015.
[3] Teks aslinya: Deeply committed to the doctrine of creation found in the Qur'an, al-Kindi rejected the Aristotelian belief in the eternity of the universe and matter; accordingly, he attempted to demonstrate philosophically that the universe began to exist a finite time ago, and therefore that there must have been a Creator who brought the universe into being out of nothing. Richard Walzer, “New Studies on Al-Kindi,” in Richard Walzer,Greek into Arabic: Essays on Islamic Philosophy,OrientalStudies (Oxford:BrunoCassier,1962),p.189.
[4]Ahmad Hanafi, Theologi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974),  77.
[5] Majid Fakhri mengatakan: bahwa tesis Hellenis dan Hellenistik tradisional tentang alam semesta yang abadi telah diajukan oleh Aristoteles dan Proclus. Lihat Majid Fakhri, A History Of Islamic Philosophy, (New York: Columbia University Press and Longman, 1983), 137.
[6]Teks aslinya: “We may summaries his argument as follows: If a thing is the cause of itself, than either (1) the thing may be non-existent and its essence non-existence, (2) the thing may be non-existent and its essence existence, (3) the thing may be existent and its essence non-existence, (4) the thing may be existent and its essence existence. William Lane Craig, The Cosmological Argument from Plato to Leibniz, (Oregon: Harper and Row Publishers Inc., 1980), hlm. 73.
Designed By Blogger Templates