CAFE BUDAYA GEMA FAJAR

Sabtu, 25 Oktober 2014

MEMBACA PEMIKIRAN FRANCIS BACON


Oleh Gema Kertanegara, S.S., M.A. [1]

“Nam et ipsa scientia potestas est.”
- Sir Francis Bacon -

1. Sekilas Tentang Francis Bacon
FRANCIS BACON (1561—1626) merupakan filsuf yang menonjol dalam banyak bidang, dari politik, hukum, sastra, filsafat, hingga sains. Ia tumbuh di lingkungan pengadilan, yang pada saat itu merupakan pusat kekuasaan politik di era Ratu Elizabeth I dan Raja James I. Ia berasal dari keluarga bangsawan terkemuka pada zamannya, sebagaimana dipaparkan oleh Kauffmann berikut:

“As the youngest son of Sir Nicholas Bacon, Lord Keeper of the Great Seal for Queen Elizabeth I, Francis early life was one of prestige and privilege. His uncle, Lord Burghley, was one of the most powerful men in the kingdom.” (Kauffmann, 1997: 1)

Sebagaimana kutipan di atas, keluarganya yang memiliki pengaruh di lingkungan kerajaan itulah yang yang memberikan keleluasaan untuk memeroleh pendidikan. Bacon menempuh pendidikan di Cambridge memperdalam Aristoteles, kemudian ia pindah ke bidang hukum. Pengetahuannya di bidang hukum, mengantarkannya menjadi seorang anggota parlemen di usia muda, yakni 23 tahun. Lalu, secara berturut-turut menjadi Solicitor –General (Jaksa Agung), Lord Keeper of the Great Seal (seperti ayahnya), dan Lord Chancellor (pejabat tertinggi dalam pengadilan). Ia dianugerahi gelar Kesatria (Sir) pada 1603 menjadi “Sir Francis Bacon”, sekaligus menjadi seorang Baron Verulam (1618) dan Viscount St. Alban (1621). Adapun Magnum Opus yang dihasilkannya meliputi:
(a)    Esai-Esai (1597). Dalam karya ini, Bacon membahas bagaimana orang hidup, apa yang dilakukan orang, dan apa yang seharusnya dilakukan orang,
(b) Kemajuan Pembelajaran (1605). Bacon memaparkan tinjauannya tentang situasi pengetahuan pada saat itu, dan  
(c)    Novum Organum (1620). Karya ini memaparkan metode ilmiah Bacon.

2. Keyword

a) Berhala-berhala/Idols: semacam rintangan yang menghalangi kemajuan manusia. Idola merupakan unsur-unsur tradisi yang dipuja-puja seperti berhala,
b) Empat Kausa (penyebab) sebagaimana konsep Aristoteles: kausa material, kausa efisien, kausa forma, dan kausa final,
c) Deduksi: pengambilan kesimpulan dari suatu yang umum ke yang khusus, dan
d) Induksi: menarik kesimpulan umum dari hasil-hasil pengamatan yang bersifat khusus. 


3. Metafisika/Ontologi
            Menurut Bacon (dalam Copleston, 1993: 296), fisika dan metafisika itu termasuk speculative natural philosophy. Jadi, teologi dan first philosophy bukanlah metafisika baginya (karena Bacon cenderung berpikir scientific). 

        “The philosophy of nature Bacon divides into speculative and operative natural philosophy. Speculative natural philosophy is subdivided into physics (physica specialis) and metaphysics. Metaphysics, as part of natural philosophy, must be distinguished, Bacon says, from first philosophy and natural theology, to neither of which does he give the name ‘metaphysics’. What, then, is the difference between physics and metaphysics? It is to be found in the types of causes with which they are respectively concerned.” (Copleston, 1993: 296) 

Kemudian, bagaimana perbedaan fisika dan metafisika? Bacon bersandar pada empat kausa (penyebab) sebagaimana konsep Aristoteles (yakni: kausa material, efisien, forma, final). Fisika berurusan dengan kausa material dan efisien. Sementara  metafisika berurusan dengan kausa forma dan final (tujuan). Dalam Copleston dinyatakan, fisikanya Bacon itu adalah penyebab material dan penyebab efisien. 

“Physics treats of efficient and material causes, metaphysics of formal and final causes. But Bacon presently declares that ‘inquiry into final causes is sterile and, like a virgin consecrated to God, produces nothing’. One can say, then, that metaphysics, according to him, is concerned with formal causes. This was the position he adopted in the Novum organum.” (Copleston, 1993: 296)

Sementara, metafisikanya itu adalah penyebab forma (forms), misalnya menyebut “api” itu bukan hanya nyala api dalam arti yang sebenarnya. Semua yg bersifat panas itu api, seperti “hati yg panas” itu juga api. Api dalam konteks ini posisinya sebagai prinsip. Maka, bukan api dalam arti sebenarnya, namun api sebagai prinsip.

“By 'forms', the object of metaphysics, he meant what he called ‘fixed laws’. The form of heat is the law of heat.” (Copleston, 1993: 296)

Sebagaimana api sebagai prinsip di atas, yg dimaksud dengan api itu adalah “prinsip” semua yang menghasilkan panas (The form of heat is the law of heat). Jadi, yang disebut dengan forma, objek metafisika adalah hukum-hukum atau prinsip-prinsip sebetulnya, bukan bentuk itu sendiri. maka misalkan kita menyebut “air”, berarti harus tahu bahwa itu prinsip air. Semua yg mengalir itu air (air seni, darah, dsb).

4. Epistemologi
Bacon memandang bahwa pengetahuan ilmiah dapat memberi manusia kekuasaan atas alam, dan karenanya, perkembangan sains dapat digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran manusia dalam skala yang tak pernah terbayangkan sebelumnya (Magee, 2008: 75). Gerbang metode empiris yang dibukakan oleh Aristoteles mendapat “sambutan” darinya. Karyanya Novum Organum (1620) merupakan sebuah tanggapan atas buku logika Aristoteles yang berjudul Organum. Menurut Bacon, logika tradisional Aristoteles tidak dapat digunakan sebagai perangkat penemuan. Logika itu membuktikan berdasarkan fakta, namun tidak mengungkapkan sesuatu yang baru (Magee, 2008: 75).
Berkelindan dengan hal di atas, Bacon menawarkan suatu metode baru dalam memeroleh pengetahuan yang disebutnya sebagai metode induktif. Namun, sebelum memulai penalaran secara induksi, seorang filsuf mesti mengosongkan pikiran-pikiran yang dapat menyebabkan kegoyahan dalam memeroleh pengetahuan baru. Menurut Bacon, hal ini disebut dengan “Idols” atau “Berhala-berhala”. Idola merupakan unsur-unsur tradisi yang dipuja-puja seperti berhala yang dapat menghambat daya pikir kritis kita. Dalam Novum Organum Pasal XXXVIII, Bacon menyatakan:

There are four classes of Idols which beset men's minds. To these for distinction's sake I have assigned names, calling the first class Idols of the Tribe; the second, Idols of the Cave; the third, Idols of the Market Place; the fourth, Idols of the Theater.” (Kauffmann, 1997: 3)

Terdapat empat macam Berhala yang dikemukakan Bacon, sebagaimana saya deskripsikan sebagai berikut, berdasarkan pada pengertian yang dipaparkan Magee (2008: 76—77):

1.   Berhala Para Bangsa (Idols of the Tribe). Disebut berhala para bangsa karena lazim dijumpai pada semua umat manusia, yakni faktor-faktor pengacau yang ada dalam diri kita sebagai manusia: kecenderungan untuk percaya pada bukti-bukti yang disodorkan oleh pancaindra—padahal bukti itu kerap menipu—kecenderungan untuk membiarkan penilaian kita diwarnai oleh perasaan, dan kecenderungan untuk menafsirkan persepsi berdasarkan ide-ide dan harapan kita sendiri;
2.     Berhala-berhala Gua (The Idols of the Cave). Dalam berhala ini Bacon merujuk pada mitos gua Plato. Menarik kesimpulan hanya berdasarkan prasangka, prejudice, selera a priori (seperti manusia di dalam gua);
3.  Berhala-berhala Pasar (The Idols of the Market Place). Berasal dari percakapan di antara sesama manusia, dengan perantaraan bahasa. Ada dua cara kata-kata menipu kita. Pertama, kata yang sama dapat memiliki arti yang berbeda-beda bagi orang yang berbeda. Kedua, manusia memiliki kecenderungan untuk mencampuradukkan bahasa dengan kenyataan; dan
4.  Berhala-berhala Teater (The Idols of the Theatre). Menarik kesimpulan berdasarkan kepercayaan dogmatis, mitos, dsb. Karena manganggap dunia adalah panggung sandiwara. 

Berdasarkan pemaparan atas berhala-berhala tersebut, Bacon hendak menyapu bersih pikiran kita dari berbagai macam prasangka yang menghambat kemajuan. Berhala-berhala ibarat debu yang menghalangi penglihatan mata kta dalam melihat objek. Dengan demikian, mewaspadai Berhala-berhala tersebut merupakan langkah awal untuk mempersiapkan peralatan observasi kita.
Dalam menyusun ataupun memeroleh pengetahuan dengan metode induksi, Bacon mendeskripsikan sistemnya yang terkenal guna memajukan pengetahuan tentang dunia alam. Menurut Bacon, kita membutuhkan prosedur sistematis dan terkendali sebagai berikut (Magee, 2008: 74—75):
       “Kita harus mengamati fakta, mencatat pengamatan kita, mengumpulkan data yang dapat diandalkan, semakin banyak semakin baik. Dalam hal ini, akan lebih efektif bila dilakukan oleh banyak orang yang bekerja sama daripada bila dikerjakan satu orang saja. Itulah sebabnya, dibutuhkan komunitas ilmiah atau kolese.
Pada tahap ini kita harus hati-hati untuk tidak memaksakan ide-ide kita terhadap fakta. Sebaliknya, biarkan fakta itu berbicara sendiri apa adanya. Bila kita telah mengumpulkan banyak fakta, maka fakta akan mulai berbicara. Keteraturan dan pola akan muncul, hubungan sebab-akibat akan tampak dengan sendirinya, dan kita akan mulai bisa melihat hukum-hukum alam yang bekerja di sana.
Namun demikian, kita harus awas dan peka terhadap fakta yang bertentangan. Kita cenderung tergesa-gesa melompat kepada kesimpulan semata-mata hanya berdasarkan pada bukti yang cocok dengan kesimpulan yang sudah diambil. Misalnya bila seseorang bermimpi dan kemudian mimpinya menjadi kenyataan, ia mungkin akan bercerita bahwa mimpi adalah sebuah pertanda, dan dengan mudahnya dia akan mengabaikan sekian banyak mimpinya yang tidak menjadi kenyataan. Untuk sampai pada kesimpulan yang benar, fakta penyangkal sama pentingnya dengan fakta pendukung. Apabila kita cukup berdisiplin dalam hal ini, kita akan mulai melihat adanya hukum-hukum umum yang ditampilkan oleh contoh-contoh partikular.
Jika kita telah membentuk hipotesis yang kuat dasar-dasarnya, tugas kita selanjutnya adalah mengujinya dengan eksperimen. Apabila eksperimen meneguhkan hipotesis itu, maka kita telah berhasil menemukan sebuah hukum alam. Selanjutnya kita dapat sampai pada suatu kesimpulan berdasarkan penalaran itu. dengan kata lain, kita dapat membuat prediksi yang akurat. Jadi, dalam proses menemukan sebuah hukum ilmiah, kita bergerak dari yang khusus ke yang umum. Proses ini disebut dengan INDUKSI. Sementara itu, ketika kita menerapkan hukum itu, kita bergerak dari yang umum ke yang khusus. Proses ini disebut sebagai DEDUKSI.”

5. Ethics
Nos scimus quia lex bona est, modo quis ea utatur legitime
Kita mengetahui bahwa undang-undang itu adalah baik sepanjang orang menggunakannya secara sah
- Francis Bacon -

Karya pertamanya adalah buku yang berjudul Esai-Esai, muncul pada 1597, dan sedikit demi sedikit diterbitkan lebih luas. Esai-Esai ini ditulis dengan padat tidak hanya dalam masalah politik, tetapi juga menyangkut berbagai bidang. Dalam bentuk prosa yang sederhana, ia menelaah hakikat berbagai hal seperti cinta, ambisi, balas dendam, dll. (Magee, 2008: 74). Copleston (1993: 298) menguraikan etika Bacon sebagai berikut:

“Ethics deals with the nature of human good (doctrina de exemplari), not only private but also common, and with the cultivation of the soul with a view to attaining the good (doctrina de georgica animi). The part dealing with the common good does not treat of the actual union of men in the State but with the factors which render men apt for social life.” (Copleston, 1993: 298)

Etika menjawab pertanyaan apa yang seharusnya boleh kita lakukan dan apa yg seharusnya tidak boleh kita lakukan? Etika merupakan sebuah filsafat yg mempertanyakan kenapa tidak boleh membunuh? Sementara moral itu berhubungan dengan sangsi (karena melanggar hukum seperti membunuh, mencuri, dsb.).


DAFTAR PUSTAKA
Copleston, Frederick. 1993. A History of Philosophy Volume III Late Medieval and Renaissance Philosophy. New York: Doubleday.
Kauffmann, Walter. 1997. Modern Philosophy. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Magee, Bryan. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius.


[1] Makalah ini dipresentasikan pada kuliah Filsafat Barat Modern, di bawah arahan Dr. Matius Ali, pada Sabtu, 18 Oktober 2014, ICAS-Paramadina Jakarta.

Senin, 01 September 2014

BATU LAPIS LAZULI ADALAH SAFIR?

Dewasa ini, masyarakat Indonesia tengah gandrung batu permata. Tak ayal, pecinta batu permata terdiri dari berbagai kalangan: pengusaha, pedagang, pejabat, pelajar, dll. Bahkan, tidak sedikit pelajar Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah yang berburu batu permata yang diinginkannya. Dahulu, untuk mencari penjual batu permata terbilang tak mudah. Di samping itu, jenisnya pun tidak variatif. Kini, masyarakat tidak akan kesulitan bila mencari batu permata. Sebab, penjualnya makin menjamur dan jenisnya pun bermacam. Sebut saja pasar Rawa Bening, Jatinegara, Jakarta. Pasar ini menjadi pusat penjualan batu permata terbesar di Asia Tenggara. Dari sinilah mantan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo serta Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono berburu batu permata. Fauzi Bowo mengantongi Cat Eye (Chrysoberril) sebagai perhiasan cincinnya. Sementara batu Bacan menjadi pilihan SBY. 
Namun, batu permata yang paling dikenal di kalangan luas adalah Ruby, Zamrud, dan Safir yang dikenal dengan istilah Batu Mulia (BM). oleh karena itu, BM sering diburu para pecinta batu lantaran kemewahan dan keunikannya. Kate Middleton, mempelai Pangeran William, mengenakan cincin warisan Lady Di dengan batu permata Blue Safir Ceylon (Srilanka) saat royal wedding mereka diselenggarakan. Selain itu, Gubernur California, Amerika Serikat, yang juga aktor kondang Arnold Schwarzenegger, juga mengenakan batu safir ketika dinas. Seolah tak ingin ketinggalan, para pejabat di Indonesia pun marak menggunakan safir sebagai perhiasan untuk aksesoris jari itu. Akan tetapi, apa betul pejabat atau tokoh terkemuka di masa lampau juga menggunakan batu safir yang sekarang dikenal itu? untuk menelusuri sejarahnya, perlu menengok sejumlah referensi. Salah satunya, melalui Alkitab (Bible).
Dalam sumber Alkitab online, disebutkan bahwa safir merupakan sejenis batu korundum yang keras dengan warna biru tua yang jernih. Batu ini adalah salah satu batu berharga ditutup (baca: dikenakan) di dada imam besar (disebut lazurit) dan menjadi dasar kota Yerusalem Baru di kitab Wahyu (Keluaran. 28:18; dan Wahyu. 21:19). Lebih lanjut, terdapat tafsiran Kitab Wahyu sebagai berikut:

“Orang Israel sangat menghargai batu-batu berharga sama seperti kita sekarang ini. Alkitab sering menghubungkan batu-batu berharga dengan arsitektur Bait Suci (II Taw. 3:6; 9:10), dan Rasul Yohanes melihat Yerusalem surgawi ‘dihiasi’ dengan bermacam-macam batu permata (Why. 21:19).
Tukang emas pada zaman Alkitab menggunakan istilah-istilah yang tidak jelas untuk menggambarkan batu-batu berharga itu, dan hal ini menyebabkan sedikit kebingungan. Mereka dapat menamakan setiap permata keras sebagai sebutir ‘adamant’ atau batu amril, dan setiap permata yang bening sebagai ‘kristal’. Mereka mungkin saja mengganti nama permata-permata dengan warna yang sama. Atau mereka mungkin memakai nama-nama yang sudah tidak dipahami lagi. Jadi, ketika kita meneliti permata-permata dari Alkitab, kita harus mengakui bahwa masih ada tabir rahasia yang menyelubunginya.

Misalnya, Kel. 28:15-22 menggambarkan tutup dada yang dipakai oleh imam besar, dengan empat jajar batu berharga. Pada tiap permata terukir nama salah satu suku bangsa Israel, yang ‘diukirkan seperti meterai’ (ay. 21). Oleh sebab orang Israel tidak tahu bagaimana mengukir permata-permata yang paling keras, maka belum tentu tutup dada itu benar-benar bertahtakan batu intan, nilam, zamrud, dan topas. Kami merasa bahwa mungkin sekali istilah-istilah ini mengacu kepada batu-batu yang lebih lunak, seperti batu mirah, batu akik, krisolit, dan lazuardi.

Batu nilam sering disebut di Perjanjian Lama. Kilauan, keindahan, dan kekerasan batu nilam (safir) hampir sama dengan batu intan. Akan tetapi, para ahli Alkitab pada umumnya setuju, bahwa nilam yang biasa pada Zaman Alkitab adalah batu lazurit masa kini, suatu mineral biru tua yang tak tembus cahaya.’

Menurut sumber lainnya, batu safir yang dikenal khalayak sekarang ini, belumlah diketahui sebelum zaman Emporium Romawi. Menurut Elder Pliny (23—69 M) batu safir itu memiliki ciri-ciri seperti gelapnya langit malam dengan gugusan bintang.

“..... as being like the night sky, spangled with stars...”

Sementara, Theophratus (372—287 SM) menyatakan bahwa safir memiliki bercak-bercak (serat) emas.

“Sapphire spotted with gold...”

Deskripsi inilah yang membuat para ahli Alkitab dan batu permata setuju bahwa di masa lampau sebutan untuk safir/nilam adalah batu lapis lazuli. Dalam Alkitab, batu lapis lazuli disebut beberapa kali. Di antaranya:

Dalam kitab Keluaran 28:18, yang berbunyi:

“Jajar yang kedua: permata batu darah, lazurit, yaspis hijau.”

Dalam kitab Wahyu 21:19, yang berbunyi:

“Dan dasar-dasar tembok kota itu dihiasi dengan segala jenis permata. Dasar yang pertama batu yaspis, dasar yang kedua batu nilam, dasar yang ketiga batu mirah, dasar yang keempat batu zamrud.”

Kemudian maju satu ayat (21:20), yang berbunyi:

“Kelima dari batu baiduri sepah, keenam dari batu delima, ketujuh dari batu ratna cempaka, kedelapan dari batu pirus, kesembilan dari batu topas, kesepuluh dari batu krisopras, kesebelas dari batu lazuardi, dan yang kedua belas dari batu kecubung (Amethyst).”

Dengan demikian, para ahli pun makin mantap menyatakan bahwa kata “safir” dalam Alkitab maksudnya adalah lapis lazuli, yakni batu permata yang sudah dikenal sejak zaman kuno. Jadi, batu safir di masa lampau adalah sebutan lain untuk batu lapis lazuli. 



Jakarta, 1 September 2014

Designed By Blogger Templates