CAFE BUDAYA GEMA FAJAR

Jumat, 13 Mei 2016

ANTARA ESTETIKA MUSIK, SAINS, DAN TOLERANSI BERAGAMA: DARI AL-FARABI HINGGA JOHANNES KEPLER

Prolog
Pernahkah kita merenungi, bahwa tanpa sadar kebebasan kita mungkin disekat oleh berbagai informasi (apapun itu) yang kita pegang sebagai keyakinan. Karena kita anggap sebagai keyakinan, kemudian informasi tersebut menjelma menjadi mindset, dan karena diyakini sebagai mindset akhirnya dianggap sebagai bagian dari hidupnya. William James berkata, bahwa pandangan kita tentang dunia tergantung pada apa yang kita putuskan untuk kita dengar. Sehingga, ketika ada informasi baru yang datang (kendati informasi baru itu mungkin lebih benar) ia akan merasa eksistensi dirinya tengah terancam. Keputusan untuk tidak mau terbuka terhadap informasi atau pendapat orang lain ini, pada puncaknya berujung pada sikap intoleran dan menganggap bahwa “tiada kebenaran lain selain kebenaran yang aku pegang ini.” Menurut Psikolog-Sosial Perancis, Gustave Le Bon, hal tersebut terdapat pada sikap sebagian banyak orang.
Sebetulnya, sikap intoleran bukanlah aktivitas intelektual, tetapi luapan sikap emosional. Aktivitas emosional didasari dengan sejumlah sifat ke-Aku-an yang megah, sehingga cenderung memandang bahwa kebenaran yang dipegangnya adalah kebenaran absolut. Karena ia bersifat emosional maka ia memerlukan semacam terapi jiwa yang mampu meluluhkan kesombongan ego. Untuk memberikan solusi, sebetulnya orang hanya cukup dengan berpikir dan berjiwa bijak. Namun, untuk mengaktualisasikan potensi kebijaksanaan yang terpendam dalam diri adakalanya seseorang membutuhkan cara pandang. Sudah sejak ratusan tahun, filsafat menawarkan jalan estetika dalam kaitannya dengan emosi. Sebab, estetika menyentuh persoalan rasa dan penilaian baik-buruk karena ia berkaitan erat dengan keindahan.
Lalu, kenapa harus estetika? Sebab, fakta di luar tak dapat dimungkiri bahwa jarang orang yang menyentuh (atau bahkan tak menyadari) aspek keindahan. Padahal, antara benar, baik, dan indah itu berbeda tipis. Misal, pernikahan antara laki-laki dan perempuan dapat dikatakan sebagai kebenaran. Bila pernikahannya dihiasi dengan kemesraan budaya (pertunjukkan seni/budaya lokal) maka menjadi indah. Lalu, apabila terjadi konflik antar-keluarga (baik perbedaan pendapat atau keyakinan) namun ia tetap menjalin silaturahim kekerabatan, berarti tindakannya dapat disebut sebagai kemuliaan sekaligus baik. Suatu kebenaran takkan lengkap tanpa estetika, dan estetika akan sempurna bila dihiasi kemuliaan (wisdom). Dengan demikian, estetika tidak hanya aksesoris semata melainkan dasar pandangan hidup yang memberikan efek pada gejala fisik dan kejiwaan seseorang. Minimal, dengannya seseorang dapat menyelaraskan antara pikiran dan tindakannya, sehingga ia berlaku imbang dan harmonis.
Secara etimologi, estetika diambil dari bahasa Yunani, aisthetike yang berarti segala sesuatu yang dicerap oleh indera. Sebagai salah satu cabang filsafat, estetika pada dasarnya merupakan ilmu yang membahas keindahan, yang meliputi uraian ihwal bagaimana keindahan dapat terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakan dan memberikan penilaian terhadapnya. Dalam konteks rasa, estetika kerap digadang-gadang sebagai unsur yang bernilai filosofis terkait dengan aspek-aspek sensoris, yakni olah batin melalui persepsi emosi-sentimental. Pada turunannya, estetika merupakan cabang filsafat aksiologi yang sering diasosiasikan dengan kesenian. Karena turunan dari aksiologi, maka estetika membicarakan penilaian baik-buruk atau indah-jelek. Inilah yang membedakannya dengan epistemologi yang membahas seputar benar-salah.
Estetika bukanlah “barang baru” dalam pembahasan filsafat. Pasalnya, estetika bertalian erat dengan aspek seni. Pada 500—300 Sebelum Masehi, konsep estetika dan seni dapat kita rujuk pada pemikiran para filsuf Yunani kaliber Socrates, Plato, dan Aristoteles yang masing-masing membicarakan seni dalam kaitannya dengan konsep filsafat. Karena estetika bertalian dengan keindahan, maka pembahasannya dihubungkan dengan seni. Pengetahuan ini juga disebut dengan filsafat keindahan, termasuk di dalamnya keindahan alam yang seringkali diwujudkan dalam keindahan karya seni (Sumardjo, 2000: 24).
Itulah mengapa ketika menyinggung ihwal seni Plato berkata, “Ars imitatur naturam”—seni adalah mimesis/tiruan alam. Menurutnya, karya seni hanya dapat meniru kenyataan, sebab mengandung konsekuensi logis: bahwa karya seni adalah bagian dari kenyataan! Yakni, semua keindahan di dunia ini merupakan imitasi, penghayatan, atau peniruan yang diabstraksi (baca: ditarik dari) alam. Mimesis merupakan sebuah daya representasi yang timbul sebagai akibat kesempurnaan karya sehingga muncul kegairahan baik bagi yang menciptakan maupun yang menikmati.
Kegairahan tersebut, berupa potensi pelbagai macam perasaan yang dihasilkan melalui situasi atau kondisi tertentu. Maka, ketika raga (melalui alat pancaindra) mempersepsi suatu kondisi, saat itu pula jiwa mengalami suatu rasa yang efeknya nampak pada gejala-gejala. Gejala ini terbagi dua, yaitu gejala fisik dan gejala batin. Pada gejala fisik, perasaan bahagia misalnya, berefek pada seseorang untuk tersenyum. Perasaan sedih berefek pada seseorang untuk menangis. Perasaan marah berefek pada raut wajah atau nada suara seseorang. Sedangkan gejala batin, seperti perasaan cinta yang berefek pada rasa kagum berbunga-bunga (catatan: apakah bila seseorang merasakan jatuh cinta lantas kata-kata masih diperlukan?), atau ketika melihat suatu pemandangan indah, kita pun merasa takjub. Nah, perasaan-perasaan tersebut, kiranya sering dicurahkan dalam luapan ekspresi artistik.
Sebagai contoh adalah seni musik yang sangat akrab dengan masyarakat kita. Musik menurut Aristoteles mempunyai kemampuan mendamaikan hati yang gelisah, sebab ia mempunyai terapi penghibur dan menumbuhkan semangat bagi jiwa. Musik memiliki fungsi dan tidak sekadar hiburan “pembunuh jenuh di kala sepi”. Senada dengan Aristoteles, dikatakan al-Farabi (870—950) bahwa musik menimbulkan efek terapi bagi jiwa. Al-Farabi menandaskan bahwa suara binatang mengekspresikan emosi mereka baik dalam kegembiraan maupun kesedihan. Sementara itu, suara manusia, dengan intensitas yang lebih besar mengungkapkan perasaan yang lebih beragam.
Dengan keberagaman ekspresi manusia, al-Farabi dipercaya sebagai pemusik ulung yang mampu membuat orang tertawa, menangis, bahkan tertidur tatkala ia tengah memainkan musik. Uraiannya ihwal musik yang termaktub dalam Kitab al-musiqi al-Kabir itu seharusnya terdiri dari dua jilid buku. Namun, jilid kedua yang dimaksudkan sebagai komentar pada karya-karya penulis sebelumnya telah hilang dan mungkin tidak pernah selesai. Sebagian ahli sejarah lainnya berpendapat bahwa kitabnya tentang musik dianggap menyimpang dan berbahaya sehingga kemudian dibakar habis.
Kendati demikian, secara umum aturan konvensional menyepakati bahwa teori musik paling tidak terdiri dari unsur suara, harmoni, notasi ritme, dan nada. Lantas, apa relasi antara alam dengan harmoni dalam musik? Bila ada relasinya, maka bagaimanakah musik yang diproduksi berdasarkan perenungan terhadap alam itu? Lalu, apa kaitan antara musik, alam semesta, dan manusia?

Musik Alam Semesta
Dalam magnum opusnya yang berjudul Harmonices Mundi (1619), seorang astronom terkemuka, yakni Johannes Kepler (1571–1630), telah menemukan suatu hubungan antara kecepatan planet-planet mengorbit dan harmoni musik. Dengan kata lain, ia berhasil menemukan pola musik melalui pengamatannya terhadap keteraturan benda-benda langit. Dalam Hukum Ketiganya, Kepler menghitung tangga nada musik dari kecepatan planet pada titik terdekat (perihelion) dan titik terjauh dari matahari (Aphelion) yang berefek pada naik-turunnya suara (bandingkan: Magee, 2008: 66). Menurutnya, planet yang terletak jauh dari matahari memiliki perioda orbit yang lebih panjang dari planet yang dekat jaraknya dari matahari (perioda kuadrat suatu planet berbanding dengan pangkat tiga jarak rata-ratanya dari Matahari—Kepler).
Konsep dasar dari karyanya itu, didasarkan pada Alkitab yang berbunyi:

In principio creavit Deus caelum et terram.” (Genesis 1:1)
(Artinya: “Pada mulanya, Allah menciptakan langit dan bumi”)

Bumi bukanlah berasal dari sesuatu yang acak (random), tetapi dari Tuhan sendiri yang menciptakan dengan keteraturan dan keharmonisan. Ketika Tuhan menciptakan jagat raya, blueprint alam semesta sudah ada dalam pengetahuan diri-Nya. Gerak planet-planet yang tersusun secara harmonis tersebut, membuktikan adanya “Pengatur Alam Semesta” yang tak terindrawi dengan mata telanjang. Ungkap Kepler, bahwa Tuhan menciptakan dunia dalam keharmonisan melalui sejumlah model geometri yang tergambar di dunia eksternal. Model geometri yang terbentuk dari harmoni tersebut mewujud dalam pola-pola musik. Dalam hal ini, Kepler meyakini bahwa planet-planet dapat menghasilkan harmoni enam suara. Gambar berikut merupakan kutipan dari karyanya yang berjudul Harmonices Mundi (1619: 207) yang ditulisnya saat bermukim di Lincii (Linz), Austria.



Gambar: Temuan Kepler, tangga nada musik dari kecepatan planet pada titik terdekat dan terjauh dari matahari yang membentuk adanya harmoni dan keselarasan.

Keterangan gambar:

1.       Marsfere (notasi nada planet Mars): mengeluarkan nada tenor;
2.       Venus & Terra (notasi nada Venus dan Bumi): mengeluarkan nada alto;
3.       Hicloeum habetetiam (notasi nada bulan);
4.       Saturnus & Jupiter (notasi nada Saturnus dan Jupiter) mengeluarkan nada bass;
      5.     Mercurius (notasi nada Merkurius): mengeluarkan nada sopran.

Catatan: Merkurius, dengan orbit elips yang besar, mendapat jatah terbesar dari catatan notasi nada. Sementara Venus, menurut Kepler, ditemukan hanya mampu mendapatkan sedikit karena orbitnya hampir lingkaran.

Venus ferè manet in unifono non æquans tenſionis amplitudinevel minimum ex concinnis intervallis.
Atquiſignatura duarum in communi Syſtemate Clavium....” (Keppleri, 1619 [Anno M. DC. XIX]: 207)

Menurut Kepler, setiap planet "bernyanyi" dengan notasi nada berbeda-beda tergantung pada variasi kecepatan masing-masing. Merkurius dengan orbit unik yang paling cepat, memiliki jangkauan paling tinggi dan besar. Sehingga, dalam tangga nada ia mendominasi notasi (lihat gambar di atas). Namun, perlu dicatat bahwa gerakan ketika turun tidaklah lebih cepat daripada naik (tidak seperti jalan menuruni gunung seusai mendaki). Penggambaran di atas, seperti diungkap Coelho (1992: 61), “is simply the result of the crowding” untuk memungkinkan posisi bulan di sebelah kanan (Hicloeum habetetiam).
Kepler mengemukakan bahwa perbedaan antara maksimum dan minimum kecepatan sudut dari planet dalam orbitnya mendekati proporsi yang harmonis. Misalnya, kecepatan sudut maksimum Bumi yang diukur dari Matahari bervariasi oleh semitone (dengan rasio 16:15), yakni dari nada mi ke fa, di antara Aphelion dan Perihelion. Sedangkan Venus hanya bervariasi dengan rasio 25:24 (mengalami diesis dalam terminologi musik).
Kepler berkata (mungkin setengah bergurau?) bahwa bumi “bernyanyi” dengan gerakan berputar dan mengeluarkan bunyi mi, fa, mi. Tak hanya itu, menurut Kepler planet Mars, Saturnus, Jupiter, Merkurius, Venus, dan Bumi merupakan kelompok paduan suara surgawi di mana dapat menimbulkan bunyi yang serempak dengan notasi berbeda. Itulah kenapa tarian para komunitas sufi-darwis (whirling dance) mengambil gerakan berputar yang melambangkan planet-planet yang mengelilingi garis edarnya masing-masing. Jadi, planet-planet tidak hanya bernyanyi tetapi juga menari dengan berputar (seolah ber-thawaf) mengelilingi sumber cahaya, yaitu Matahari. Meskipun demikian, menurut Kepler sangat jarang seluruh planet bernyanyi secara bersamaan dalam kerukunan yang sempurna. Akan tetapi, menurutnya hal tersebut mungkin terjadi hanya sekali dalam sejarah, yakni pada saat momentum penciptaan.
Kepler mengingatkan kita bahwa hasil temuannya itu merupakan produk manusia, tetapi didasarkan pada perenungan terhadap keselarasan benda-benda langit.  Namun demikian, Kepler telah berhasil mengawinkan seni, astrologi, dan sains. Dalam artikelnya yang berjudul Kepler and Kircher on the Harmony of the Spheres, Joscelyn Godwin menyatakan bahwa temuan Keppler mengenai Harmoni Dunia atau Harmoni Bola (The Harmony of the Spheres) merupakan lintas-ilmu yang menggabungkan antara kosmologi, astronomi, matematika, dan teori musik demi menemukan notasi nada berdasarkan gerakan planet-planet seperti dalam gambar di atas. Mungkin tidaklah berlebihan bila filsuf Arthur Schopenhauer berkata bahwa musik adalah melodi yang syairnya adalah alam semesta. Maka, tidaklah mengherankan ada sebagian ilmuwan yang menyatakan bahwa musik merupakan salah satu cabang sains. Berikut ini adalah komentar Godwin atas Harmoni Dunia (2007):

The Harmony of the Spheres, a transdisciplinary idea that unites cosmology, astronomy, mathematics, and music theory, has been a major vehicle of the Pythagorean current in the intellectual history of the West. This article focuses on two figures who contributed largely to it in the early phase of the Scientific Revolution. By learning and inclination, both had come under Neoplatonic and Hermetic influences; both were adherents of that stream of Christian esotericism that sought a deeper understanding of the created world. But as we shall see, their attitudes to celestial harmonies were in stark contrast to one another.
Selanjutnya, hal yang perlu digarisbawahi adalah penggunaan istilah “harmoni” itu tidak sepenuhnya mengacu pada definisi musik. Lebih dari itu, pengertian harmoni di sini mencakup keselarasan jagat raya dan cara kerja benda langit dan bumi. Kepler mengemukakan bahwa harmoni musik merupakan produk manusia yang berasal dari sudut. Hal ini berbeda dengan harmoni yang ia sebut sebagai menjadi fenomena yang berinteraksi dengan jiwa manusia. Beranjak dari konteks ini, Kepler mengklaim bahwa bumi memiliki jiwa karena memiliki harmoni astrologi (lihat: Field, 1984: 207—219). Hal tersebut senada dengan al-Farabi dalam teori emanasinya, yang juga menganggap bahwa setiap planet memiliki jiwa. Menurut al-Farabi, setiap sphere mempunyai bentuk sendiri, yaitu ruhnya (al-ruh/soul).
Mengingat keduanya mendapat pengaruh dari paham Plotinus, namun perbedaannya terletak pada uraian al-Farabi dalam konteks penciptaan (creation) yang dijabarkannya melalui teori emanasi (al-Faydh). Dasar permasalahan yang diangkat adalah, bagaimana alam yang beragam (banyak) itu bersumber dari Sebab Yang Satu. Menurut teori emanasi al-Farabi, disebutkan bahwa Tuhan itu Esa. Oleh karena Dia Esa, maka yang keluar daripada-Nya juga hanya satu wujud, karena emanasi itu timbul karena pengetahuan (baca: ilmu) Tuhan terhadap zat-Nya yang satu. Dan karena Dia Esa, maka tidak dapat didefinisikan. Sebab, menurut al-Farabi definisi hanya akan menisbatkan batasan dan susunan kepada Tuhan dan itu mustahil bagi-Nya. Tuhan itu azali, yakni Akal Murni yang berpikir dan dipikirkan. Ia adalah ‘aql, ‘aqil, dan sekaligus ma’qul. Lantaran pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang mahadahsyat, maka daya tersebut menciptakan sesuatu. Dan cara Tuhan menciptakan alam semesta adalah dengan ber-ta’aqqul terhadap zat-Nya sendiri (Zar, 2004: 73—75).
Adapun wujud pertama yang keluar dari pemikiran Tuhan tentang diri-Nya disebut Akal Pertama. Jadi,dari Yang Mahaesa menciptakan yang esa pula di mana Akal Pertama ini mengandung dua segi: (1) segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyya) yaitu wujud yang mumkin, dan (2) wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan sebagai zat yang menjadikannya. Dengan demikian, sekalipun Akal Pertama tersebut satu (esa), namun pada dirinya terdapat dua aspek tersebut. Dengan adanya aspek ini, maka dapat dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari Akal Pertama.
Lebih lanjut, dalam buku yang berjudul Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, Hadi Masruri (2005: 57) mengutip Ibn Thufayl mengenai emanasi:

“Perumpamaan emanasi cahaya Tuhan pada alam semesta adalah seperti cahaya matahari pada cermin yang terjadi secara terus-menerus. Dari cermin ini, cahaya matahari dipancarkan ke cermin yang lain, dan dari cermin yang lain itu, cahaya matahari dipancarkan lagi ke cermin yang lain, dan begitu seterusnya, sehingga sinar matahari itu tampak ada di mana-mana. Setiap refleksi dari sinar itu kemudian memunculkan satu kosmos, sehingga mewujudkan keanekaragaman alam semesta. Tetapi, semua sinar itu bukanlah matahari ataupun cermin itu sendiri, bukan pula sesuatu yang lain dari matahari dan cermin. Keanekaragaman itu akan hilang dan menyatu dengan matahari apabila ia dipandang sebagai sumber cahaya, namun keanekaragaman itu akan muncul kembali jika dipandang sebagai cermin, di mana cahaya matahari dipantulkan olehnya.”
Tabel berikut merupakan ilustrasi emanasi al-Farabi:
Subjek (Akal)
Berpikir Tentang:
Wajib al-Wujud
dirinya sendiri
Akal I/
AKAL MURNI
menghasilkan akal II
Langit pertama (as-sama al-ula atau al-falak al-a’la)
beserta jiwanya
Akal II
menghasilkan akal III
Bintang-bintang tetap
(al-Kawakib al-tsabitah/fixed stars)
Akal III
menghasilkan akal IV
Planet Saturnus (Zuhal) beserta jiwanya
Akal IV
menghasilkan akal V
Planet Jupiter (al-Musytari) beserta jiwanya
Akal V
menghasilkan akal VI
Planet Mars (Marikh) beserta jiwanya
Akal VI
menghasilkan akal VII
Matahari (al-Syams) beserta jiwanya
Akal VII
menghasilkan akal VIII
Planet Venus (al-Zuhrah) juga beserta jiwanya
Akal VIII
menghasilkan akal IX
Planet Merkurius (‘Utharid) beserta jiwanya
Akal IX
menghasilkan akal X
Bulan (Qamar) beserta jiwanya
Akal X

Bumi (Ardh), manusia (insan), Materi bagi empat unsur:
tanah, udara, api, air.
Catatan: masing-masing Akal bertugas untuk mengatur satu planet. Akal tersebut merupakan substansi non-materi, yang sering dinisbatkan kepada malaikat. Maka, planet-planet tersebut diatur oleh para malaikat. Setiap lingkungan mempunyai akal (malaikat) dan jiwa yang nonmateri dan merupakan sumber gerak mereka masing-masing. Jiwa merupakan penggerak lingkungan, sehingga planet-planet berputar pada sumbunya dan berkeliling. Tetapi, mereka memperoleh kekuatan dan daya-dayanya dari Akal, bergerak sesuai dengan kehendak Akal, dan menuju penyempurnaan dengan menggerakkan lingkungannya.
Secara rinci, teori emanasi al-Farabi dapat diringkas dalam hierarki wujud berikut:
1. Tuhan yang merupakan Sumber Segala Sebab bagi keberadaan wujud-wujud lainnya;
2. Para Malaikat yang merupakan wujud yang non-materi;
3. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial); dan
                4. Benda-benda bumi (teresterial).

Intoleransi dan Takfiri di Abad Kegelapan
Sebagaimana kasus al-Farabi, pandangan Kepler yang progresif tentang Harmoni Dunia itu mendapat tentangan keras dari pihak yang menganggap bahwa pemikiran Kepler tidak sejalan dengan norma-norma agama yang mereka yakini dan cenderung menyimpang. Karena dianggap menyimpang, maka pandangannya dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi pemegang otoritas keagamaan. Sebab, saat Kepler tengah merumuskan hukum-hukum dalam Harmonices Mundi perang agama antarmazhab Kristen meletus dan berlangsung selama 30 tahun (1614—1644). Perang yang dilancarkan oleh Ferdinand dari dinasti Katolik Besar Hapsburg itu, bertujuan untuk menegakkan kembali supremasi Katolik di Eropa. Dalam periode ini, lima dari enam kota dan desa di Jerman telah dihancurkan dan penduduknya mengalami pengurangan populasi dari sembilan juta jiwa menjadi empat juta jiwa (Black, 2015: 453). Penyiksaan, pengkafiran, dan pembantaian massal yang berakar dari kefanatikan telah mewarnai Eropa kala itu.
Sebagai pengikut Lutheran, Kepler mengalami penganiayaan dan prasangka agama yang berujung pada penyesatan dan pengkafiran atas dirinya. Ia dipaksa keluar dari Graz, yang membuatnya kehilangan segala sesuatu dan mengalami kesulitan hidup lantaran menolak untuk menganut Katolik Roma. Popularitas Kepler sebagai ilmuwan setidaknya telah menjadi penolong. Walaupun demikian, Kepler kerap dibujuk untuk pindah agama dengan dalih “mengajak kembali ke jalan yang lurus”. Bagi Kepler, intoleransi keagamaan sangat memuakkan, di mana melalui sains ia yakin bahwa keharmonisan dan tersusunnya notasi musik di antara planet-planet seharusnya berlaku juga keharmonisan di tengah-tengah umat manusia. Sekalipun demikian, ia tetap berpegang pada keyakinannya dan rela menderita. Berikut kutipan dari ungkapan keluh kesahnya yang dinukil dari Ernst Zinner:

Suffering along with many brothers for the sake of religion and for the glory of Christ by enduring harm and disgrace, by leaving one’s house, fields, friends, and home—I would never have believed all of this could be so agreeable,”
Begitulah seseorang yang memegang iman berdasarkan kepercayaan aksiomatis, bukan dengan keimanan dogmatis. Ia tangguh menghadapi bahaya, teror, pengusiran dari kampung halaman, bahkan kehilangan harta-benda. Namun, harta benda sejati baginya adalah ilmu dan pengetahuan yang memberikannya harta berupa esensi “rahasia-semesta”. Karya-karyanya dianggap membawa kesesatan dan dicap stigma hitam. Meskipun begitu, kurang lebih 70 tahun kemudian uraian hukum-hukum Kepler tersebut kelak dianggap sebagai dasar bagi Isaac Newton (1643—1727) dalam mengembangkan teori Gerak dan Gravitasi Universalnya yang terkenal itu.

Epilog 
Sebagai catatan terakhir, untuk menghayati dan meresapi musik, seseorang tidaklah dituntut untuk memahami teori musik terlebih dahulu. Sebab, keindahan suatu musik bersifat aktual karena adanya gerak dan aksi yang terpadu dengan harmoni, nada-nada, dan unsur-unsur lainnya. Di samping itu, musik akan merasuki jiwa dan meninggalkan kesan sehingga menciptakan emosi batin. Maka, tak dapat dimungkiri mengapa sebagian banyak orang sangat mencintai dan menggemari seni musik. Sebab, musik itu sendiri merupakan manifestasi dari sifat keindahan. Dan kekaguman terhadap keindahan merupakan fitrah bawaan yang dimiliki setiap manusia.
Relasi antara musik dan sains mengalami perkembangan di Barat (Pasca-Renaissance), sehingga melahirkan musisi kaliber Mozart, Beethoven, Vivaldi, Bach, Wagner, dan Chopin. Sedangkan relasi antara musik, alam, dan manusia yaitu sama-sama berpotensi untuk membangun harmoni, sebagaimana harmoninya susunan planet-planet: tidak bertabrakan, tidak berbenturan, tidak saling merusak, tidak jelimpat jalur, dan tidak menimbulkan kekacauan (chaos). Maka, sudah seyogyanya kita mengisi zaman dengan estetika, sehingga kita mampu melihat sisi keindahan dari setiap perbedaan.
Terakhir, sebagai manifestasi keindahan, berikut ini saya kutip sebuah syair pribadi yang mungkin representatif untuk pembahasan ini:

ANOMALI
Di padang bulan mereka terlunta mencari cahaya
dan masih menduga bumilah pusat semesta
barangkali ada yang menemukan lintasan lain
digetar medan magnet dari langit bertanda asing
namun, katanya, ucapan ilmuwan bagai air liur keluar menghambur
yang telah mendustakan Kitab Suci dan ayat-ayat Mazmur

Tapi sains dimulai tatkala bintang-bintang telah menanggalkan baju
dan Alpha Centauri menyumbat ventilasi lorong waktu
saat itu planet Jupiter melantunkan irama musik kudus
yang membelai dan membisik rindu pada Copernicus
di antara malam buta ia baca gerak planet yang anggun
ronanya membuat mata batin tersihir dan tertegun
perlahan segala macam asteroid telah terangkum
hingga Tyco Brahe mendengkur di observatorium
di sana ada suara benda-benda bergesekan menimbulkan echo
seperti riuh orang-orang di pengadilan Galileo

Semula kain hitam menghijab seluruh pancaindera
orang-orang dipaksa hidup bertualang di lembah gulita
sambil mendamba cahaya demi mencecap buaian manis tentang surga
dan firman yang diobral para pendusta, hanya memuat cahaya redup sia-sia.
Padahal, Adam pun telah dibina sejak diciptakan kali pertama
jauh sebelum ia dan istrinya memasuki ladang kebun tak bernama:
mahir mengurai segala rahasia di jagat bumi
walau setitik atom sembunyi di bawah hamparan permadani
andai dapat kuhimpun belantara ilmunya yang rimbun
rongga dada yang daif ini takkan pernah sanggup menampung

Di zaman yang diliputi malam berkepanjangan,
dibutuhkan pelita kata yang berpijar terang
agar sains dapat menerjemahkan simbol yang masih remang
mungkin pelita itu akan menjadi seorang santo
yang membebaskan para arif dari guanya Plato
setelah lama dikutuk dan terbelenggu dijajah waktu
dirantai dongeng-dongeng dan mitos purba dari zaman batu
selebihnya akan kupupuk fitrah ilmu yang murni
demi menyemai erang bunga musim semi

(23—24 April 2015)


Bandung, 10 Mei 2016



Daftar Rujukan

Black, Jonathan. 2015. Sejarah Dunia yang Disembunyikan (The Secret History of the World), terj: Isma B. Soekato dan Adi Toha. Tangerang: Pustaka Alvabet.
Coelho, Victor. 1992. Music and Science in the Age of Galileo. London: Kluwer Academic Publishers.
Field, J.V. 1984. “A Lutheran Astrologer: Johannes Keppler”, Archive for History of Exact Sciences, Vol. 31 No. 3: h. 207—219.
Godwin, Joscelyn. 2007. “Kepler and Kircher on the Harmony of the Spheres”. Hermetic Library: http://www/hermetic.com.
Magee, Bryan. 2008. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius.
Masruri, Hadi. 2005. Ibn Thufail: Jalan Pencerahan Mencari Tuhan. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara.
Keppleri, Ioannis. 1619 (Anno M. DC. XIX). Harmonices Mvndi: Libri V. Qvorvm. Lincii Austriae: Sumptibus Godofredi Tampachii Bibl. Francof. Excudebat Ioannes Plancvs.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB.
www.drbo.org. Latin Vulgate (Clementine): Book of Genesis, diakses 11 Mei 2016.
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Share This

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By Blogger Templates