Marak para peneliti yang membahas syair
Jalaluddin Rumi (1207—1273) dari berbagai perspektif. Seolah, syair Rumi
merupakan oase bagi orang-orang yang haus akan kekayaan makna dan keluasan tema
yang termaktub dalam syair Matsnavi. Menurut Nur Jabir, salah satu hal yang
menarik dalam pemikiran Rumi adalah sistem filsafatnya yang disebut dengan
sebuah “sistem filsafat terbuka.”
Maksud dari sistem filsafat terbuka ialah
tidak membatasi subjek besar filsafat yang kerap menjadi titik perbalahan para
filsuf, yakni Tuhan dan hakikat alam. Alam bergantung secara totalitas kepada
Tuhan. Maka, karena Tuhan itu tak terbatas, ciptaan-Nya pun juga tak terbatas.
Kita sering menganggap alam ini terbatas di kala kita membandingkan alam dengan
Tuhan. Sehingga, kita menyimpulkan bahwa Tuhan tak terbatas sedangkan alam
terbatas. Padahal, tak satupun manusia yang dapat mengetahui bentuk akhir dari
alam raya, sehingga pandangan para filsuf terdahulu ihwal realitas eksternal
adalah definisi realitas menurutnya sendiri.
Untuk mengurai hakikat alam raya, Mulla
Sadra menggunakan pendekatan filsafat Hikmah Muta’aliyah melalui kemendasaran
wujud (ashalat al-wujud), gradasi wujud, (tasykik al-wujud), dan
gerak substansial (harakah al-jauhariyah). Atau, Ibn ‘Arabi misalnya,
yang seluruh bahasannya diselesaikan dengan wahdat al-wujud dan konsep
manifestasi (tajalli). Artinya, persoalan filsafat seakan tak dapat
diselesaikan kecuali dengan pendekatan filsafat yang mereka bangun. Dengan
demikian, sistem filsafat tersebut merupakan sistem filsafat tertutup.
Berbeda halnya dengan Rumi. Sebagaimana
telah disinggung di atas, bahwa filsafat terbuka Rumi ialah ketidakterbatasan
Tuhan dan ketidakterbatasan alam. Oleh sebab itu, dalam syair-syair Rumi kita
dapat menemukan berbagai pendekatan dalam menginterpretasikan realitas.
Artinya, kita takkan menemukan suatu sistem yang tetap dan baku dalam syair
Rumi. Misalnya, untuk menjawab problem pemanasan global dan efeknya yang kini
menjadi isu hangat di antero dunia dapat kita temukan dalam syair Rumi. Hal
tersebut, dapat dilihat sebagai kepedulian Rumi terhadap biodeversitas.
Biodiversitas atau keanekaragaman hayati
merupakan prinsip utama dari bahasan ilmu Ekologi. Istilah ini pertama kali
dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834—1914) yang diartikan sebagai ilmu yang
memelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk
hidup dan lingkungannya. “Ekologi” berasal dari kata Yunani “oikos” yang
berarti “habitat” dan “logos” yang berarti “ilmu”. Dalam ekologi, makhluk hidup
dipelajari sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.
Para pakar ekologi, salah satunya
memelajari terjadinya hubungan/interaksi antarspesies makhluk hidup dan
hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Sementara itu, dalam
perpektif ekologi bahasa, kemampuan seseorang menggunakan sistem bahasa
merupakan hasil pendalamannya terhadap lingkungan dan komunitas atau masyarakat
sekitarnya. Setiap individu yang terlahir ataupun berada dalam suatu
masyarakat, akan memelajari sistem yang berkembang di masyarakat
tersebut dan mengadaptasinya. Dalam konteks ini, interaksi Rumi dengan alam,
lingkungan, dan masyarakatnya diekspresikan lewat syair-syairnya yang terkenal
dengan judul Matsnavi. Kepeduliannya terhadap biodiversitas dapat dilihat dalam
penggalan syairnya berikut.
When the
rose has faded and the garden is withered,
The song of
nightingale is no longer to be heard. (Rumi,
2001: 5)
(Ketika
mawar hilang dan kebun bunga lenyap dan pergi,
Maka
nyanyian burung-burung pun takkan terdengar lagi)
Cukup
dengan dua baris syair tersebut, para pembacanya diajak merenungi alam.
Eksploitasi alam yang membabi-buta demi keuntungan material telah membuat
manusia terasing dengan lingkungannya. Kegelisahan Rumi akan lenyapnya kebun
mawar berakibat pada keharmonisan habitat yang mengikutinya (nyanyian burung
takkan terdengar lagi).
Ketika dewasa ini para organisasi dan
lembaga swadaya meneriakkan keselamatan bumi, maka Rumi sudah lebih dari 700
tahun lalu menyuarakan, “Selamatkan bumi dengan hati nurani.”
Bandung,
14 Mei 2016
Rujukan
Rumi,
Maulana Jalaluddin. 2001. Masnavi i Ma’navi: Teachings of Rumi, The
Spiritual Couplets of Maulana Jalaluddin Muhammad i Rumi (transl. by: E.H.
Whinfield, M.A.). Iowa: Omphaloskepsis.
follow back, This more like it.
BalasHapus