CAFE BUDAYA GEMA FAJAR

Minggu, 15 Mei 2016

EKSPRESI KEPEDULIAN JALALUDDIN RUMI TERHADAP BIODIVERSITAS DALAM SYAIR MATSNAVI

      Marak para peneliti yang membahas syair Jalaluddin Rumi (1207—1273) dari berbagai perspektif. Seolah, syair Rumi merupakan oase bagi orang-orang yang haus akan kekayaan makna dan keluasan tema yang termaktub dalam syair Matsnavi. Menurut Nur Jabir, salah satu hal yang menarik dalam pemikiran Rumi adalah sistem filsafatnya yang disebut dengan sebuah “sistem filsafat terbuka.”
      Maksud dari sistem filsafat terbuka ialah tidak membatasi subjek besar filsafat yang kerap menjadi titik perbalahan para filsuf, yakni Tuhan dan hakikat alam. Alam bergantung secara totalitas kepada Tuhan. Maka, karena Tuhan itu tak terbatas, ciptaan-Nya pun juga tak terbatas. Kita sering menganggap alam ini terbatas di kala kita membandingkan alam dengan Tuhan. Sehingga, kita menyimpulkan bahwa Tuhan tak terbatas sedangkan alam terbatas. Padahal, tak satupun manusia yang dapat mengetahui bentuk akhir dari alam raya, sehingga pandangan para filsuf terdahulu ihwal realitas eksternal adalah definisi realitas menurutnya sendiri.
     Untuk mengurai hakikat alam raya, Mulla Sadra menggunakan pendekatan filsafat Hikmah Muta’aliyah melalui kemendasaran wujud (ashalat al-wujud), gradasi wujud, (tasykik al-wujud), dan gerak substansial (harakah al-jauhariyah). Atau, Ibn ‘Arabi misalnya, yang seluruh bahasannya diselesaikan dengan wahdat al-wujud dan konsep manifestasi (tajalli). Artinya, persoalan filsafat seakan tak dapat diselesaikan kecuali dengan pendekatan filsafat yang mereka bangun. Dengan demikian, sistem filsafat tersebut merupakan sistem filsafat tertutup.
       Berbeda halnya dengan Rumi. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa filsafat terbuka Rumi ialah ketidakterbatasan Tuhan dan ketidakterbatasan alam. Oleh sebab itu, dalam syair-syair Rumi kita dapat menemukan berbagai pendekatan dalam menginterpretasikan realitas. Artinya, kita takkan menemukan suatu sistem yang tetap dan baku dalam syair Rumi. Misalnya, untuk menjawab problem pemanasan global dan efeknya yang kini menjadi isu hangat di antero dunia dapat kita temukan dalam syair Rumi. Hal tersebut, dapat dilihat sebagai kepedulian Rumi terhadap biodeversitas.
       Biodiversitas atau keanekaragaman hayati merupakan prinsip utama dari bahasan ilmu Ekologi. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834—1914) yang diartikan sebagai ilmu yang memelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. “Ekologi” berasal dari kata Yunani “oikos” yang berarti “habitat” dan “logos” yang berarti “ilmu”. Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.
      Para pakar ekologi, salah satunya memelajari terjadinya hubungan/interaksi antarspesies makhluk hidup dan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Sementara itu, dalam perpektif ekologi bahasa, kemampuan seseorang menggunakan sistem bahasa merupakan hasil pendalamannya terhadap lingkungan dan komunitas atau masyarakat sekitarnya. Setiap individu yang terlahir ataupun berada dalam  suatu  masyarakat, akan memelajari sistem yang berkembang di masyarakat tersebut dan mengadaptasinya. Dalam konteks ini, interaksi Rumi dengan alam, lingkungan, dan masyarakatnya diekspresikan lewat syair-syairnya yang terkenal dengan judul Matsnavi. Kepeduliannya terhadap biodiversitas dapat dilihat dalam penggalan syairnya berikut.

When the rose has faded and the garden is withered,
The song of nightingale is no longer to be heard. (Rumi, 2001: 5)
(Ketika mawar hilang dan kebun bunga lenyap dan pergi,
Maka nyanyian burung-burung pun takkan terdengar lagi)
     Cukup dengan dua baris syair tersebut, para pembacanya diajak merenungi alam. Eksploitasi alam yang membabi-buta demi keuntungan material telah membuat manusia terasing dengan lingkungannya. Kegelisahan Rumi akan lenyapnya kebun mawar berakibat pada keharmonisan habitat yang mengikutinya (nyanyian burung takkan terdengar lagi).
      Ketika dewasa ini para organisasi dan lembaga swadaya meneriakkan keselamatan bumi, maka Rumi sudah lebih dari 700 tahun lalu menyuarakan, “Selamatkan bumi dengan hati nurani.”

Bandung, 14 Mei 2016

Rujukan

Rumi, Maulana Jalaluddin. 2001. Masnavi i Ma’navi: Teachings of Rumi, The Spiritual Couplets of Maulana Jalaluddin Muhammad i Rumi (transl. by: E.H. Whinfield, M.A.). Iowa: Omphaloskepsis.



Share This

1 komentar:

Designed By Blogger Templates