“Nam
et ipsa scientia potestas est.”
-
Sir Francis Bacon -
1. Sekilas
Tentang Francis Bacon
FRANCIS BACON (1561—1626) merupakan filsuf yang menonjol dalam
banyak bidang, dari politik, hukum, sastra, filsafat, hingga sains. Ia tumbuh
di lingkungan pengadilan, yang pada saat itu merupakan pusat kekuasaan politik
di era Ratu Elizabeth I dan Raja James I. Ia berasal dari keluarga bangsawan
terkemuka pada zamannya, sebagaimana dipaparkan oleh Kauffmann berikut:
“As the youngest son of Sir Nicholas Bacon, Lord Keeper of the
Great Seal for Queen Elizabeth I, Francis early life was one of prestige and
privilege. His uncle, Lord Burghley, was one of the most powerful men in the
kingdom.” (Kauffmann, 1997: 1)
Sebagaimana kutipan di atas, keluarganya yang memiliki pengaruh di
lingkungan kerajaan itulah yang yang memberikan keleluasaan untuk memeroleh
pendidikan. Bacon menempuh pendidikan di Cambridge memperdalam Aristoteles,
kemudian ia pindah ke bidang hukum. Pengetahuannya di bidang hukum,
mengantarkannya menjadi seorang anggota parlemen di usia muda, yakni 23 tahun.
Lalu, secara berturut-turut menjadi Solicitor –General (Jaksa Agung), Lord Keeper
of the Great Seal (seperti ayahnya), dan Lord Chancellor (pejabat tertinggi
dalam pengadilan). Ia dianugerahi gelar Kesatria (Sir) pada 1603 menjadi “Sir
Francis Bacon”, sekaligus menjadi seorang Baron Verulam (1618) dan Viscount St.
Alban (1621). Adapun Magnum Opus yang dihasilkannya meliputi:
(a) Esai-Esai
(1597). Dalam karya ini, Bacon membahas bagaimana orang hidup, apa
yang dilakukan orang, dan apa yang seharusnya dilakukan orang,
(b)
Kemajuan
Pembelajaran (1605). Bacon memaparkan
tinjauannya tentang situasi pengetahuan pada saat itu, dan
(c) Novum
Organum (1620). Karya ini memaparkan
metode ilmiah Bacon.
2.
Keyword
a) Berhala-berhala/Idols: semacam rintangan yang menghalangi
kemajuan manusia. Idola merupakan unsur-unsur tradisi yang dipuja-puja seperti
berhala,
b) Empat Kausa (penyebab) sebagaimana konsep Aristoteles: kausa
material, kausa efisien, kausa forma, dan kausa final,
c) Deduksi: pengambilan kesimpulan dari suatu yang umum ke yang
khusus, dan
d) Induksi: menarik kesimpulan umum dari hasil-hasil pengamatan yang
bersifat khusus.
3.
Metafisika/Ontologi
Menurut Bacon (dalam
Copleston, 1993: 296), fisika dan metafisika itu termasuk speculative
natural philosophy. Jadi, teologi dan first philosophy bukanlah
metafisika baginya (karena Bacon cenderung berpikir scientific).
“The philosophy of
nature Bacon divides into speculative and operative natural philosophy.
Speculative natural philosophy is subdivided into physics (physica specialis)
and metaphysics. Metaphysics, as part of natural philosophy, must be
distinguished, Bacon says, from first philosophy and natural theology, to
neither of which does he give the name ‘metaphysics’. What, then, is the
difference between physics and metaphysics? It is to be found in the types of
causes with which they are respectively concerned.” (Copleston, 1993:
296)
Kemudian, bagaimana perbedaan fisika dan metafisika? Bacon
bersandar pada empat kausa (penyebab) sebagaimana konsep Aristoteles (yakni:
kausa material, efisien, forma, final). Fisika berurusan dengan kausa
material dan efisien. Sementara
metafisika berurusan dengan kausa forma dan final (tujuan). Dalam
Copleston dinyatakan, fisikanya Bacon itu adalah penyebab material dan penyebab
efisien.
“Physics treats of efficient and material causes, metaphysics of
formal and final causes. But Bacon presently declares that ‘inquiry into final
causes is sterile and, like a virgin consecrated to God, produces nothing’. One
can say, then, that metaphysics, according to him, is concerned with formal
causes. This was the position he adopted in the Novum organum.”
(Copleston, 1993: 296)
Sementara, metafisikanya itu adalah penyebab forma (forms),
misalnya menyebut “api” itu bukan hanya nyala api dalam arti yang sebenarnya. Semua
yg bersifat panas itu api, seperti “hati yg panas” itu juga api. Api dalam
konteks ini posisinya sebagai prinsip. Maka, bukan api dalam arti sebenarnya,
namun api sebagai prinsip.
“By 'forms', the
object of metaphysics, he meant what he called ‘fixed laws’. The form of heat
is the law of heat.” (Copleston,
1993: 296)
Sebagaimana api sebagai prinsip di atas, yg dimaksud dengan api itu
adalah “prinsip” semua yang menghasilkan panas (The form of heat is the law of
heat). Jadi, yang disebut dengan forma, objek metafisika adalah
hukum-hukum atau prinsip-prinsip sebetulnya, bukan bentuk itu sendiri. maka
misalkan kita menyebut “air”, berarti harus tahu bahwa itu prinsip air. Semua
yg mengalir itu air (air seni, darah, dsb).
4.
Epistemologi
Bacon memandang bahwa pengetahuan ilmiah dapat memberi manusia
kekuasaan atas alam, dan karenanya, perkembangan sains dapat digunakan untuk
mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran manusia dalam skala yang tak pernah
terbayangkan sebelumnya (Magee, 2008: 75). Gerbang metode empiris yang
dibukakan oleh Aristoteles mendapat “sambutan” darinya. Karyanya Novum Organum
(1620) merupakan sebuah tanggapan atas buku logika Aristoteles yang berjudul Organum.
Menurut Bacon, logika tradisional Aristoteles tidak dapat digunakan sebagai
perangkat penemuan. Logika itu membuktikan berdasarkan fakta, namun tidak
mengungkapkan sesuatu yang baru (Magee, 2008: 75).
Berkelindan dengan hal di atas, Bacon menawarkan suatu metode baru
dalam memeroleh pengetahuan yang disebutnya sebagai metode induktif. Namun, sebelum
memulai penalaran secara induksi, seorang filsuf mesti mengosongkan pikiran-pikiran
yang dapat menyebabkan kegoyahan dalam memeroleh pengetahuan baru. Menurut
Bacon, hal ini disebut dengan “Idols” atau “Berhala-berhala”. Idola merupakan
unsur-unsur tradisi yang dipuja-puja seperti berhala yang dapat menghambat daya
pikir kritis kita. Dalam Novum Organum Pasal XXXVIII, Bacon menyatakan:
“There are four classes of Idols which beset
men's minds. To these for distinction's sake I have assigned names,
calling the first class Idols of the Tribe;
the second, Idols of the Cave; the third, Idols of the Market Place;
the fourth, Idols of the Theater.” (Kauffmann,
1997: 3)
Terdapat empat macam Berhala yang dikemukakan Bacon, sebagaimana
saya deskripsikan sebagai berikut, berdasarkan pada pengertian yang dipaparkan
Magee (2008: 76—77):
1. Berhala
Para Bangsa (Idols of the Tribe). Disebut berhala para bangsa karena
lazim dijumpai pada semua umat manusia, yakni faktor-faktor pengacau yang ada
dalam diri kita sebagai manusia: kecenderungan untuk percaya pada bukti-bukti
yang disodorkan oleh pancaindra—padahal bukti itu kerap menipu—kecenderungan
untuk membiarkan penilaian kita diwarnai oleh perasaan, dan kecenderungan untuk
menafsirkan persepsi berdasarkan ide-ide dan harapan kita sendiri;
2. Berhala-berhala
Gua (The Idols of the Cave). Dalam berhala ini Bacon merujuk pada mitos
gua Plato. Menarik kesimpulan hanya berdasarkan prasangka, prejudice,
selera a priori (seperti manusia di dalam gua);
3. Berhala-berhala
Pasar (The Idols of the Market Place). Berasal dari percakapan di antara
sesama manusia, dengan perantaraan bahasa. Ada dua cara kata-kata menipu kita. Pertama,
kata yang sama dapat memiliki arti yang berbeda-beda bagi orang yang berbeda. Kedua,
manusia memiliki kecenderungan untuk mencampuradukkan bahasa dengan
kenyataan; dan
4. Berhala-berhala
Teater (The Idols of the Theatre). Menarik kesimpulan berdasarkan
kepercayaan dogmatis, mitos, dsb. Karena manganggap dunia adalah panggung
sandiwara.
Berdasarkan pemaparan atas berhala-berhala tersebut, Bacon hendak menyapu
bersih pikiran kita dari berbagai macam prasangka yang menghambat kemajuan. Berhala-berhala
ibarat debu yang menghalangi penglihatan mata kta dalam melihat objek. Dengan
demikian, mewaspadai Berhala-berhala tersebut merupakan langkah awal untuk mempersiapkan
peralatan observasi kita.
Dalam menyusun ataupun memeroleh pengetahuan dengan metode induksi,
Bacon mendeskripsikan sistemnya yang terkenal guna memajukan pengetahuan
tentang dunia alam. Menurut Bacon, kita membutuhkan prosedur sistematis dan
terkendali sebagai berikut (Magee, 2008: 74—75):
“Kita harus mengamati fakta, mencatat pengamatan kita,
mengumpulkan data yang dapat diandalkan, semakin banyak semakin baik. Dalam hal
ini, akan lebih efektif bila dilakukan oleh banyak orang yang bekerja sama
daripada bila dikerjakan satu orang saja. Itulah sebabnya, dibutuhkan komunitas
ilmiah atau kolese.
Pada tahap ini kita harus hati-hati
untuk tidak memaksakan ide-ide kita terhadap fakta. Sebaliknya, biarkan fakta
itu berbicara sendiri apa adanya. Bila kita telah mengumpulkan banyak fakta,
maka fakta akan mulai berbicara. Keteraturan dan pola akan muncul, hubungan
sebab-akibat akan tampak dengan sendirinya, dan kita akan mulai bisa melihat
hukum-hukum alam yang bekerja di sana.
Namun demikian, kita harus awas dan
peka terhadap fakta yang bertentangan. Kita cenderung tergesa-gesa melompat
kepada kesimpulan semata-mata hanya berdasarkan pada bukti yang cocok dengan
kesimpulan yang sudah diambil. Misalnya bila seseorang bermimpi dan kemudian
mimpinya menjadi kenyataan, ia mungkin akan bercerita bahwa mimpi adalah sebuah
pertanda, dan dengan mudahnya dia akan mengabaikan sekian banyak mimpinya yang
tidak menjadi kenyataan. Untuk sampai pada kesimpulan yang benar, fakta
penyangkal sama pentingnya dengan fakta pendukung. Apabila kita cukup
berdisiplin dalam hal ini, kita akan mulai melihat adanya hukum-hukum umum yang
ditampilkan oleh contoh-contoh partikular.
Jika kita telah membentuk hipotesis
yang kuat dasar-dasarnya, tugas kita selanjutnya adalah mengujinya dengan eksperimen.
Apabila eksperimen meneguhkan hipotesis itu, maka kita telah berhasil menemukan
sebuah hukum alam. Selanjutnya kita dapat sampai pada suatu kesimpulan
berdasarkan penalaran itu. dengan kata lain, kita dapat membuat prediksi
yang akurat. Jadi, dalam proses menemukan sebuah hukum ilmiah, kita
bergerak dari yang khusus ke yang umum. Proses ini disebut dengan INDUKSI. Sementara
itu, ketika kita menerapkan hukum itu, kita bergerak dari yang umum ke yang
khusus. Proses ini disebut sebagai DEDUKSI.”
“Nos scimus quia lex bona est, modo quis ea utatur legitime”
Kita mengetahui bahwa undang-undang itu adalah baik sepanjang orang
menggunakannya secara sah
- Francis Bacon -
Karya pertamanya adalah buku yang berjudul Esai-Esai, muncul
pada 1597, dan sedikit demi sedikit diterbitkan lebih luas. Esai-Esai ini
ditulis dengan padat tidak hanya dalam masalah politik, tetapi juga menyangkut berbagai
bidang. Dalam bentuk prosa yang sederhana, ia menelaah hakikat berbagai hal seperti
cinta, ambisi, balas dendam, dll. (Magee, 2008: 74). Copleston (1993: 298) menguraikan
etika Bacon sebagai berikut:
“Ethics deals with the nature of human
good (doctrina de exemplari), not only private but also common, and with
the cultivation of the soul with a view to attaining the good (doctrina de
georgica animi). The part dealing with the common good does not treat of
the actual union of men in the State but with the factors which render men apt
for social life.” (Copleston, 1993: 298)
Etika menjawab pertanyaan apa yang
seharusnya boleh kita lakukan dan apa yg seharusnya tidak boleh kita lakukan? Etika
merupakan sebuah filsafat yg mempertanyakan kenapa tidak boleh membunuh?
Sementara moral itu berhubungan dengan sangsi (karena melanggar hukum seperti
membunuh, mencuri, dsb.).
DAFTAR
PUSTAKA
Copleston,
Frederick. 1993. A History of Philosophy Volume III Late Medieval and Renaissance
Philosophy. New York: Doubleday.
Kauffmann,
Walter. 1997. Modern Philosophy. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Magee, Bryan. The
Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius.
[1] Makalah ini
dipresentasikan pada kuliah Filsafat Barat Modern, di bawah arahan Dr. Matius
Ali, pada Sabtu, 18 Oktober 2014, ICAS-Paramadina Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar