CAFE BUDAYA GEMA FAJAR

Sabtu, 07 Mei 2016

HUBUNGAN PEREMPUAN DAN TANAH SEBAGAI MANIFESTASI KESUBURAN: MEMBACA ULANG ESENSI FILOSOFIS TANAH PUSAKA FADAK NABI MUHAMMAD SAW. UNTUK SAYYIDAH FATHIMAH AZ-ZAHRA

Pendahuluan
          Tidak sedikit definisi “tanah” yang memiliki arti yang tetap. Namun, bila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),[1] tanah didefinisikan sebagai “permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali”. Adapun turunan dari definisi tanah dalam KBBI sangat banyak, tergantung permainan bahasa yang hendak digunakan. Dalam tulisan ini, definisi “tanah pusaka” dan “tanah milik” dalam KBBI tersebut kiranya cocok untuk membuka pembahasan—yakni, “tanah yang menjadi milik turun-temurun dari nenek moyang”. Sementara definisi “tanah milik” adalah tanah yang menjadi hak milik seseorang (bukan tanah negara).
        Definisi “tanah pusaka” di atas, tentu akan berbeda dengan definisi “tanah perponding”[2], “tanah kerajaan”[3], “tanah kosong”[4], “tanah garapan”[5], “tanah suku”[6], “tanah usaha”[7], “tanah wakaf”[8], “tanah hidup”[9], “tanah mati”[10], “tanah adat”[11], “tanah leluhur”[12], “tanah tumpah darah”[13], atau “tanah kuburan”[14]. Maka, dengan definisi yang berbeda tersebut maka status, penggunaan, pemegang hak, dan ketetapan hukumnya pun juga akan berbeda-beda. Tanah Fadak yang diwarisi Sayyidah Fathimah dari ayahandanya, Rasulullah saw, dalam konteks ini termasuk dalam tanah pusaka sekaligus tanah milik. Bukan tanah kerajaan, tanah mati, tanah adat, tanah usaha, tanah tumpah darah, apalagi tanah kuburan.
       Sehubungan dengan hal di atas, tulisan ini hendak menjawab pertanyaan, Mengapa Rasulullah saw menyerahkan tanah Fadak khusus kepada Sayyidah Fathimah? dan bertujuan untuk apakah tanah Fadak itu dikelola?

Asal-usul Tanah Fadak       
     Tanah Fadak adalah nama sebuah wilayah di Hijaz, jazirah Arab, yang pada awalnya dimiliki orang-orang Yahudi. Tanah ini berjarak sekitar 160 km dari Madinah. Walaupun berdekatan dengan wilayah kering, Fadak sendiri merupakan wilayah subur yang dirimbuni hamparan luas kebun kurma dan sejak dulu sudah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Kini, Fadak berkembang menjadi sebuah kota yang kini kondang dengan nama “al-Haith”. Lokasi Fadak berdekatan dengan Khaibar, sebuah benteng-benteng Yahudi di era Nabi Muhammad saw yang ditaklukkan oleh Muslimin berkat kemenangan ‘Ali bin Abi Thalib.[15]
     Diceritakan ketika pasukan Muslimin menguasai seluruh benteng yang ada di sekitar Khaibar (saat Perang Khaibar), mereka pun menaklukkan orang-orang Yahudi. Sisa-sisa orang Yahudi memohon kepada Nabi saw untuk diperbolehkan tinggal. Mereka ingin tetap dapat mengolah tanah tersebut untuk pertanian dan perkebunan. Orang-orang Yahudi itu berjanji kepada Rasulullah saw akan menyumbangkan setengah dari hasil panen mereka kepada kaum Muslimin. Rasulullah saw pun mengabulkan permohonan mereka.
    Berita tentang penaklukkan Khaibar terdengar oleh orang-orang Yahudi yang bermukim di Fadak. Mereka menjadi sangat risau dan ketakutan. Sebagai langkah diplomasi, mereka berinisiatif dengan mengutus wakil mereka untuk bertemu dengan Rasulullah saw guna membawa pesan tentang perlunya dibuat suatu perjanjian. Perjanjian pun dilakukan, lalu mereka menyerahkan separuh wilayah Fadak kepada Rasulullah saw tanpa peperangan. Karena Fadak ditaklukkan tanpa peperangan, maka sesuai dengan hukum Quran hal ini disebut dengan khalishah Nabi saw (kuasa penuh khusus bagi Nabi).[16] Berdasarkan perintah beliau saw, adapun pendapatan dari tanah Fadak diberikan kepada Bani Hasyim dan orang-orang yang membutuhkan lainnya.
     Fadak merupakan lahan luas yang dapat menopang perekonomian di awal permunculan Islam. Sejak dulu, Fadak terkenal sebagai lahan perkebunan dan pertanian yang terkenal akan kesuburan tanah dan sumber daya airnya yang melimpah. Menurut salah satu sumber, nilai pohon kurma Fadak sebanding dengan pohon kurma yang ada di Kufah. Itulah mengapa orang-orang Yahudi yang bermukim meminta kepada Nabi saw untuk tetap diperbolehkan tinggal di sana. Diceritakan bahwa Umar bin al-Khattab memutuskan untuk mengusir orang-orang Yahudi dari Fadak dengan membayar 50 ribu dirham (senilai dengan setengah dari harga Fadak) kepada mereka agar mau hengkang. Angka persis dari hasil tahunan kebun Fadak tidak dapat diprediksi secara pasti. Namun, banyak sumber yang mengatakan bahwa Fadak pada era Rasulullah saw mencapai angka 24 ribu hingga 70 ribu dinar.
     Menurut riwayat, Rasulullah saw menghibahkan tanah tersebut kepada puterinya, Fathimah, agar dapat dimanfaatkan untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya dan untuk keperluan orang-orang miskin.[17] Sedangkan “hibah” berarti pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.[18] Dengan hibah, si pemiliknya memiliki kekuatan hukum setelah yang memberinya meninggal dunia. Artinya, apabila ada seseorang atau pihak lain yang menyerobot atau mengklaim hak atas tanah tersebut, maka orang itu berarti telah melanggar hukum.
     Masyarakat Jawa di era Pangeran Diponegoro memiliki pepatah kuat mengenai tanah pusaka yang saat itu dengan sembarangan dicaplok oleh Belanda. Pepatah tersebut berbunyi, “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi pati!” Sejari di dahi, sejengkal tanah pun dibela sampai mati!”. Pepatah ini hendak menegaskan bahwa tanah adalah kehormatan atau harga diri yang harus dibela walau harus bertaruh nyawa. Sebagaimana kita ketahui, bahwa salah satu faktor penyebab murkanya Diponegoro kepada Belanda adalah tindakan sewenang-wenang atas tanah milik nenek Diponegoro di Tegalrejo, Jawa Tengah.[19] Memang, sektor pertanahan kerap dimanfaatkan bagi suatu pemerintahan yang hendak memperbaiki kondisi ekonomi suatu bangsa.
     Saat itu, pemerintah Hindia-Belanda menderita kesulitan ekonomi akibat kekalahan dalam peperangan Napoleon. Untuk menutupi kekosongan kas negara, maka diberlakukan pemungutan pajak di wilayah-wilayah jajahannya, tidak terkecuali di Hindia (nama Indonesia di zaman tersebut). Tingginya nilai pajak yang ditetapkan dirasa sangat membebani rakyat. Selain itu, praktek monopoli perdagangan seperti VOC digalakkan kembali untuk memperoleh keuntungan maksimal.
      Hasil bumi pun diangkut secara membabi-buta oleh Belanda. Tapi, mereka merasa hasilnya masih kurang. Maka, Belanda mulai melancarkan taktik dengan menguasai kerajaan-kerajaan di Nusantara. Di keraton Ngayogyokarto, Hamengku Buwono IV wafat. Lantas, Sultan Hamengkubuwono V, yang saat itu berusia tiga tahun, naik takhta. Namun, roda pemerintahan kerajaan berada di tangan Patih Danurejo. Sayang, patih ini takluk kepada Belanda dan sikapnya tidak menunjukkan seorang kesatria keraton.
     Pada bulan Mei (sekitar tahun 1825 M), pemerintah Hindia-Belanda melakukan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang. Namun, Belanda ternyata mengubah rencana pembangunan itu melewati Tegalrejo. Di sana, proyek Belanda itu meliputi tanah makam leluhur salah satu bangsawan keraton yang paling berpengaruh: Raden Mas Ontowiryo atau lebih dikenal sebagai Pangeran Diponegoro. Melihat ulah Belanda, Diponegoro naik pitam. Lalu, ia mencabut patok yang ditancap sepanjang makam leluhurnya tersebut. Saking merasa berkuasa, pihak Belanda pun ngebandel. Mereka memasang kembali patok-patok di tanah tersebut. Pangeran Diponegoro makin berang. Selanjutnya, ia mengganti patok-patok Belanda dengan tombak (sebagai tanda perlawanan).

Antara Perempuan dan Elemen Tanah
     Dalam teori emanasinya, al-Farabi menandaskan bahwa tanah merupakan salah satu materi primer dan elemen penting dalam kehidupan di samping air, api, dan udara. Kalakian, elemen kehidupan itu mengendap sebagai mineral, lantas meriap sebagai tetumbuhan dan menjelma sebagai hewan sehingga pada puncaknya terwujudlah manusia.[20] Dalam masyarakat Jawa, pertanahan sering diasosiasikan dengan perempuan. Perempuan merupakan sosok makhluk hidup yang memberikan kehidupan, yakni melahirkan dan menyusui—yang dengannya, perempuan sekaligus mewakili manifestasi kesuburan.
    Sebelum datangnya pengaruh Hindu, di Indonesia pemujaan terhadap kekuatan yang menimbulkan kesuburan sudah berlangsung lama. Pemujaan tersebut berpangkal dari kepercayaan terhadap roh atau arwah nenek moyang (animisme). Roh nenek moyang diasumsikan mempunyai banyak pengalaman batiniah, sehingga di dalam kehidupannya roh tersebut diurapi oleh kekuatan-kekuatan supranatural. Dengan kekuatan tersebut, roh nenek moyang dapat melakukan segala perbuatan yang tidak dapat dilakukan oleh orang hidup. Itulah mengapa pada zamannya manusia memuja roh nenek moyang. Pemujaan ini dilakukan dengan harapan untuk mendapatkan kesejahteraan hidup, kesuburan, dan kebahagiaan. Sekaligus, bentuk penghormatan kepada leluhur.[21]
     Pemujaan terhadap kesuburan yang akhirnya menjadi salah satu bagian terpenting dalam kebudayaan agraris bermula dari ketidaktahuan tentang proses yang terjadi di alam ini. Manusia merasa heran dan takjub menyaksikan prosesi kelahiran, sehingga mereka percaya bahwa apa yang ada di dunia ini semuanya dilahirkan. Cara berpikir yang masih sangat sederhana ini membawa mereka ke sosok perempuan, karena perempuanlah yang melahirkan manusia ke dunia ini. Dari pandangan inilah muncul tokoh perempuan yang dipuja sebagai dewi ibu bernama Dewi Sri Laksmi. Tokoh dewi ini dalam masyarakat agraris disimbolisasikan sebagai tanah. Sebab, tanahlah yang melahirkan segala tanaman yang dibutuhkan manusia dan makhluk hidup lainnya di dunia.
     Di dalam bagian kitab Rig Weda Sri-Sukta, disebutkan bahwa dewi Sri Laksmi selalu berkaitan dengan bunga padma. Digambarkan Dewi Sri Laksmi adalah dewi yang mempunyai bunga padma (padmini), berdiri di atas bunga padma (padmeshita), mempunyai warna bunga padma (padma warna) dan sebagai tempat tumbuhnya bunga padma (padma sambhawa). Dia juga digambarkan mempunyai mata yang bersinar seperti bunga padma (padmaksi).[22]
     Bunga padma adalah simbol air yang memberikan kesuburan. Dalam hal ini bunga padma dapat dihubungkan dengan tempat bunga atau kendi dan binatang gajah. Dalam mitologi India disebutkan bahwa pada waktu alam semesta ini akan diciptakan, mula-mula muncul bunga padma dari emas berdaun dan berbunga seribu yang keluar dari dalam air kosmis. Bunga padma ini dianggap sebagai aspek tertinggi bumi, sedangkan air kosmis mempunyai sifat keibuan, aspek pencipta yang absolut. Persatuan keduanya menghasilkan penciptaan. Hubungan antara air, bunga padma dan binatang gajah terdapat di dalam naskah kuno India. Sementara, Bukti ikonografis yang menunjukkan peran Dewi Sri sebagai Dewi Padi di Jawa, dapat diketahui dari arca-arca yang digambarkan memegang setangkai padi—yang mungkin dapat menunjukkan peranan Dewi Sri sebagai Dewi Padi.
     Dalam tradisi beberapa masyarakat agraris, muncul kepercayaan bahwa tanaman padi berasal dari tubuh seorang wanita. Misalnya dari kesusateraan Sunda, yakni tentang asal-usul tanaman padi termuat dalam cerita Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Sedangkan di Flores, terdapat cerita asal-usul tanaman padi dari seorang gadis bernama Ine Pane atau Ine Mbu. Atas permintaan sendiri, gadis tadi dikorbankan dan dari tubuhnya keluar tanaman padi.[23]
     Dewi Sri bagi masyarakat Jawa dapat dikatakan sebagai “sahabat” para petani. Ia lahir dari mata air Dewa Anta, yang kemudian diasuh oleh Dewi Uma (permaisuri Batara Guru). Tetapi, Batara Guru kemudian jatuh cinta pada kecantikan Dewi Sri dan berusaha untuk menyetubuhinya, tapi Dewi Sri menolak. Lantaran terus-menerus dipaksa, akhirnya Dewi Sri rela dengan syarat Batara Guru dapat memberikan buah yang diidam-idamkan. Lalu, Batara Guru tidak berhasil memberikan buah-buahan tersebut, sementara Dewi Sri semakin lama semakin melemah karena tidak mau makan, dan akhirnya meninggal. Kematiannya memberikan kesuburan bagi petani. Dari tubuhnya tumbuh pelbagai macam tanaman, yang salah satunya adalah tanaman padi (hampir serupa dengan legenda Ine Pane atau Ine Mbu di atas).[24]
     Berdasarkan mitos tersebut, sastra Jawa seolah hendak meninggalkan kesan bahwa sosok perempuan seumpama bumi yang sanggup menampung benih, memelihara, dan menjaganya hingga dapat menghasilkan buah segar yang bisa dipetik. Menurut Martha Tilaar, pakar kecantikan kondang asal Jawa, perempuan yang baik adalah yang bisa mengubah lahan gersang menjadi tanah subur tempat semua benih dapat tumbuh. Maka perempuan adalah lambang kesuburan. Seperti kodrat bumi, perempuan adalah perawat yang baik, yang merawat diri sendiri maupun lingkungannya untuk mencapai harmoni. Yakni, harmoni antara unsur-unsur dalam dirinya maupun harmoni dengan alam. Masyarakat Jawa mengenal dunia dalam sebagai jagat-cilik atau mikro-kosmos dan dunia luar jagat-gede atau makro-kosmos. Kehidupan, bagi orang Jawa, pada dasarnya adalah mencari harmoni antara keduanya. Dan merawat artinya usaha terus menerus untuk mencapai harmoni, yakni mengupayakan keseimbangan antara mikro-kosmos dan makro-kosmos.[25]
     Kepercayaan terhadap Dewi Sri di dalam masyarakat Jawa sudah lama dikenal. Upacara pertanian dilakukan pada waktu pertama kali dan sehabis panen masih dijumpai sampai sekarang, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tradisi upacara lain yang masih berkaitan dengan pertanian dilakukan pada waktu pertama kali memasukkan padi ke lumbung (munggah lumbung). Disebabkan adanya kepercayaan bahwa tanaman padi berasal dari tubuh Dewi Sri, maka berkembang mitos yang menimbulkan suatu pandangan sakral terhadap lumbung. Karenanya, lumbung dianggap sebagai tempat penyimpanan padi sekaligus tempat suci.[26]
     Selain di Indonesia, ternyata manuskrip bangsa asing pun mencatat hal yang hampir serupa. Dalam mitologi Yunani, misalnya, dewi kesuburan pun dinisbatkan kepada sosok perempuan bernama Dewi Demeter. Ia adalah dewi kesuburan, pertanian, perkebunan, dan panen. Ayahnya adalah seorang Titan bernama Kronos, sedangkan ibunya adalah Rhea. Seringkali Demeter digambarkan sebagai perempuan dewasa bermahkota yang membawa seikat gandum dan obor. Bila Dewi Sri dikaitkan dengan bunga Padma, maka Demeter dikaitkan dengan bunga Lotus.
    Melalui Dewi Demeter, manusia mendapatkan ilmu bercocok tanam, sehingga manusia meninggalkan cara hidup berburu. Sosok Demeter digambarkan sebagai dewi yang rambutnya menyimbolkan bulir-bulir gandum. Dalam mitologi Romawi, Demeter dikenal dengan nama “Ceres”.[27] Selain Demeter, terdapat banyak nama dewi Yunani yang berkaitan dengan kesuburan seperti Dewi Persefone (disimbolkan dengan gandum muda, tanaman poppy, mint, delima, dan bunga), dan  Dewi Kharites.
     Dalam mitologi Mesir, dewi kesuburan pun dinisbatkan kepada sosok perempuan, yakni Dewi Anuket. Ia merupakan personifikasi dan dewi sungai Nil, karena sungai Nil merupakan jantung kehidupan perkebunan dan pertanian Mesir. Nama “Anuket” berarti “merangkumi” yang mungkin merujuk pada dua hulu sungai Nil, yang dibayangkan sebagai tangannya. Anuket merupakan dewi banjir tahunan sungai Nil, sehingga dikaitkan dengan kesuburan. Sementara, dalam mitologi Nordik dewi kesuburan diwakili oleh sosok Freya. Ia memiliki wajah yang jelita dan bahkan pernah dinobatkan sebagai dewi kesuburan tercantik di antero Valhalla (nama surga dalam mitologi Nordik), sehingga semua makhluk hidup yang ada di dunia mengaguminya dan banyak yang ingin mendapatkan cintanya.
     Penyebutan nama-nama dewi dalam mitologi di atas hanyalah segelintir saja dari sekian banyak. Mitologi dari bangsa lainnya pun masih banyak yang tidak tersebutkan, yang membahas ihwal relevansi tanah dengan kesuburan yang dimanifestasikan dengan citra kaum perempuan. Dengan demikian, sampai di sini kita dapat beranggapan bahwa elemen tanah merupakan simbol feminin yang mewujud sebagai materi primer yang penting untuk kehidupan. Maka, seperti halnya elemen tanah, perempuan pun mewakili manifestasi kesuburan.

Membaca Kembali Esensi Tanah Pusaka Fadak
     Kembali ke tanah Fadak, adapun pemberian tanah tersebut dari Rasulullah saw kepada Sayyidah Fathimah bukanlah hal yang sepele. Rasulullah berharap tanah tersebut khusus digunakan untuk merawat, artinya usaha terus-menerus untuk mencapai harmoni, yakni mengupayakan tercapainya keseimbangan antara mikro-kosmos dan makro-kosmos. Agar di antara keduanya seimbang, tidak lain adalah dengan merawat ajaran asli agama wahyu yang kelak diwarisi oleh keluarganya yang tahu persis pikiran, luapan ekspresi, ideologi, dan pandangan Rasulullah saw semasa hidupnya. Tanah Fadak hendak dijadikan sebagai “tanah pusat risalah” di mana kebenaran dan wahyu yang dibawa Nabi saw diajarkan oleh ahlulbaitnya bagi kaum Muslimin. Oleh sebab itu, Rasulullah saw menghibahkan tanah tersebut kepada puterinya, Fathimah, agar dapat dimanfaatkan untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya (kebutuhan jasmani dan rohani-spiritual) dan untuk keperluan orang-orang miskin. Dalam al-Quran Allah SWT berfirman:

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (Q.S. al-Isra: 26)[28]

Menurut riwayat Imam Ja’far as-Shadiq, lantaran ayat ini turun, maka Nabi saw memberikan tanah dan kebun Fadak kepada puterinya, Fathimah. 

  1. Esensi Tanah Fadak sebagai Kebutuhan Jasmani
Menurut Murtadha Muthahhari, kebutuhan jasmani merupakan kebutuhan-kebutuhan yang 100% berkaitan dengan jasmani, seperti naluri untuk makan. Ini merupakan urusan yang bersifat fisik dan jasmani semata, tetapi pada saat yang sama ia merupakan naluri. Artinya, ia berkaitan dengan bangunan tubuh manusia dan binatang. Perasaan lapar muncul dari sejumlah saraf pencernaan yang secara otomatis memberi sinyal kepada otak manusia. Demikian pula halnya dengan masalah kebutuhan jasmaniah lainnya seperti tidur. Hal-hal tersebut dikategorikan sebagai masalah jasmaniah (al-ghara’iz). Kebutuhan ini dimiliki manusia dan juga binatang pada umumnya. Seperti dorongan untuk makan juga dimiliki oleh binatang. Namun, dorongan untuk makan ini hanya merupakan dorongan yang ditujukan untuk dirinya sendiri (motif egois).[29]
     Memang, manusia mempunyai kecenderungan untuk makan, dan itu merupakan kecenderungan alami. Hanya saja, karena itu merupakan sesuatu yang alami, manusia tidak memandang kecenderungan ini sebagai sesuatu yang pantas disucikan. Cinta, misalnya, dalam bentuknya yang berkaitan dengan syahwat, maka tidak pantas dipuja-puja. Muthahhari menandaskan bahwa sebagian besar sastra dunia menyakralkan kerinduan dan ini merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kajian psikologi. Contohnya, menganggap sang kekasih hatinya sebagai segala-galanya baginya (leburnya ‘asyiq dalam ma’syuq).[30]
     Sehubungan dengan kenikmatan material, Tuhan telah menganugerahi manusia dengan berbagai nikmat yang tidak terbilang seperti tanah, air, udara, makanan, anggota tubuh, dan segenap yang berkaitan dengan kebutuhan hidup manusia. Oleh karenanya, kepemilikian Tuhan terhadap nikmat material dan imaterial tentu saja tidak dapat dihilangkan. Artinya, Tuhan adalah Pemilik dan Pemberi seluruh keberadaan nikmat yang dimanfaatkan bagi kehidupan, pertumbuhan, dan kesempurnaan manusia. Pemilik manusia adalah Tuhan dan kita adalah pelayan atau budak-Nya. Sedangkan pemilik tanah Fadak adalah Fathimah. Dalam konteks ini, keduanya sama-sama berstatus sebagai sang pemilik. Dan, sang pemilik berhak mengelola kepemilikannya dengan cara apapun yang diinginkannya. Sang pemilik berhak memperlakukan haknya (miliknya) dengan cara apapun.
Apabila tanah Fadak dipandang sebagai harta, maka sejatinya harta tersebut dapat memberikan manfaat secara fisik kepada orang lain (orang-orang miskin yang membutuhkan). Sebab, harta memberi manfaat kepada manusia dalam menutupi berbagai kebutuhan materi. Hal ini disebut sebagai ketergantungan sosial, seperti aktivitas yang menimbulkan rasa senang membantu, bekerja sama, kerja sosial, berbuat baik, dan berkorban untuk orang lain, baik dengan jiwa maupun harta, yang dengan konteks ini manusia mencapai derajat akhlak yang baik (husn al-khulq).[31] Inilah inti dari esensi tanah Fadak sebagai kebutuhan jasmani. Sebab, dalam pewarisan tanah Fadak terdapat hak ahlulbait Nabi saw dan juga hak orang-orang miskin (sebagaimana disebut dalam surat al-Isra di atas).

  1. Esensi Tanah Fadak sebagai Kebutuhan Rohani
Akan tetapi, manusia memiliki dorongan-dorongan dan kecenderungan-kecenderungan lain, yang bukan kecenderungan egois, melainkan merupakan dorongan yang dipandang oleh manusia sebagai dorongan suci yang ada dalam sanubarinya, dan ia tempatkan di tempat yang jauh lebih tinggi dan mulia. Dalam konteks tanah Fadak, kebutuhan jasmaniah di atas bukan satu-satunya esensi dari pewarisan tanah pusaka Fadak. Esensi lainnya dan takkalah penting adalah sehubungan dengan kebutuhan Rohaniah.
Terdapat sejumlah tuntutan dan kecenderungan naluriah atau fitri, yang oleh sarjana psikologi dikategorikan dalam urusan-urusan rohani. Mereka menyebut kelezatan-kelezatan yang dirasakan manusia setelah terpenuhinya tuntutan-tuntutan itu sebagai kelezatan rohani. Kecenderungan seperti itu, misalnya, adalah kecenderungan keibuan atau kebapakan. Perasaan ini berbeda dengan naluri-naluri jasmaniah di atas. Kecenderungan yang dirasakan seseorang bahwa ia ingin mempunyai seorang anak tidak sama dengan kenikmatan jasmani. Apabila dalam kebutuhan jasmani manusia cenderung didorong oleh motif-motif egois, maka dalam kebutuhan rohani manusia didorong oleh motif-motif suci. Dengan kata lain, motif-motif egois adalah kerja sesuai tuntutan alam atau lingkungan (kebutuhan jasmaniah). Sedangkan motif-motif suci adalah kerja yang dilakukan berdasarkan kesadaran, kebebasan, dan pilihan (kebutuhan rohaniah).
     Baik kebutuhan jasmani maupun rohani sama-sama bersumber pada fitrah. Artinya, manusia merupakan realitas yang tersusun atas jasad dan roh, dan di dalam roh terdapat hakikat Ilahiah, seperti yang dikatakan dalam Quran, Dan telah Aku tiupkan di dalam dirinya roh-Ku (Q.S. al-Hijr: 29). Unsur-unsur alami dalam diri manusia cenderung pada alam dan terikat dengannya (kebutuhan jasmani). Sedangkan unsur-unsur non-alaminya cenderung pada hal-hal yang metafisis terkait dengannya. Manusia selalu mencari kebenaran dan ini merupakan dorongan rohnya. Semua dorongan tersebut, yakni terkait dengan kreativitas, penciptaan, seni, dan ibadah, pada dasarnya merupakan refleksi atau bentuk dari penghambaan terhadap Kekasih Sejati yang dirindukan (Allah SWT).[32]
Adapun refleksi kesempurnaan ibadah berpusat di lingkaran keluarga Nabi saw, sebagaimana Quran menyatakan kesucian mereka.[33] Dalam perspektif sufisme, karakter kesucian jiwa paling sempurna dalam Islam adalah Nabi Muhammad saw, dan setelahnya adalah manifestasi dari par excellence dalam tradisi esoterisme Islam, yakni Imam ‘Ali bin Abi Thalib, yang kemudian dilanjutkan oleh para keturunannya. Imam ‘Ali dan keluarganyalah yang mendapatkan emanasi cahaya profetik dan esoterik yang merepresentasikan Nabi saw. Setelah lingkaran keluarga Nabi saw, barulah hal itu “menular” kepada para sahabat terdekat yang telah memiliki kesiapan (isti’dat) wadag untuk menerima instruksi esoterik. Mereka di antaranya adalah Abu Dharr al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan Bilal.[34]
Sebagai kebutuhan rohani, tanah Fadak perlu dijadikan sebagai “tanah pusat risalah” di mana warisan kebenaran dan wahyu yang dibawa Nabi saw, akan disebarkan oleh ahlulbaitnya bagi kaum Muslimin. Sebab, pengelolaan tanah Fadak di tangan yang berhak merupakan salah satu ibadah dan bentuk penghambaan kepada Tuhan. Ketika Nabi saw menunjuk puterinya sebagai pemegang kuasa tanah Fadak, itu berarti beliau menunjuk puterinya untuk mengemban suatu amanah. Suatu amanah atau tugas suci demi tegaknya kebenaran.

Penutup
Logika sederhana di atas menjawab pertanyaan, “Mengapa Rasulullah saw menyerahkan tanah Fadak khusus kepada Sayyidah Fathimah?” dalam konteks ini kita harus memandang tanah Fadak sebagai transformasi atau manifestasi sosok perempuan sebagai simbol kesuburan, karena perempuanlah yang melahirkan manusia ke dunia ini. Sayyidah Fathimah dan tanah Fadak sama-sama mewakili manifestasi kesuburan. Apabila tanah yang melahirkan segala tanaman yang dibutuhkan manusia dan makhluk hidup lainnya di dunia, maka Fathimah lah yang akan melahirkan “anak-anak penerus risalah Nabi saw”. Merekalah yang akan menghidupkan dan menegakkan sunah Nabi saw. Oleh sebab itu, sebagai manifestasi kesuburan, Fathimah adalah pelindung, pemelihara sumber hidup manusia, dan segala yang hidup di dunia. Oleh karena itu, esensi fitrawi tanah pusaka Fadak tidak hanya sebagai kebutuhan jasmani, tetapi juga kebutuhan rohani (spiritual).
Berdasarkan aspek kesuburan perempuan, Fathimah seumpama bumi yang sanggup menampung benih, memelihara, dan menjaga ajaran ayahnya (kenabian) hingga dapat menghasilkan buah segar yang bisa dipetik (para keturunannya yang akan menjadi muslimin sejati). Sebagai perempuan yang dijamin suci oleh Allah SWT, Fathimah adalah perempuan baik yang dapat mengubah lahan gersang menjadi tanah subur tempat semua benih dapat tumbuh dan menegakkan panji-panji Ilahi. Di muka bumi ini, Fathimah merupakan perempuan sekaligus perawat terbaik, yang merawat diri sendiri maupun lingkungannya untuk mencapai harmoni. Yaitu, harmoni antara unsur-unsur dalam dirinya maupun harmoni dengan alam atau lingkungannya.
Bertalian dengan hal di atas, maka wajar bila Fathimah murka ketika ada pihak lain yang merebut tanah Fadak. Ini tidak bisa diartikan bahwa beliau rakus harta (Nauzubillah), melainkan beliau mesti mengemban amanah Rasulullah saw yang diberikan kepadanya lewat tanah Fadak. Di samping itu, Fathimah juga berkehendak untuk menegakkan keadilan yang diajarkan oleh Islam sejati. Adalah suatu ancaman serius yang berpengaruh pada citra baik Islam, apabila keadilan tidak ditegakkan. Oleh sebab itu, tuntutan Fathimah terhadap pihak yang menyerobot tanah pusaka Fadak harus dipandang sebagai kebaikan hati beliau itu sendiri. Beliau tidak ingin bila sahabat–sahabat ayahandanya tersaruk dalam lembah penyimpangan dan kekeliruan. Beliau tidak ingin mereka kembali pada karakter jahiliyah pasca wafatnya Nabi saw, sebagaimana peringatan Allah dalam Surat Ali Imran.[35] Dengan adanya penyerobotan lahan Fadak oleh pihak lain, sama saja dengan meredupkan bahkan membunuh ajaran Nabi saw yang akan diemban oleh puterinya itu. Esensi inilah yang membuat Fathimah menderita hingga berbulan-bulan sampai ajal menjemputnya. Yakni, derita atas realitas bahwa yang menghalangi kemurnian ajaran Nabi saw justru berasal dari umat Nabi saw itu sendiri, bukan dari pihak luar.
Menurut Misbah Yazdi, dalam kehidupan berbangsa harus terdapat aturan dan hukum. jika ada seseorang melakukan pelanggaran, seseorang harus diperlakukan sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku. Jika seseorang merampas hak orang lain, seseorang harus dihimbau untuk mengembalikannya. Dalam hal ini, lanjut Yazdi, pelanggar aturan tersebut (dan tak jarang harus bertanggung jawab atas kematian banyak orang) mesti dihukum dan diganjar denda.[36] Dalam konteks ini, arti “kebebasan” tidak dapat dimaknai seenaknya. Kebebasan bagi pihak yang memegang kekuasaan tidak berarti ia diperbolehkan bertindak sewenang-wenang. Sebab, hal ini menyebabkan orang dapat memungkiri peradaban sekaligus mengakui sistem perbudakan dan hukum rimba (yang kuat adalah yang menang).
Jika benar-benar makhluk beradab, manusia sudah semestinya membangun sistem sosial yang kokoh. Setiap individu wajib menghormati hak orang lain. Maka, harus diberlakukan hukum dan aturan. Hukum pidana harus digunakan sebagai dasar untuk memberikan hukuman kepada siapapun yang melakukan pelanggaran pidana. Sistem sosial yang bertujuan untuk membangun konsep manusia beradab, memiliki cita-cita etis peradaban, dan kebutuhan terhadap hukum itu sendiri.[37] Hal ini sekaligus menggarisbawahi bahwa kekuasaan bukanlah alat memperbudak rakyat dan merampas harta rakyat. Terlebih, sehingga menyebabkan kalakeran pada lingkaran keluarga dan keturunan Nabi saw.[38]
Dengan demikian, sekali lagi, penulis hendak menegaskan bahwa Tanah Fadak yang diwariskan Rasulullah saw kepada puterinya, yakni Sayyidah Fathimah, merupakan tanah pusaka sekaligus tanah sah milik Sayyidah Fathimah Bukan tanah kerajaan, tanah mati, tanah adat, tanah usaha, tanah tumpah darah, apalagi tanah kuburan. Bukan itu!


Bogor, 5 Mei 2016




Daftar Rujukan

Ayatullah Syed Mehdi, Nabi Muhammad saw. Manusia Sempurna (cet. 1), terj.: Akmal Kamil, Jakarta: al-Huda, 2001.
Bakker, J.W.M, Agama Asli Indonesia, Yogyakarta: Pradnyawidya, 1976.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Pertama), Jakarta: Pusat Perbukuan Depdikbud, 1988.
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan, 2001.
Muthahhari, Murtadha, Bedah Tuntas Fitrah, terj: Afif Muhammad, Jakarta: Citra, 2011.
Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages, New York: Caravan Books, 1997.
Sareng Orin Bao, P., Nusa Nipa Nama Pribumi Nusa Flores, Ende: Nusa Indah, 1969.
Subroto, Ph, Sistem Pertanian Tradisional Pada Masyarakat Jawa, Tinjauan Secara Arkeologis dan Etnografis, Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1985.
Tilaar, Martha, Kecantikan Perempuan Timur (Cet. 1), Editor: Dorothea Rosa Herliany, Jakarta: Indonesia Tera, 1999.
Widyantoro, Bambang, Pandangan Masyarakat Jawa Kuno Terhadap Lumbung Dan Pemujaan Kepada Dewi Kesuburan, Yogyakarta: Bentang, 1989.
Yazdi, M. Taqi Misbah, Freedom, Jakarta: al-Huda, 2006.


[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Pertama), (Jakarta: Pusat Perbukuan Depdikbud, 1988), hlm. 893—894. Selanjutnya disebut sebagai: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
[2] Tanah perponding: tanah milik yang turun-temurun bagi orang Indonesia.
[3] Tanah kerajaan: tanah milik raja.
[4] Tanah kosong: tanah (pekarangan) yang tidak didiami atau diusahakan.
[5] Tanah garapan: tanah negara (perkebunan dsb) yang digarap oleh penduduk untuk ditanami padi dsb.
[6] Tanah suku: tanah yang menjadi milik segenap kaum (suku).
[7] Tanah usaha: tanah pertikelir atau pemerintah yang diusahakan orang.
[8] Tanah wakaf: tanah yang didermakan untuk mendirikan sesuatu yang berguna bagi umum (mesjid, madrasah, rumah sakit, dsb).
[9] Tanah hidup: tanah yang diusahakan (ditanami dsb).
[10] Tanah mati: tanah yang tidak diusahakan lagi.
[11] Tanah adat: tanah milik yang diatur menurut hukum adat.
[12] Tanah leluhur: negeri asal orang-orang pendatang.
[13] Tanah tumpah darah: tanah tempat kelahiran/kampung halaman.
[14] Tanah kuburan: tanah milik desa (negara dsb) yang khusus disediakan untuk kuburan.
[15] ‘Ali bin Abi Thalib berhasil mengalahkan dua orang pemimpin bersaudara kaum Yahudi Khaibar, yakni Harith dan Marhab. Lalu, ia seorang diri membuka gerbang benteng Khaibar yang terkenal sangat berat kemudian membantingnya.
[16] Hukum al-Quran secara gamblang menyebutkan bahwa perkara harta rampasan perang (ghanaim) yang sampai kepada kaum Muslimin tanpa perang, maka pemilik penuhnya adalah Rasulullah saw. lihat: Surat al-Hasyr, ayat 6.
[17] Ayatullah Syed Mehdi, Nabi Muhammad saw. Manusia Sempurna (cet. 1), terj.: Akmal Kamil (Jakarta: al-Huda, 2001), hlm. 40.
[18] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 305. Misal, “Rumah ini kami terima sebagai hibah dari paman.”
[19] Bahkan Pangeran Diponegoro mati-matian membela tanah neneknya (perempuan). Dalam Babad Diponegoro, beliau mengakui bahwa kehidupannya, sejak kecil, banyak dipengaruhi oleh neneknya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu dan tinggal di kediaman neneknya di Tegalrejo, ketimbang di keraton Yogya.
[20] Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 49.
[21] Bakker, J.W.M, Agama Asli Indonesia (Yogyakarta: Pradnyawidya, 1976), hlm. 119—120.
[22] Subroto, Ph, Sistem Pertanian Tradisional Pada Masyarakat Jawa, Tinjauan Secara Arkeologis dan Etnografis (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1985), hlm. 9.
[23] Sareng Orin Bao, P., Nusa Nipa Nama Pribumi Nusa Flores (Ende: Nusa Indah, 1969), hlm. 187—197.
[24] Tilaar, Martha, Kecantikan Perempuan Timur (Cet. 1), Editor: Dorothea Rosa Herliany (Jakarta: Indonesia Tera, 1999), hlm. 22. Selanjutnya disebut sebagai: Tilaar, Martha, Kecantikan Perempuan Timur.
[25] Tilaar, Martha, Kecantikan Perempuan Timur, hlm. 23.
[26] Widyantoro, Bambang, Pandangan Masyarakat Jawa Kuno Terhadap Lumbung Dan Pemujaan Kepada Dewi Kesuburan (Yogyakarta: Bentang, 1989), hlm. 8.
[27] Kemungkinan besar nama “Ceres” ini merupakan sumber inspirasi dari sebuah merk bahan makanan berupa coklat untuk dimakan dengan roti. Bahan makanan tersebut menyerupai butiran padi.
[28] Teks aslinya sebagai berikut:

.تَبْذِيرًا تُبَذِّرْ وَ السَّبِيلِ وَابْنَ وَالْمِسْكِينَ حَقَّهُ لْقُرْبَى ذَا وَآَتِ

[29] Muthahhari, Murtadha, Bedah Tuntas Fitrah, terj: Afif Muhammad (Jakarta: Citra, 2011), hlm. 41. Selanjutnya disebut sebagai: Muthahhari, Murtadha, Bedah Tuntas Fitrah.
[30] Muthahhari, Murtadha, Bedah Tuntas Fitrah, 61.
[31] Muthahhari, Murtadha, Bedah Tuntas Fitrah, hlm. 52.
[32] Muthahhari, Murtadha, Bedah Tuntas Fitrah, hlm. 64.
[33] Lihat: ayat ahlul kisa: Surat al-Ahzab (ayat 33), yang dalam sejumlah riwayat mereka terdiri dari: Rasulullah saw, Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib, Sayyidah Fathimah, al-Hassan al-Mujtaba, dan al-Hussayn al-Syahid.
[34] Lihat: Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages, (New York: Caravan Books, 1997), hlm. 83—85.
[35] Surat Ali ‘Imran (ayat 44) yang berbunyi, 
“Muhammad hanyalah seorang utusan Allah. Sebelumnya telah ditus beberapa utusan. Apakah bila Muhammad mati atau terbunuh, kalian akan kembali pada kondisi kalian sebelumnya?”
[36] Yazdi, M. Taqi Misbah, Freedom, (Jakarta: al-Huda, 2006), hlm. 94—95. Selanjutnya disebut sebagai: Yazdi, M. Taqi Misbah, Freedom.
[37] Yazdi, M. Taqi Misbah, Freedom, hlm. 95.
[38] Kalakeran: harta kerabat yang tidak terbagi (lihat: KBBI, hlm. 379).
Share This

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By Blogger Templates