Pendahuluan
Tidak sedikit
definisi “tanah” yang memiliki arti yang tetap. Namun, bila merujuk pada Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI),[1]
tanah didefinisikan sebagai “permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas
sekali”. Adapun turunan dari definisi tanah dalam KBBI sangat banyak,
tergantung permainan bahasa yang hendak digunakan. Dalam tulisan ini, definisi
“tanah pusaka” dan “tanah milik” dalam KBBI tersebut kiranya cocok untuk
membuka pembahasan—yakni, “tanah yang menjadi milik turun-temurun dari nenek
moyang”. Sementara definisi “tanah milik” adalah tanah yang menjadi hak
milik seseorang (bukan tanah negara).
Definisi “tanah pusaka” di atas,
tentu akan berbeda dengan definisi “tanah perponding”[2],
“tanah kerajaan”[3], “tanah
kosong”[4],
“tanah garapan”[5], “tanah
suku”[6],
“tanah usaha”[7], “tanah
wakaf”[8],
“tanah hidup”[9], “tanah
mati”[10],
“tanah adat”[11], “tanah
leluhur”[12], “tanah
tumpah darah”[13], atau
“tanah kuburan”[14]. Maka,
dengan definisi yang berbeda tersebut maka status, penggunaan, pemegang hak,
dan ketetapan hukumnya pun juga akan berbeda-beda. Tanah Fadak yang diwarisi
Sayyidah Fathimah dari ayahandanya, Rasulullah saw, dalam konteks ini termasuk
dalam tanah pusaka sekaligus tanah milik. Bukan tanah kerajaan, tanah mati,
tanah adat, tanah usaha, tanah tumpah darah, apalagi tanah kuburan.
Sehubungan dengan hal di atas,
tulisan ini hendak menjawab pertanyaan, Mengapa Rasulullah saw menyerahkan
tanah Fadak khusus kepada Sayyidah Fathimah? dan bertujuan untuk apakah tanah
Fadak itu dikelola?
Asal-usul
Tanah Fadak
Tanah Fadak adalah nama sebuah wilayah di
Hijaz, jazirah Arab, yang pada awalnya dimiliki orang-orang Yahudi. Tanah ini
berjarak sekitar 160 km dari Madinah. Walaupun berdekatan dengan wilayah
kering, Fadak sendiri merupakan wilayah subur yang dirimbuni hamparan luas
kebun kurma dan sejak dulu sudah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan
perkebunan. Kini, Fadak berkembang menjadi sebuah kota yang kini kondang dengan
nama “al-Haith”. Lokasi Fadak berdekatan dengan Khaibar, sebuah benteng-benteng
Yahudi di era Nabi Muhammad saw yang ditaklukkan oleh Muslimin berkat
kemenangan ‘Ali bin Abi Thalib.[15]
Diceritakan ketika pasukan Muslimin
menguasai seluruh benteng yang ada di sekitar Khaibar (saat Perang Khaibar),
mereka pun menaklukkan orang-orang Yahudi. Sisa-sisa orang Yahudi memohon
kepada Nabi saw untuk diperbolehkan tinggal. Mereka ingin tetap dapat mengolah
tanah tersebut untuk pertanian dan perkebunan. Orang-orang Yahudi itu berjanji
kepada Rasulullah saw akan menyumbangkan setengah dari hasil panen mereka
kepada kaum Muslimin. Rasulullah saw pun mengabulkan permohonan mereka.
Berita tentang penaklukkan Khaibar
terdengar oleh orang-orang Yahudi yang bermukim di Fadak. Mereka menjadi sangat
risau dan ketakutan. Sebagai langkah diplomasi, mereka berinisiatif dengan mengutus
wakil mereka untuk bertemu dengan Rasulullah saw guna membawa pesan tentang
perlunya dibuat suatu perjanjian. Perjanjian pun dilakukan, lalu mereka
menyerahkan separuh wilayah Fadak kepada Rasulullah saw tanpa peperangan.
Karena Fadak ditaklukkan tanpa peperangan, maka sesuai dengan hukum Quran hal
ini disebut dengan khalishah Nabi saw (kuasa penuh khusus bagi Nabi).[16]
Berdasarkan perintah beliau saw, adapun pendapatan dari tanah Fadak diberikan
kepada Bani Hasyim dan orang-orang yang membutuhkan lainnya.
Fadak merupakan lahan luas yang
dapat menopang perekonomian di awal permunculan Islam. Sejak dulu, Fadak
terkenal sebagai lahan perkebunan dan pertanian yang terkenal akan kesuburan
tanah dan sumber daya airnya yang melimpah. Menurut salah satu sumber, nilai
pohon kurma Fadak sebanding dengan pohon kurma yang ada di Kufah. Itulah
mengapa orang-orang Yahudi yang bermukim meminta kepada Nabi saw untuk tetap
diperbolehkan tinggal di sana. Diceritakan bahwa Umar bin al-Khattab memutuskan
untuk mengusir orang-orang Yahudi dari Fadak dengan membayar 50 ribu dirham
(senilai dengan setengah dari harga Fadak) kepada mereka agar mau hengkang.
Angka persis dari hasil tahunan kebun Fadak tidak dapat diprediksi secara
pasti. Namun, banyak sumber yang mengatakan bahwa Fadak pada era Rasulullah
saw mencapai angka 24 ribu hingga 70 ribu dinar.
Menurut riwayat, Rasulullah saw
menghibahkan tanah tersebut kepada puterinya, Fathimah, agar dapat
dimanfaatkan untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya dan untuk keperluan
orang-orang miskin.[17]
Sedangkan “hibah” berarti pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak
atas sesuatu kepada orang lain.[18]
Dengan hibah, si pemiliknya memiliki kekuatan hukum setelah yang memberinya
meninggal dunia. Artinya, apabila ada seseorang atau pihak lain yang menyerobot
atau mengklaim hak atas tanah tersebut, maka orang itu berarti telah melanggar
hukum.
Masyarakat Jawa di era Pangeran
Diponegoro memiliki pepatah kuat mengenai tanah pusaka yang saat itu dengan
sembarangan dicaplok oleh Belanda. Pepatah tersebut berbunyi, “Sadumuk
bathuk, sanyari bumi ditohi pati!” Sejari di dahi, sejengkal tanah pun
dibela sampai mati!”. Pepatah ini hendak menegaskan bahwa tanah adalah
kehormatan atau harga diri yang harus dibela walau harus bertaruh nyawa.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa salah satu faktor penyebab murkanya Diponegoro
kepada Belanda adalah tindakan sewenang-wenang atas tanah milik nenek
Diponegoro di Tegalrejo, Jawa Tengah.[19]
Memang, sektor pertanahan kerap dimanfaatkan bagi suatu pemerintahan yang
hendak memperbaiki kondisi ekonomi suatu bangsa.
Saat itu, pemerintah Hindia-Belanda
menderita kesulitan ekonomi akibat kekalahan dalam peperangan Napoleon. Untuk
menutupi kekosongan kas negara, maka diberlakukan pemungutan pajak di wilayah-wilayah
jajahannya, tidak terkecuali di Hindia (nama Indonesia di zaman
tersebut). Tingginya nilai pajak yang ditetapkan dirasa sangat membebani
rakyat. Selain itu, praktek monopoli perdagangan seperti VOC digalakkan kembali
untuk memperoleh keuntungan maksimal.
Hasil bumi pun diangkut secara
membabi-buta oleh Belanda. Tapi, mereka merasa hasilnya masih kurang. Maka,
Belanda mulai melancarkan taktik dengan menguasai kerajaan-kerajaan di
Nusantara. Di keraton Ngayogyokarto, Hamengku Buwono IV wafat. Lantas, Sultan
Hamengkubuwono V, yang saat itu berusia tiga tahun, naik takhta. Namun, roda
pemerintahan kerajaan berada di tangan Patih Danurejo. Sayang, patih ini takluk
kepada Belanda dan sikapnya tidak menunjukkan seorang kesatria keraton.
Pada bulan Mei (sekitar tahun 1825 M),
pemerintah Hindia-Belanda melakukan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke
Magelang. Namun, Belanda ternyata mengubah rencana pembangunan itu melewati
Tegalrejo. Di sana, proyek Belanda itu meliputi tanah makam leluhur salah satu
bangsawan keraton yang paling berpengaruh: Raden Mas Ontowiryo atau lebih
dikenal sebagai Pangeran Diponegoro. Melihat ulah Belanda, Diponegoro naik
pitam. Lalu, ia mencabut patok yang ditancap sepanjang makam leluhurnya
tersebut. Saking merasa berkuasa, pihak Belanda pun ngebandel. Mereka
memasang kembali patok-patok di tanah tersebut. Pangeran Diponegoro makin
berang. Selanjutnya, ia mengganti patok-patok Belanda dengan tombak (sebagai
tanda perlawanan).
Antara
Perempuan dan Elemen Tanah
Dalam teori
emanasinya, al-Farabi menandaskan bahwa tanah merupakan salah satu materi
primer dan elemen penting dalam kehidupan di samping air, api, dan udara. Kalakian,
elemen kehidupan itu mengendap sebagai mineral, lantas meriap sebagai
tetumbuhan dan menjelma sebagai hewan sehingga pada puncaknya terwujudlah
manusia.[20] Dalam
masyarakat Jawa, pertanahan sering diasosiasikan dengan perempuan. Perempuan
merupakan sosok makhluk hidup yang memberikan kehidupan, yakni melahirkan dan
menyusui—yang dengannya, perempuan sekaligus mewakili manifestasi kesuburan.
Sebelum datangnya pengaruh Hindu, di
Indonesia pemujaan terhadap kekuatan yang menimbulkan kesuburan sudah
berlangsung lama. Pemujaan tersebut berpangkal dari kepercayaan terhadap roh
atau arwah nenek moyang (animisme). Roh nenek moyang diasumsikan mempunyai banyak
pengalaman batiniah, sehingga di dalam kehidupannya roh tersebut diurapi oleh
kekuatan-kekuatan supranatural. Dengan kekuatan tersebut, roh nenek moyang
dapat melakukan segala perbuatan yang tidak dapat dilakukan oleh orang hidup.
Itulah mengapa pada zamannya manusia memuja roh nenek moyang. Pemujaan ini
dilakukan dengan harapan untuk mendapatkan kesejahteraan hidup, kesuburan, dan
kebahagiaan. Sekaligus, bentuk penghormatan kepada leluhur.[21]
Pemujaan terhadap kesuburan yang
akhirnya menjadi salah satu bagian terpenting dalam kebudayaan agraris bermula
dari ketidaktahuan tentang proses yang terjadi di alam ini. Manusia merasa
heran dan takjub menyaksikan prosesi kelahiran, sehingga mereka percaya bahwa
apa yang ada di dunia ini semuanya dilahirkan. Cara berpikir yang masih sangat
sederhana ini membawa mereka ke sosok perempuan, karena perempuanlah yang
melahirkan manusia ke dunia ini. Dari pandangan inilah muncul tokoh perempuan
yang dipuja sebagai dewi ibu bernama Dewi Sri Laksmi. Tokoh dewi ini dalam masyarakat
agraris disimbolisasikan sebagai tanah. Sebab, tanahlah yang melahirkan segala
tanaman yang dibutuhkan manusia dan makhluk hidup lainnya di dunia.
Di dalam bagian kitab Rig Weda Sri-Sukta,
disebutkan bahwa dewi Sri Laksmi selalu berkaitan dengan bunga padma.
Digambarkan Dewi Sri Laksmi adalah dewi yang mempunyai bunga padma (padmini),
berdiri di atas bunga padma (padmeshita), mempunyai warna bunga padma (padma
warna) dan sebagai tempat tumbuhnya bunga padma (padma sambhawa).
Dia juga digambarkan mempunyai mata yang bersinar seperti bunga padma (padmaksi).[22]
Bunga padma adalah simbol air yang
memberikan kesuburan. Dalam hal ini bunga padma dapat dihubungkan dengan tempat
bunga atau kendi dan binatang gajah. Dalam mitologi India disebutkan bahwa pada
waktu alam semesta ini akan diciptakan, mula-mula muncul bunga padma dari emas
berdaun dan berbunga seribu yang keluar dari dalam air kosmis. Bunga padma ini
dianggap sebagai aspek tertinggi bumi, sedangkan air kosmis mempunyai sifat
keibuan, aspek pencipta yang absolut. Persatuan keduanya menghasilkan
penciptaan. Hubungan antara air, bunga padma dan binatang gajah terdapat di
dalam naskah kuno India. Sementara, Bukti ikonografis yang menunjukkan peran Dewi
Sri sebagai Dewi Padi di Jawa, dapat diketahui dari arca-arca yang digambarkan
memegang setangkai padi—yang mungkin dapat menunjukkan peranan Dewi Sri sebagai
Dewi Padi.
Dalam
tradisi beberapa masyarakat agraris, muncul kepercayaan bahwa tanaman
padi berasal dari tubuh seorang wanita. Misalnya dari kesusateraan Sunda, yakni tentang asal-usul tanaman padi termuat dalam cerita Nyi
Pohaci Sanghyang Sri. Sedangkan
di
Flores,
terdapat cerita asal-usul
tanaman padi dari seorang gadis bernama Ine Pane atau Ine Mbu. Atas permintaan
sendiri,
gadis tadi dikorbankan dan dari tubuhnya keluar tanaman padi.[23]
Dewi Sri bagi masyarakat Jawa dapat
dikatakan sebagai “sahabat” para petani. Ia lahir dari mata air Dewa Anta, yang
kemudian diasuh oleh Dewi Uma (permaisuri Batara Guru). Tetapi, Batara Guru
kemudian jatuh cinta pada kecantikan Dewi Sri dan berusaha untuk
menyetubuhinya, tapi Dewi Sri menolak. Lantaran terus-menerus dipaksa, akhirnya
Dewi Sri rela dengan syarat Batara Guru dapat memberikan buah yang
diidam-idamkan. Lalu, Batara Guru tidak berhasil memberikan buah-buahan
tersebut, sementara Dewi Sri semakin lama semakin melemah karena tidak mau
makan, dan akhirnya meninggal. Kematiannya memberikan kesuburan bagi petani.
Dari tubuhnya tumbuh pelbagai macam tanaman, yang salah satunya adalah tanaman
padi (hampir serupa dengan legenda Ine Pane atau Ine Mbu di atas).[24]
Berdasarkan mitos tersebut, sastra Jawa
seolah hendak meninggalkan kesan bahwa sosok perempuan seumpama bumi yang
sanggup menampung benih, memelihara, dan menjaganya hingga dapat menghasilkan
buah segar yang bisa dipetik. Menurut Martha Tilaar, pakar kecantikan kondang
asal Jawa, perempuan yang baik adalah yang bisa mengubah lahan gersang menjadi
tanah subur tempat semua benih dapat tumbuh. Maka perempuan adalah lambang
kesuburan. Seperti kodrat bumi, perempuan adalah perawat yang baik, yang
merawat diri sendiri maupun lingkungannya untuk mencapai harmoni. Yakni,
harmoni antara unsur-unsur dalam dirinya maupun harmoni dengan alam. Masyarakat
Jawa mengenal dunia dalam sebagai jagat-cilik atau mikro-kosmos dan dunia
luar jagat-gede atau makro-kosmos. Kehidupan, bagi orang Jawa, pada
dasarnya adalah mencari harmoni antara keduanya. Dan merawat artinya usaha
terus menerus untuk mencapai harmoni, yakni mengupayakan keseimbangan antara
mikro-kosmos dan makro-kosmos.[25]
Kepercayaan terhadap Dewi Sri di dalam
masyarakat Jawa sudah lama dikenal. Upacara pertanian dilakukan pada waktu
pertama kali dan sehabis panen masih dijumpai sampai sekarang, seperti di Jawa
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tradisi upacara lain yang masih berkaitan
dengan pertanian dilakukan pada waktu pertama kali memasukkan padi ke lumbung (munggah
lumbung). Disebabkan adanya kepercayaan bahwa tanaman padi berasal dari
tubuh Dewi Sri, maka berkembang mitos yang menimbulkan suatu pandangan sakral
terhadap lumbung. Karenanya, lumbung dianggap sebagai tempat penyimpanan padi sekaligus
tempat suci.[26]
Selain di Indonesia, ternyata manuskrip
bangsa asing pun mencatat hal yang hampir serupa. Dalam mitologi Yunani,
misalnya, dewi kesuburan pun dinisbatkan kepada sosok perempuan bernama Dewi
Demeter. Ia adalah dewi kesuburan, pertanian, perkebunan, dan panen. Ayahnya
adalah seorang Titan bernama Kronos, sedangkan ibunya adalah Rhea. Seringkali Demeter
digambarkan sebagai perempuan dewasa bermahkota yang membawa seikat gandum dan
obor. Bila Dewi Sri dikaitkan dengan bunga Padma, maka Demeter dikaitkan dengan
bunga Lotus.
Melalui Dewi Demeter, manusia mendapatkan
ilmu bercocok tanam, sehingga manusia meninggalkan cara hidup berburu. Sosok Demeter
digambarkan sebagai dewi yang rambutnya menyimbolkan bulir-bulir gandum. Dalam mitologi
Romawi, Demeter dikenal dengan nama “Ceres”.[27]
Selain Demeter, terdapat banyak nama dewi Yunani yang berkaitan dengan
kesuburan seperti Dewi Persefone (disimbolkan dengan gandum muda, tanaman poppy,
mint, delima, dan bunga), dan Dewi
Kharites.
Dalam mitologi Mesir, dewi kesuburan pun
dinisbatkan kepada sosok perempuan, yakni Dewi Anuket. Ia merupakan
personifikasi dan dewi sungai Nil, karena sungai Nil merupakan jantung
kehidupan perkebunan dan pertanian Mesir. Nama “Anuket” berarti “merangkumi”
yang mungkin merujuk pada dua hulu sungai Nil, yang dibayangkan sebagai
tangannya. Anuket merupakan dewi banjir tahunan sungai Nil, sehingga dikaitkan
dengan kesuburan. Sementara, dalam mitologi Nordik dewi kesuburan diwakili oleh
sosok Freya. Ia memiliki wajah yang jelita dan bahkan pernah dinobatkan sebagai
dewi kesuburan tercantik di antero Valhalla (nama surga dalam mitologi Nordik),
sehingga semua makhluk hidup yang ada di dunia mengaguminya dan banyak yang
ingin mendapatkan cintanya.
Penyebutan nama-nama dewi dalam mitologi
di atas hanyalah segelintir saja dari sekian banyak. Mitologi dari bangsa
lainnya pun masih banyak yang tidak tersebutkan, yang membahas ihwal relevansi
tanah dengan kesuburan yang dimanifestasikan dengan citra kaum perempuan.
Dengan demikian, sampai di sini kita dapat beranggapan bahwa elemen tanah
merupakan simbol feminin yang mewujud sebagai materi primer yang penting untuk
kehidupan. Maka, seperti halnya elemen tanah, perempuan pun mewakili
manifestasi kesuburan.
Membaca
Kembali Esensi Tanah Pusaka Fadak
Kembali ke tanah Fadak, adapun pemberian
tanah tersebut dari Rasulullah saw kepada Sayyidah Fathimah bukanlah hal
yang sepele. Rasulullah berharap tanah tersebut khusus digunakan untuk merawat,
artinya usaha terus-menerus untuk mencapai harmoni, yakni mengupayakan tercapainya
keseimbangan antara mikro-kosmos dan makro-kosmos. Agar di antara keduanya
seimbang, tidak lain adalah dengan merawat ajaran asli agama wahyu yang kelak
diwarisi oleh keluarganya yang tahu persis pikiran, luapan ekspresi, ideologi,
dan pandangan Rasulullah saw semasa hidupnya. Tanah Fadak hendak dijadikan
sebagai “tanah pusat risalah” di mana kebenaran dan wahyu yang dibawa Nabi saw
diajarkan oleh ahlulbaitnya bagi kaum Muslimin. Oleh sebab itu, Rasulullah saw
menghibahkan tanah tersebut kepada puterinya, Fathimah, agar dapat
dimanfaatkan untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya (kebutuhan jasmani dan rohani-spiritual)
dan untuk keperluan orang-orang miskin. Dalam al-Quran Allah SWT berfirman:
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (Q.S. al-Isra: 26)[28]
Menurut
riwayat Imam Ja’far as-Shadiq, lantaran ayat ini turun, maka Nabi saw
memberikan tanah dan kebun Fadak kepada puterinya, Fathimah.
- Esensi Tanah Fadak sebagai Kebutuhan Jasmani
Menurut Murtadha Muthahhari, kebutuhan
jasmani merupakan kebutuhan-kebutuhan yang 100% berkaitan dengan jasmani,
seperti naluri untuk makan. Ini merupakan urusan yang bersifat fisik dan
jasmani semata, tetapi pada saat yang sama ia merupakan naluri. Artinya, ia
berkaitan dengan bangunan tubuh manusia dan binatang. Perasaan lapar muncul
dari sejumlah saraf pencernaan yang secara otomatis memberi sinyal kepada otak
manusia. Demikian pula halnya dengan masalah kebutuhan jasmaniah lainnya seperti
tidur. Hal-hal tersebut dikategorikan sebagai masalah jasmaniah (al-ghara’iz).
Kebutuhan ini dimiliki manusia dan juga binatang pada umumnya. Seperti dorongan
untuk makan juga dimiliki oleh binatang. Namun, dorongan untuk makan ini hanya
merupakan dorongan yang ditujukan untuk dirinya sendiri (motif egois).[29]
Memang, manusia mempunyai kecenderungan
untuk makan, dan itu merupakan kecenderungan alami. Hanya saja, karena itu
merupakan sesuatu yang alami, manusia tidak memandang kecenderungan ini sebagai
sesuatu yang pantas disucikan. Cinta, misalnya, dalam bentuknya yang berkaitan
dengan syahwat, maka tidak pantas dipuja-puja. Muthahhari menandaskan bahwa sebagian
besar sastra dunia menyakralkan kerinduan dan ini merupakan salah satu faktor
yang memengaruhi kajian psikologi. Contohnya, menganggap sang kekasih hatinya
sebagai segala-galanya baginya (leburnya ‘asyiq dalam ma’syuq).[30]Sehubungan dengan kenikmatan material, Tuhan telah menganugerahi manusia dengan berbagai nikmat yang tidak terbilang seperti tanah, air, udara, makanan, anggota tubuh, dan segenap yang berkaitan dengan kebutuhan hidup manusia. Oleh karenanya, kepemilikian Tuhan terhadap nikmat material dan imaterial tentu saja tidak dapat dihilangkan. Artinya, Tuhan adalah Pemilik dan Pemberi seluruh keberadaan nikmat yang dimanfaatkan bagi kehidupan, pertumbuhan, dan kesempurnaan manusia. Pemilik manusia adalah Tuhan dan kita adalah pelayan atau budak-Nya. Sedangkan pemilik tanah Fadak adalah Fathimah. Dalam konteks ini, keduanya sama-sama berstatus sebagai sang pemilik. Dan, sang pemilik berhak mengelola kepemilikannya dengan cara apapun yang diinginkannya. Sang pemilik berhak memperlakukan haknya (miliknya) dengan cara apapun.
Apabila tanah Fadak dipandang sebagai
harta, maka sejatinya harta tersebut dapat memberikan manfaat secara fisik
kepada orang lain (orang-orang miskin yang membutuhkan). Sebab, harta memberi
manfaat kepada manusia dalam menutupi berbagai kebutuhan materi. Hal ini
disebut sebagai ketergantungan sosial, seperti aktivitas yang menimbulkan rasa
senang membantu, bekerja sama, kerja sosial, berbuat baik, dan berkorban untuk
orang lain, baik dengan jiwa maupun harta, yang dengan konteks ini manusia
mencapai derajat akhlak yang baik (husn al-khulq).[31]
Inilah inti dari esensi tanah Fadak sebagai kebutuhan jasmani. Sebab, dalam
pewarisan tanah Fadak terdapat hak ahlulbait Nabi saw dan juga hak orang-orang
miskin (sebagaimana disebut dalam surat al-Isra di atas).
- Esensi Tanah Fadak sebagai Kebutuhan Rohani
Akan tetapi, manusia memiliki
dorongan-dorongan dan kecenderungan-kecenderungan lain, yang bukan
kecenderungan egois, melainkan merupakan dorongan yang dipandang oleh manusia
sebagai dorongan suci yang ada dalam sanubarinya, dan ia tempatkan di tempat
yang jauh lebih tinggi dan mulia. Dalam konteks tanah Fadak, kebutuhan
jasmaniah di atas bukan satu-satunya esensi dari pewarisan tanah pusaka Fadak.
Esensi lainnya dan takkalah penting adalah sehubungan dengan kebutuhan
Rohaniah.
Terdapat sejumlah tuntutan dan
kecenderungan naluriah atau fitri, yang oleh sarjana psikologi dikategorikan
dalam urusan-urusan rohani. Mereka menyebut kelezatan-kelezatan yang dirasakan
manusia setelah terpenuhinya tuntutan-tuntutan itu sebagai kelezatan rohani.
Kecenderungan seperti itu, misalnya, adalah kecenderungan keibuan atau
kebapakan. Perasaan ini berbeda dengan naluri-naluri jasmaniah di atas.
Kecenderungan yang dirasakan seseorang bahwa ia ingin mempunyai seorang anak
tidak sama dengan kenikmatan jasmani. Apabila dalam kebutuhan jasmani manusia
cenderung didorong oleh motif-motif egois, maka dalam kebutuhan rohani manusia
didorong oleh motif-motif suci. Dengan kata lain, motif-motif egois adalah
kerja sesuai tuntutan alam atau lingkungan (kebutuhan jasmaniah). Sedangkan
motif-motif suci adalah kerja yang dilakukan berdasarkan kesadaran, kebebasan,
dan pilihan (kebutuhan rohaniah).
Baik kebutuhan jasmani maupun rohani sama-sama bersumber pada fitrah. Artinya, manusia merupakan realitas yang tersusun atas jasad dan roh, dan di dalam roh terdapat hakikat Ilahiah, seperti yang dikatakan dalam Quran, Dan telah Aku tiupkan di dalam dirinya roh-Ku (Q.S. al-Hijr: 29). Unsur-unsur alami dalam diri manusia cenderung pada alam dan terikat dengannya (kebutuhan jasmani). Sedangkan unsur-unsur non-alaminya cenderung pada hal-hal yang metafisis terkait dengannya. Manusia selalu mencari kebenaran dan ini merupakan dorongan rohnya. Semua dorongan tersebut, yakni terkait dengan kreativitas, penciptaan, seni, dan ibadah, pada dasarnya merupakan refleksi atau bentuk dari penghambaan terhadap Kekasih Sejati yang dirindukan (Allah SWT).[32]
Baik kebutuhan jasmani maupun rohani sama-sama bersumber pada fitrah. Artinya, manusia merupakan realitas yang tersusun atas jasad dan roh, dan di dalam roh terdapat hakikat Ilahiah, seperti yang dikatakan dalam Quran, Dan telah Aku tiupkan di dalam dirinya roh-Ku (Q.S. al-Hijr: 29). Unsur-unsur alami dalam diri manusia cenderung pada alam dan terikat dengannya (kebutuhan jasmani). Sedangkan unsur-unsur non-alaminya cenderung pada hal-hal yang metafisis terkait dengannya. Manusia selalu mencari kebenaran dan ini merupakan dorongan rohnya. Semua dorongan tersebut, yakni terkait dengan kreativitas, penciptaan, seni, dan ibadah, pada dasarnya merupakan refleksi atau bentuk dari penghambaan terhadap Kekasih Sejati yang dirindukan (Allah SWT).[32]
Adapun refleksi kesempurnaan ibadah
berpusat di lingkaran keluarga Nabi saw, sebagaimana Quran menyatakan kesucian
mereka.[33]
Dalam perspektif sufisme, karakter kesucian jiwa paling sempurna dalam Islam
adalah Nabi Muhammad saw, dan setelahnya adalah manifestasi dari par excellence
dalam tradisi esoterisme Islam, yakni Imam ‘Ali bin Abi Thalib, yang
kemudian dilanjutkan oleh para keturunannya. Imam ‘Ali dan keluarganyalah
yang mendapatkan emanasi cahaya profetik dan esoterik yang merepresentasikan
Nabi saw. Setelah lingkaran keluarga Nabi saw, barulah hal itu “menular”
kepada para sahabat terdekat yang telah memiliki kesiapan (isti’dat)
wadag untuk menerima instruksi esoterik. Mereka di antaranya adalah Abu Dharr
al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan Bilal.[34]
Sebagai kebutuhan rohani, tanah Fadak
perlu dijadikan sebagai “tanah pusat risalah” di mana warisan kebenaran dan
wahyu yang dibawa Nabi saw, akan disebarkan oleh ahlulbaitnya bagi kaum
Muslimin. Sebab, pengelolaan tanah Fadak di tangan yang berhak merupakan salah
satu ibadah dan bentuk penghambaan kepada Tuhan. Ketika Nabi saw menunjuk
puterinya sebagai pemegang kuasa tanah Fadak, itu berarti beliau menunjuk
puterinya untuk mengemban suatu amanah. Suatu amanah atau tugas suci demi tegaknya
kebenaran.
Penutup
Logika sederhana di atas menjawab
pertanyaan, “Mengapa Rasulullah saw menyerahkan tanah Fadak khusus kepada
Sayyidah Fathimah?” dalam konteks ini kita harus memandang tanah Fadak
sebagai transformasi atau manifestasi sosok perempuan sebagai simbol kesuburan,
karena perempuanlah yang melahirkan manusia ke dunia ini. Sayyidah Fathimah dan
tanah Fadak sama-sama mewakili manifestasi kesuburan. Apabila tanah yang
melahirkan segala tanaman yang dibutuhkan manusia dan makhluk hidup lainnya di
dunia, maka Fathimah lah yang akan melahirkan “anak-anak penerus risalah Nabi
saw”. Merekalah yang akan menghidupkan dan menegakkan sunah Nabi saw. Oleh
sebab itu, sebagai manifestasi kesuburan, Fathimah adalah pelindung,
pemelihara sumber hidup manusia, dan segala yang hidup di dunia. Oleh karena
itu, esensi fitrawi tanah pusaka Fadak tidak hanya sebagai kebutuhan jasmani,
tetapi juga kebutuhan rohani (spiritual).
Berdasarkan aspek kesuburan perempuan,
Fathimah seumpama bumi yang sanggup menampung benih, memelihara, dan
menjaga ajaran ayahnya (kenabian) hingga dapat menghasilkan buah segar yang
bisa dipetik (para keturunannya yang akan menjadi muslimin sejati). Sebagai
perempuan yang dijamin suci oleh Allah SWT, Fathimah adalah perempuan baik
yang dapat mengubah lahan gersang menjadi tanah subur tempat semua benih dapat
tumbuh dan menegakkan panji-panji Ilahi. Di muka bumi ini, Fathimah
merupakan perempuan sekaligus perawat terbaik, yang merawat diri sendiri maupun
lingkungannya untuk mencapai harmoni. Yaitu, harmoni antara unsur-unsur dalam
dirinya maupun harmoni dengan alam atau lingkungannya.
Bertalian dengan hal di atas, maka wajar
bila Fathimah murka ketika ada pihak lain yang merebut tanah Fadak. Ini
tidak bisa diartikan bahwa beliau rakus harta (Nauzubillah), melainkan
beliau mesti mengemban amanah Rasulullah saw yang diberikan kepadanya lewat
tanah Fadak. Di samping itu, Fathimah juga berkehendak untuk menegakkan
keadilan yang diajarkan oleh Islam sejati. Adalah suatu ancaman serius yang berpengaruh
pada citra baik Islam, apabila keadilan tidak ditegakkan. Oleh sebab itu,
tuntutan Fathimah terhadap pihak yang menyerobot tanah pusaka Fadak harus
dipandang sebagai kebaikan hati beliau itu sendiri. Beliau tidak ingin bila
sahabat–sahabat ayahandanya tersaruk dalam lembah penyimpangan dan kekeliruan.
Beliau tidak ingin mereka kembali pada karakter jahiliyah pasca wafatnya
Nabi saw, sebagaimana peringatan Allah dalam Surat Ali Imran.[35] Dengan
adanya penyerobotan lahan Fadak oleh pihak lain, sama saja dengan meredupkan
bahkan membunuh ajaran Nabi saw yang akan diemban oleh puterinya itu. Esensi
inilah yang membuat Fathimah menderita hingga berbulan-bulan sampai ajal
menjemputnya. Yakni, derita atas realitas bahwa yang menghalangi kemurnian
ajaran Nabi saw justru berasal dari umat Nabi saw itu sendiri, bukan dari
pihak luar.
Menurut Misbah Yazdi, dalam kehidupan
berbangsa harus terdapat aturan dan hukum. jika ada seseorang melakukan
pelanggaran, seseorang harus diperlakukan sesuai dengan aturan dan hukum yang
berlaku. Jika seseorang merampas hak orang lain, seseorang harus dihimbau untuk
mengembalikannya. Dalam hal ini, lanjut Yazdi, pelanggar aturan tersebut (dan
tak jarang harus bertanggung jawab atas kematian banyak orang) mesti dihukum
dan diganjar denda.[36]
Dalam konteks ini, arti “kebebasan” tidak dapat dimaknai seenaknya. Kebebasan
bagi pihak yang memegang kekuasaan tidak berarti ia diperbolehkan bertindak
sewenang-wenang. Sebab, hal ini menyebabkan orang dapat memungkiri peradaban
sekaligus mengakui sistem perbudakan dan hukum rimba (yang kuat adalah yang
menang).
Jika benar-benar makhluk beradab,
manusia sudah semestinya membangun sistem sosial yang kokoh. Setiap individu
wajib menghormati hak orang lain. Maka, harus diberlakukan hukum dan aturan.
Hukum pidana harus digunakan sebagai dasar untuk memberikan hukuman kepada
siapapun yang melakukan pelanggaran pidana. Sistem sosial yang bertujuan untuk membangun
konsep manusia beradab, memiliki cita-cita etis peradaban, dan kebutuhan
terhadap hukum itu sendiri.[37]
Hal ini sekaligus menggarisbawahi bahwa kekuasaan bukanlah alat memperbudak
rakyat dan merampas harta rakyat. Terlebih, sehingga menyebabkan kalakeran pada
lingkaran keluarga dan keturunan Nabi saw.[38]
Dengan
demikian, sekali lagi, penulis hendak menegaskan bahwa Tanah Fadak yang diwariskan
Rasulullah saw kepada puterinya, yakni Sayyidah Fathimah, merupakan tanah
pusaka sekaligus tanah sah milik Sayyidah Fathimah Bukan tanah kerajaan,
tanah mati, tanah adat, tanah usaha, tanah tumpah darah, apalagi tanah kuburan.
Bukan itu!
Bogor, 5 Mei 2016
Daftar Rujukan
Ayatullah
Syed Mehdi, Nabi Muhammad saw. Manusia Sempurna (cet. 1), terj.: Akmal
Kamil, Jakarta: al-Huda, 2001.
Bakker, J.W.M, Agama Asli Indonesia, Yogyakarta:
Pradnyawidya, 1976.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi
Pertama), Jakarta: Pusat Perbukuan Depdikbud, 1988.
Fakhry, Majid, Sejarah
Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan, 2001.
Muthahhari,
Murtadha, Bedah Tuntas Fitrah, terj: Afif Muhammad, Jakarta: Citra,
2011.
Nasr,
Seyyed Hossein, Three Muslim Sages, New York: Caravan Books, 1997.
Sareng
Orin Bao, P., Nusa Nipa Nama Pribumi Nusa
Flores,
Ende: Nusa Indah, 1969.
Subroto, Ph, Sistem
Pertanian Tradisional Pada Masyarakat Jawa, Tinjauan Secara Arkeologis dan
Etnografis, Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Jendral Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara,
1985.
Tilaar,
Martha, Kecantikan Perempuan Timur (Cet. 1), Editor: Dorothea Rosa
Herliany, Jakarta: Indonesia Tera, 1999.
Widyantoro, Bambang, Pandangan Masyarakat Jawa Kuno Terhadap Lumbung Dan Pemujaan Kepada
Dewi Kesuburan, Yogyakarta: Bentang, 1989.
Yazdi,
M. Taqi Misbah, Freedom, Jakarta: al-Huda, 2006.
[1] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi
Pertama), (Jakarta: Pusat Perbukuan Depdikbud, 1988), hlm. 893—894. Selanjutnya
disebut sebagai: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus
Besar Bahasa Indonesia.
[2] Tanah perponding: tanah milik
yang turun-temurun bagi orang Indonesia.
[3] Tanah kerajaan: tanah milik
raja.
[4] Tanah kosong: tanah (pekarangan)
yang tidak didiami atau diusahakan.
[5] Tanah garapan: tanah negara
(perkebunan dsb) yang digarap oleh penduduk untuk ditanami padi dsb.
[6] Tanah suku: tanah yang menjadi
milik segenap kaum (suku).
[7] Tanah usaha: tanah pertikelir
atau pemerintah yang diusahakan orang.
[8] Tanah wakaf: tanah yang
didermakan untuk mendirikan sesuatu yang berguna bagi umum (mesjid, madrasah,
rumah sakit, dsb).
[9] Tanah hidup: tanah yang
diusahakan (ditanami dsb).
[10] Tanah mati: tanah yang tidak
diusahakan lagi.
[11] Tanah adat: tanah milik yang
diatur menurut hukum adat.
[12] Tanah leluhur: negeri asal
orang-orang pendatang.
[13] Tanah tumpah darah: tanah tempat
kelahiran/kampung halaman.
[14] Tanah kuburan: tanah milik desa
(negara dsb) yang khusus disediakan untuk kuburan.
[15] ‘Ali bin Abi Thalib berhasil
mengalahkan dua orang pemimpin bersaudara kaum Yahudi Khaibar, yakni Harith dan
Marhab. Lalu, ia seorang diri membuka gerbang benteng Khaibar yang terkenal
sangat berat kemudian membantingnya.
[16] Hukum al-Quran secara gamblang
menyebutkan bahwa perkara harta rampasan perang (ghanaim) yang sampai
kepada kaum Muslimin tanpa perang, maka pemilik penuhnya adalah Rasulullah
saw. lihat: Surat al-Hasyr, ayat 6.
[17] Ayatullah Syed Mehdi, Nabi
Muhammad saw. Manusia Sempurna (cet. 1), terj.: Akmal Kamil (Jakarta:
al-Huda, 2001), hlm. 40.
[18] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 305. Misal,
“Rumah ini kami terima sebagai hibah dari paman.”
[19] Bahkan Pangeran Diponegoro
mati-matian membela tanah neneknya (perempuan). Dalam Babad Diponegoro,
beliau mengakui bahwa kehidupannya,
sejak kecil, banyak dipengaruhi oleh neneknya. Ia lebih banyak menghabiskan
waktu dan tinggal di kediaman neneknya di Tegalrejo, ketimbang di keraton
Yogya.
[22] Subroto, Ph, Sistem Pertanian Tradisional Pada Masyarakat
Jawa, Tinjauan Secara Arkeologis dan Etnografis (Yogyakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1985), hlm. 9.
[23] Sareng Orin Bao, P.,
Nusa
Nipa Nama Pribumi Nusa Flores (Ende: Nusa
Indah, 1969), hlm.
187—197.
[24] Tilaar, Martha, Kecantikan
Perempuan Timur (Cet. 1), Editor: Dorothea Rosa Herliany (Jakarta:
Indonesia Tera, 1999), hlm. 22. Selanjutnya disebut sebagai: Tilaar, Martha, Kecantikan
Perempuan Timur.
[25] Tilaar, Martha, Kecantikan
Perempuan Timur, hlm. 23.
[26] Widyantoro, Bambang, Pandangan
Masyarakat Jawa Kuno Terhadap Lumbung Dan Pemujaan Kepada Dewi Kesuburan (Yogyakarta:
Bentang, 1989), hlm.
8.
[27] Kemungkinan besar nama “Ceres”
ini merupakan sumber inspirasi dari sebuah merk bahan makanan berupa coklat
untuk dimakan dengan roti. Bahan makanan tersebut menyerupai butiran padi.
[28] Teks aslinya sebagai berikut:
.تَبْذِيرًا تُبَذِّرْ ﻻ وَ السَّبِيلِ وَابْنَ وَالْمِسْكِينَ حَقَّهُ لْقُرْبَى ذَا وَآَتِ
[29] Muthahhari, Murtadha, Bedah
Tuntas Fitrah, terj: Afif Muhammad (Jakarta: Citra, 2011), hlm. 41.
Selanjutnya disebut sebagai: Muthahhari, Murtadha, Bedah Tuntas Fitrah.
[30] Muthahhari, Murtadha, Bedah
Tuntas Fitrah, 61.
[31] Muthahhari, Murtadha, Bedah
Tuntas Fitrah, hlm. 52.
[32] Muthahhari, Murtadha, Bedah
Tuntas Fitrah, hlm. 64.
[33] Lihat: ayat ahlul kisa: Surat
al-Ahzab (ayat 33), yang dalam sejumlah riwayat mereka terdiri dari: Rasulullah
saw, Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib, Sayyidah Fathimah, al-Hassan al-Mujtaba, dan al-Hussayn al-Syahid.
[34] Lihat: Nasr, Seyyed Hossein, Three
Muslim Sages, (New York: Caravan Books, 1997), hlm. 83—85.
[35] Surat Ali ‘Imran (ayat 44) yang berbunyi,
“Muhammad hanyalah seorang utusan Allah. Sebelumnya telah ditus beberapa utusan. Apakah bila Muhammad mati atau terbunuh, kalian akan kembali pada kondisi kalian sebelumnya?”
“Muhammad hanyalah seorang utusan Allah. Sebelumnya telah ditus beberapa utusan. Apakah bila Muhammad mati atau terbunuh, kalian akan kembali pada kondisi kalian sebelumnya?”
[36] Yazdi, M. Taqi Misbah, Freedom,
(Jakarta: al-Huda, 2006), hlm. 94—95. Selanjutnya disebut sebagai: Yazdi, M.
Taqi Misbah, Freedom.
[37] Yazdi, M. Taqi Misbah, Freedom,
hlm. 95.
[38] Kalakeran: harta kerabat yang
tidak terbagi (lihat: KBBI, hlm. 379).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar