Mendadak
Bono terbangun dari tidur siangnya yang cukup panjang. Dengan tergesa
ia buka gorden jendela, dilihatnya hari sudah gelap. Bono melihat jam
merek Alexandre Christie yang selalu melekat di pergelangan tangan
kirinya—menunjukkan pukul 19:07. “fiiiuuuhhhh....
Masih ada waktu,”
gumamnya merasa lega dalam hati. Dilepaskannya jam tangan itu, lalu
dengan bersiul-siul ia menuju kamar mandi. Pertama, dengan pisau
cukur Gillette plus sedikit foam
cream ia babat habis
kumis dan janggutnya yang masih jarang-jarang itu.
Untuk
finishing,
ia gunakan pembersih wajah L'oreal for
Men.
Maka, wajahnya
tampak lebih muda lima tahun dari sebelumnya. Kemudian, ia keramasan
dengan shampoo merek
Tressemme, diteruskan dengan sabunan menggunakan Vasseline Man body
soap cair. Saat itu,
ia tiba-tiba teringat pada bintang iklan shampoo
idolanya, yang kerap
kali muncul di hampir seluruh stasiun televisi, kecuali TVRI. Ia
hafal betul gaya rambut panjang bintang iklan itu: bila rambutnya
disibakkan akan mirip Nicole Kidman saat menghadiri piala Oscar tahun
2007, namun bila rambutnya digelung akan mirip Kajol, artis India
idola neneknya. Dan ia perlu berdandan rapi untuk memikat Paulina,
yang baginya adalah Nicole Kidman versinya sendiri.
Hari
itu, Paulina mengundang Bono dalam acara tahlilan
tujuh hari
almarhumah kakaknya.
Oh, tidak, lebih tepatnya Bono yang berinisiatif untuk ikut
berpartisipasi pada tahlilan
itu. Menurut Paulina,
acara dimulai setelah ba’da
Isya,
“Ya, sekitar setengah delapan lewatlah,”
tukasnya lewat SMS tadi siang. Lantas Bono berpikir pakaian apa
gerangan yang harus dikenakannya saat tahlilan
nanti. Sementara, satu-satunya pakaian yang dimiliki hanya sepotong
kemeja lusuh kesayangannya. Mulai dari bangun tidur, beraktivitas,
hingga tidur lagi, seolah kemeja itu sudah menjadi bagian dari
anggota badannya. Karena itu, ia harus menyemprotkan parfum untuk
menyamarkan bau apek
yang menempel. Untunglah, ia baru saja mendapatkan kemeja batik
pinjaman dari seorang teman. Ketika ia memantas-mantasnya di depan
cermin, tampak agak sedikit kedodoran. Maka, ia lebih mirip seperti
Pak Lurah daripada seorang pemuda dengan hasrat cinta menggebu.
Entah, sejak kapan ia mulai merasakan “hasrat cinta” itu. Ia
sendiripun tidak pernah tahu.
Sebetulnya, perkenalan Bono dan Paulina sudah terjalin sejak dua tahun silam. Saat itu, Bono yang membolos kerja sedang duduk bermalas-malasan di sofa uzur, yang terletak di ruang depan kontrakannya. Hari itu adalah hari Senin, yakni hari yang dianggapnya sebagai hari “malas” dalam bekerja. Tidak seperti hari-hari lainnya, saat bangun tidur ia langsung menyulut sepuntung rokok Dji Sam Soe bekas semalam. Rokok itu dimatikannya setelah dua-tiga hisap. Tiba-tiba ia hendak menjumpai beberapa temannya di bekas kampusnya dulu. Banyak teman Bono belum lulus kuliah. Bahkan, sejumlah seniornyapun banyak yang belum lulus, lantaran masih kesulitan untuk melewati beberapa mata kuliah.
Sebetulnya, perkenalan Bono dan Paulina sudah terjalin sejak dua tahun silam. Saat itu, Bono yang membolos kerja sedang duduk bermalas-malasan di sofa uzur, yang terletak di ruang depan kontrakannya. Hari itu adalah hari Senin, yakni hari yang dianggapnya sebagai hari “malas” dalam bekerja. Tidak seperti hari-hari lainnya, saat bangun tidur ia langsung menyulut sepuntung rokok Dji Sam Soe bekas semalam. Rokok itu dimatikannya setelah dua-tiga hisap. Tiba-tiba ia hendak menjumpai beberapa temannya di bekas kampusnya dulu. Banyak teman Bono belum lulus kuliah. Bahkan, sejumlah seniornyapun banyak yang belum lulus, lantaran masih kesulitan untuk melewati beberapa mata kuliah.
Siang
itu ia mengenakan kemeja body
fit merek Stanley
Adams berwarna dasar biru dengan motif garis-garis hitam, yang
dibelikan oleh mantan pacarnya. Terusan celana panjang berbahan katun
merek Executive tampak mengkilat-kilat di atas warnanya yang hitam.
Kakinya dimanjakan dengan sepatu kulit Hush Puppies tipe Nitrous
Oxford. Sehingga,
membuatnya sempurna
necis di bawah terik siang itu. Ia gas sepeda motor bebeknya
menyusuri gang-gang sempit yang hanya muat untuk satu motor saja.
Ketika memasuki kawasan kompleks, seorang gadis berjalan dengan
pinggul meliuk-liuk. Untuk menyaksikan keindahan itu, Bono perlu
memperlambat laju sepeda motornya.
Pada momen itu, tanaman-tanaman liar yang tumbuh di tepi jalan seolah mendadak layu, enggan mengintip ulah jahil Bono. Tapi, deru sepeda motor yang diperlambat justru mengundang kecurigaan. Antara sebentar gadis itu menolehkan pandangnya ke belakang. Dilihatnya seorang laki-laki di atas sepeda motor, tanpa helm, bersiul-siul menirukan lagu What a Wonderful World-nya Louis Armstrong. wajah gadis itu tampak jelas, meskipun tidak mirip dengan bintang iklan shampoo idolanya. Ia berambut lurus sebahu disibak kiri, hidung agak mancung dengan bentuk wajah opal bagai anggur putih. Kacamatanya menyamarkan mata aslinya yang agak sipit, sehingga pipinya yang gembil itu mirip bakpao matang. Meskipun begitu, Bono menyukai dandanan gadis itu yang sederhana dan apa adanya. Cuaca panas menggigit saat itu, mungkin alasan ia hanya mengenakan kaus putih cerah dengan terusan celana jeans.
Pada momen itu, tanaman-tanaman liar yang tumbuh di tepi jalan seolah mendadak layu, enggan mengintip ulah jahil Bono. Tapi, deru sepeda motor yang diperlambat justru mengundang kecurigaan. Antara sebentar gadis itu menolehkan pandangnya ke belakang. Dilihatnya seorang laki-laki di atas sepeda motor, tanpa helm, bersiul-siul menirukan lagu What a Wonderful World-nya Louis Armstrong. wajah gadis itu tampak jelas, meskipun tidak mirip dengan bintang iklan shampoo idolanya. Ia berambut lurus sebahu disibak kiri, hidung agak mancung dengan bentuk wajah opal bagai anggur putih. Kacamatanya menyamarkan mata aslinya yang agak sipit, sehingga pipinya yang gembil itu mirip bakpao matang. Meskipun begitu, Bono menyukai dandanan gadis itu yang sederhana dan apa adanya. Cuaca panas menggigit saat itu, mungkin alasan ia hanya mengenakan kaus putih cerah dengan terusan celana jeans.
“Kamu anak Sastra Jepang, ya?”
tiba-tiba Bono menegur. Raut wajah gadis itu tampak keheranan
sekaligus bertanya-tanya.
“Kenapa diam saja?” lanjut
Bono.
“Eh... a-a-nu... Saya mau ke
Mal PV,” jawab gadis itu terbata-bata.
“Oh, kebetulan aku juga mau ke
Mal itu. Ayo naik!”
Sekonyong-konyong gadis itu
menuruti kata-kata Bono dan serta-merta duduk mencangkung di
boncengannya. Gadis itu juga terheran-heran sendiri, mengapa ia mau
menerima tumpangan yang ditawarkan Laki-laki berambut klimis itu.
Padahal, gadis itu belum pernah sembarang menerima tumpangan dari
orang asing tidak dikenal. Awalnya, ia berpikir laki-laki ini adalah
tukang ojek yang menawarkan tumpangan. Tapi, pikirnya lagi, mana ada
tukang ojek narik
motor mengenakan kemeja rapi dengan jam tangan, cincin perak bermata
Marjan merah, dan rambut klimis yang tertata begitu rapi?
“Lingkarkan tanganmu di
pinggangku! Aku akan sedikit ngebut!”
“Gak usah
terburu-buru, aku gak
ngejar waktu kok.”
Kini,
ada dua orang di atas sepeda motor Bono. Ia sendiri sudah lupa
tujuannya untuk bertemu teman-temannya di kampus. Deru motor yang
digas agak ngebut
membuat laju angin
menampar wajah mereka. Kemudian, terjadilah sepenggal percakapan
antara mereka di atas motor yang melaju ke arah Mal yang dimaksud.
“Aku
kira kamu anak Sastra Jepang,”
“Mungkin
tampangku yang kamu anggap sebagai ‘Jepang’ itu?”
“O,
tidak..tidak... kamu mirip dengan salah satu temanku di kampus dulu,”
“Maksudmu
tampangku ‘pasaran’, ya?”
“O,
tidak juga. Hanya saja, wajahmu tampak familiar dan akrab denganku,”
“Saya
bukan perempuan yang kamu maksud,”
“Hahaha,
ya, tapi dia temanku,”
“Lalu, kenapa kamu mau
mengantarkan Saya?”
“Lalu,
mengapa kamu mau kuantar?” timpal Bono yang disusul keheningan.
Tiba-tiba, tanpa aba-aba dan isyarat mereka menjawab pertanyaan
masing-masing berbarengan,
“Tidak tahu.”
Merekapun terdiam lagi saat Mal itu sudah tampak di antara pepohonan yang terpisah dengan pertigaan simpang jalan. Begitulah awal perkenalan Bono dan si gadis yang diketahui bernama Paulina, hingga bersambung ke—yang menurut istilah remaja sekarang—SMS-an, dan teleponan. Dan, SMS yang sering dikirimi olehnya adalah kata-kata puitis agar Paulina tidak jenuh dan monoton melayani SMS Bono. Sebatas itu saja, tak lebih. Tanpa janji, tanpa berbicara face to face, tanpa ketemuan lagi meskipun kemudian diketahui bahwa jarak kontrakan Bono dan rumah Paulina ternyata tak lebih dari Ancol ke Dufan.
Merekapun terdiam lagi saat Mal itu sudah tampak di antara pepohonan yang terpisah dengan pertigaan simpang jalan. Begitulah awal perkenalan Bono dan si gadis yang diketahui bernama Paulina, hingga bersambung ke—yang menurut istilah remaja sekarang—SMS-an, dan teleponan. Dan, SMS yang sering dikirimi olehnya adalah kata-kata puitis agar Paulina tidak jenuh dan monoton melayani SMS Bono. Sebatas itu saja, tak lebih. Tanpa janji, tanpa berbicara face to face, tanpa ketemuan lagi meskipun kemudian diketahui bahwa jarak kontrakan Bono dan rumah Paulina ternyata tak lebih dari Ancol ke Dufan.
Hanya
bertahan setahun mereka menjalin SMS-an
dan teleponan
sejak pertemuan itu. Bono makin sibuk memburu uang dari Jayapura
hingga Manado. Dan kota yang disinggahinya itu tak dirasainya
memberikan kebahagiaan untuk mengisi hidup. Ia rindu Jakarta dengan
asap knalpotnya. Ia rindu kawan-kawan seperjuangannya dalam membela
pertahanan kebudayaan negerinya. Dan ia rindu iklan pariwisata Pemda
DKI yang bermotto “Enjoy
Jakarta” yang sering
terpasang pada badan bus, walaupun ia rela bergelantungan karena
tidak dapat tempat duduk di bus itu.
***
Dua tahun berlalu. Menurut BMKG,
saat ini ibukota berada pada titik 35 derajat Celsius, membuatmu
merasa seolah memerlukan mandi barang dua-tiga kali setiap jamnya.
Bono sudah menyiapkan sebundel proposal mahapenting untuk proyek
penerbitan buku biografi salah satu tokoh pejabat ternama. SMS dari
kementerian yang ditunggu-tunggu tak kunjung hadir. Tiba-tiba, dering
handphone tanda
diterimanya SMS membuat Bono bersijingkat ke ruang depan. Isi pesan
itu,
“Apa kabar?” di layar
tercantum nama pengirim pesan—Paulina.
Tak segera dibalas pesannya itu. Ia lantas melempar handphonenya ke sofa uzur lalu mengambil majalah TIME berjudul “Leadership Crisis” dengan covernya yang bergambar foto hitam-putih Mister Abe (Abraham Lincoln). Dalam salah satu rubrik, ia menemukan gambaran pengusaha sukses seorang perempuan asal Miami, yang berkali-kali mengalami kegagalan dalam hubungan asmara namun menuai keberhasilan dalam urusan bisnis. Dalam salah satu kisahnya diceritakan, perempuan sukses itu melakukan segala cara demi mendapatkan jodoh. Mulai dari pertemuan dengan seorang laki-laki asing di lampu penyeberangan jalan di Bronx, hingga mengontak biro jodoh di New York. Akan tetapi, ujarnya, kini banyak laki-laki mengirim surat lamaran ke kotak posnya.
Tak segera dibalas pesannya itu. Ia lantas melempar handphonenya ke sofa uzur lalu mengambil majalah TIME berjudul “Leadership Crisis” dengan covernya yang bergambar foto hitam-putih Mister Abe (Abraham Lincoln). Dalam salah satu rubrik, ia menemukan gambaran pengusaha sukses seorang perempuan asal Miami, yang berkali-kali mengalami kegagalan dalam hubungan asmara namun menuai keberhasilan dalam urusan bisnis. Dalam salah satu kisahnya diceritakan, perempuan sukses itu melakukan segala cara demi mendapatkan jodoh. Mulai dari pertemuan dengan seorang laki-laki asing di lampu penyeberangan jalan di Bronx, hingga mengontak biro jodoh di New York. Akan tetapi, ujarnya, kini banyak laki-laki mengirim surat lamaran ke kotak posnya.
Tiba-tiba
Bono teringat sesuatu. Diambilnya handphone
yang tergolek di sofa, segera ia mengetik SMS,
“Aq
pny seorg tmn laki2 yang memiliki knalan prmpuan. Tapi, sjauh ini mrk
hny ngobrol n
mnjalin komunksi cm lwt handphone.
Lalu, stiap si laki2 itu ngajak
ktemuan, si prempuan slalu mnolaknya dgn cara yg trbilang sopan.
Padahal, si prmpuan slalu mbalas sms maupun m’angkat tlpon dari si
laki2. Menurut km, hal yang kayak
gini gmna?” SMS di
hapenya
itu ia kirimkan ke Paulina. Tak lama kemudian muncul balasan,
“Qt bs ktemu bwt
m'diskusikannya... hehe..”
“Ok,
di Mal PV ya, pukul....” dan baru pertama kali ini mereka
mengadakan temu-janji, sejak dua tahun perkenalan itu.
Menjelang senja itu, Bono duduk di salah satu cafe yang terletak dalam perut Mal PV. Para pengunjung tampak ramai bergurau dengan teman-temannya. Di atas meja mereka tampak tiga mangkuk Banana split, kue-kue sajian utama cafe, serta minuman-minuman yang tidak pernah Bono ketahui. Sementara, camilan yang sanggup dibeli Bono hanya secangkir capuccino panas, yang masih mengepulkan asap. Agak lama menunggu Paulina, kesiur jantung Bono berdegup kencang. Hatinya terbakar oleh rindu. Terlebih ia sudah menyiapkan rangkaian kata-kata untuk nembak Paulina. Untuk meringankan kegugupannya, Bono menyulut sebatang kretek sigaret. Ia kepul-kepulkan asap rokok kreteknya dan memainkan asap itu menjadi bentuk O. Pada saat tegukan capuccino pertama, tampak seorang gadis yang wajahnya akrab dalam ingatannya dua tahun lalu. Paulina. Kali ini mengenakan kaus-kemeja warna krem dengan jeans coklat. Di lehernya terkalung syal kecil hitam yang fungsinya sebagai aksesoris semata. Sejak dua tahun lalu, hampir tak ada gayanya yang berubah, selain kacamatanya yang berganti frame merek Tag Hauer.
Menjelang senja itu, Bono duduk di salah satu cafe yang terletak dalam perut Mal PV. Para pengunjung tampak ramai bergurau dengan teman-temannya. Di atas meja mereka tampak tiga mangkuk Banana split, kue-kue sajian utama cafe, serta minuman-minuman yang tidak pernah Bono ketahui. Sementara, camilan yang sanggup dibeli Bono hanya secangkir capuccino panas, yang masih mengepulkan asap. Agak lama menunggu Paulina, kesiur jantung Bono berdegup kencang. Hatinya terbakar oleh rindu. Terlebih ia sudah menyiapkan rangkaian kata-kata untuk nembak Paulina. Untuk meringankan kegugupannya, Bono menyulut sebatang kretek sigaret. Ia kepul-kepulkan asap rokok kreteknya dan memainkan asap itu menjadi bentuk O. Pada saat tegukan capuccino pertama, tampak seorang gadis yang wajahnya akrab dalam ingatannya dua tahun lalu. Paulina. Kali ini mengenakan kaus-kemeja warna krem dengan jeans coklat. Di lehernya terkalung syal kecil hitam yang fungsinya sebagai aksesoris semata. Sejak dua tahun lalu, hampir tak ada gayanya yang berubah, selain kacamatanya yang berganti frame merek Tag Hauer.
“Hola...”
dengan melemparkan senyum Paulina mengulurkan tangan.
“Hoy...”
sambut Bono, juga mengulurkan tangan dan menyilakan duduk. Tak lama
kemudian pelayan datang membawakan secangkir capuccino yang sama
dengan Bono. Sebelumnya Bono berpesan kepada pelayan, apabila
temannya seorang gadis datang, agar segera dibawakan minuman yang
sama dengannya.
“Hidup
itu kadang aneh,” ujar Bono membuka percakapan.
“yang
aneh itu kamu, Bon. Kaya
figuran dalam sinetron,
kadang muncul kadang gak
keliatan,” tukas
Paulina dengan nada mengejek sambil tersenyum genit. Jawaban Paulina
membuat Bono menggaruk-garuk kepalanya.
“Sudah
berapa perempuan yang terjebak oleh puisimu?”
“Hahahaha....,”
Bono tertawa mengakak, “Tak satupun ikan terjerat umpanku! Kecuali,
puisiku terakhir yang sanggup membawamu bertemu aku di sini.
Tapi,
kamu selalu membalas SMS-ku dan mengangkat teleponku. Cuma saja, kamu
gak pernah
mau menemuiku,” ujar Bono melanjutkan.
“Ya,
akhir-akhir ini aku dan keluargaku tertimpa banyak musibah, Bon.
Maafkan aku. Bisnis keluargaku tidak mengalami kemajuan, dan akan
dipindahtangankan ke orang asing. Terlebih, lima hari yang lalu
kakakku meninggal dunia akibat serangan jantung,”
Mendengar
itu Bono terdiam, “Turut berduka cita, Lin.”
“Jadi.....”
lanjut Bono, “Besok masuk tujuh harinya almarhum
kakakmu, toh?”
“Ya,”
jawab Paulina singkat.
“Baiklah,
akan aku sempatkan datang untuk mengikuti tahlil
di rumahmu,”
“Boleh,
silakan datang, Bon. Terima kasih!” kemudian, “Oya, Bon, maaf aku
harus pamit tidak bisa lama-lama di sini. Ada janji sama pacarku...”
“Oh,
ka-kamu, p-p-punya pacar, toh?” Bono terbata-bata, “What
a stupid I am! Aku
jadi malu. Maaf, Lin, kamu abaikan saja puisi-puisiku untukmu! Anggap
saja guyonan belaka,”
“Enggak,
Bon. Puisi-puisimu bagus kok! Tidak ada orang yang menulis kata-kata
seindah itu untukku. Bahkan pacarkupun tidak. Sudah aku save
di folder hatiku, kok”
Bono
mematung, dan tak ada lagi kata yang terucap setelah itu, baik di
mulut maupun SMS. Kecuali, mengabarkan waktu tahlilan
kapan dimulai dan
secarik kertas bertuliskan alamat rumah Paulina.
***
Tapi
Bono masih bersikeras untuk mendapatkan Paulina, sekalipun sudah
mengetahui bahwa Paulina punya pacar. Entah mengapa ia merasa
tertantang untuk mendapatkan Paulina. Ia berpikir, dengan
memberanikan datang ke rumahnya, ia akan memikat hati Paulina
sekaligus hati keluarganya. Kini, ia sudah berpakaian rapi dengan
kemeja batik lengan pendek bermotif Parang
Rusak gaya
Yogyakarta—hasil pinjaman temannya. Dengan semangat Veni,
Vidi, Vici ia
bersiap-siap ke medan pertempuran. Tak lupa ia semprotkan dua kali
parfum Bvlgari Aqua ke
badan dan sekitar ketiaknya sebelum berangkat. Malam itu, ia berjalan
kaki menuju rumah Paulina. Ketika memasuki kawasan kompleks rumahnya,
ia menyiulkan lagu What
a Wonderful World
Louis Armstrong seperti pertama kali bertemu Paulina di jalan itu.
Tiba di halaman rumah Paulina,
orang-orang bersorban dan berpeci dengan pakaian muslim tampak
berhamburan keluar rumahnya. Beberapa orang bersalaman tangan dengan
tuan rumah. Bono yang keheranan segera menghampiri Paulina yang
berdiri kacak-pinggang dengan wajah masam.
“Tahlilannya
udah
selesai!” ucap Paulina dengan nada ketus sehingga Bono terperanjat.
Lantas Bono melihat jam tangannya. Ternyata, sampai saat itu jarum
jam masih menunjukkan pukul 19:07, entah waktu Indonesia mana.
“Sial, jam gue ngaco!”
sesal Bono dalam hati.
Senja hari, 31 Maret 2013