CAFE BUDAYA GEMA FAJAR

Kamis, 04 April 2013

PERTEMUAN PENTING DI MUSIM PANAS

         Mendadak Bono terbangun dari tidur siangnya yang cukup panjang. Dengan tergesa ia buka gorden jendela, dilihatnya hari sudah gelap. Bono melihat jam merek Alexandre Christie yang selalu melekat di pergelangan tangan kirinya—menunjukkan pukul 19:07. “fiiiuuuhhhh.... Masih ada waktu, gumamnya merasa lega dalam hati. Dilepaskannya jam tangan itu, lalu dengan bersiul-siul ia menuju kamar mandi. Pertama, dengan pisau cukur Gillette plus sedikit foam cream ia babat habis kumis dan janggutnya yang masih jarang-jarang itu. Untuk finishing, ia gunakan pembersih wajah L'oreal for Men. Maka, wajahnya tampak lebih muda lima tahun dari sebelumnya. Kemudian, ia keramasan dengan shampoo merek Tressemme, diteruskan dengan sabunan menggunakan Vasseline Man body soap cair. Saat itu, ia tiba-tiba teringat pada bintang iklan shampoo idolanya, yang kerap kali muncul di hampir seluruh stasiun televisi, kecuali TVRI. Ia hafal betul gaya rambut panjang bintang iklan itu: bila rambutnya disibakkan akan mirip Nicole Kidman saat menghadiri piala Oscar tahun 2007, namun bila rambutnya digelung akan mirip Kajol, artis India idola neneknya. Dan ia perlu berdandan rapi untuk memikat Paulina, yang baginya adalah Nicole Kidman versinya sendiri. 
        Hari itu, Paulina mengundang Bono dalam acara tahlilan tujuh hari almarhumah kakaknya. Oh, tidak, lebih tepatnya Bono yang berinisiatif untuk ikut berpartisipasi pada tahlilan itu. Menurut Paulina, acara dimulai setelah ba’da Isya, “Ya, sekitar setengah delapan lewatlah,” tukasnya lewat SMS tadi siang. Lantas Bono berpikir pakaian apa gerangan yang harus dikenakannya saat tahlilan nanti. Sementara, satu-satunya pakaian yang dimiliki hanya sepotong kemeja lusuh kesayangannya. Mulai dari bangun tidur, beraktivitas, hingga tidur lagi, seolah kemeja itu sudah menjadi bagian dari anggota badannya. Karena itu, ia harus menyemprotkan parfum untuk menyamarkan bau apek yang menempel. Untunglah, ia baru saja mendapatkan kemeja batik pinjaman dari seorang teman. Ketika ia memantas-mantasnya di depan cermin, tampak agak sedikit kedodoran. Maka, ia lebih mirip seperti Pak Lurah daripada seorang pemuda dengan hasrat cinta menggebu. Entah, sejak kapan ia mulai merasakan “hasrat cinta” itu. Ia sendiripun tidak pernah tahu.
           Sebetulnya, perkenalan Bono dan Paulina sudah terjalin sejak dua tahun silam. Saat itu, Bono yang membolos kerja sedang duduk bermalas-malasan di sofa uzur, yang terletak di ruang depan kontrakannya. Hari itu adalah hari Senin, yakni hari yang dianggapnya sebagai hari “malas” dalam bekerja. Tidak seperti hari-hari lainnya, saat bangun tidur ia langsung menyulut sepuntung rokok Dji Sam Soe bekas semalam. Rokok itu dimatikannya setelah dua-tiga hisap. Tiba-tiba ia hendak menjumpai beberapa temannya di bekas kampusnya dulu. Banyak teman Bono belum lulus kuliah. Bahkan, sejumlah seniornyapun banyak yang belum lulus, lantaran masih kesulitan untuk melewati beberapa mata kuliah.
          Siang itu ia mengenakan kemeja body fit merek Stanley Adams berwarna dasar biru dengan motif garis-garis hitam, yang dibelikan oleh mantan pacarnya. Terusan celana panjang berbahan katun merek Executive tampak mengkilat-kilat di atas warnanya yang hitam. Kakinya dimanjakan dengan sepatu kulit Hush Puppies tipe Nitrous Oxford. Sehingga, membuatnya sempurna necis di bawah terik siang itu. Ia gas sepeda motor bebeknya menyusuri gang-gang sempit yang hanya muat untuk satu motor saja. Ketika memasuki kawasan kompleks, seorang gadis berjalan dengan pinggul meliuk-liuk. Untuk menyaksikan keindahan itu, Bono perlu memperlambat laju sepeda motornya.
         Pada momen itu, tanaman-tanaman liar yang tumbuh di tepi jalan seolah mendadak layu, enggan mengintip ulah jahil Bono. Tapi, deru sepeda motor yang diperlambat justru mengundang kecurigaan. Antara sebentar gadis itu menolehkan pandangnya ke belakang. Dilihatnya seorang laki-laki di atas sepeda motor, tanpa helm, bersiul-siul menirukan lagu What a Wonderful World-nya Louis Armstrong. wajah gadis itu tampak jelas, meskipun tidak mirip dengan bintang iklan shampoo idolanya. Ia berambut lurus sebahu disibak kiri, hidung agak mancung dengan bentuk wajah opal bagai anggur putih. Kacamatanya menyamarkan mata aslinya yang agak sipit, sehingga pipinya yang gembil itu mirip bakpao matang. Meskipun begitu, Bono menyukai dandanan gadis itu yang sederhana dan apa adanya. Cuaca panas menggigit saat itu, mungkin alasan ia hanya mengenakan kaus putih cerah dengan terusan celana jeans.
Kamu anak Sastra Jepang, ya?” tiba-tiba Bono menegur. Raut wajah gadis itu tampak keheranan sekaligus bertanya-tanya.
Kenapa diam saja?” lanjut Bono.
Eh... a-a-nu... Saya mau ke Mal PV,” jawab gadis itu terbata-bata.
Oh, kebetulan aku juga mau ke Mal itu. Ayo naik!”
 Sekonyong-konyong gadis itu menuruti kata-kata Bono dan serta-merta duduk mencangkung di boncengannya. Gadis itu juga terheran-heran sendiri, mengapa ia mau menerima tumpangan yang ditawarkan Laki-laki berambut klimis itu. Padahal, gadis itu belum pernah sembarang menerima tumpangan dari orang asing tidak dikenal. Awalnya, ia berpikir laki-laki ini adalah tukang ojek yang menawarkan tumpangan. Tapi, pikirnya lagi, mana ada tukang ojek narik motor mengenakan kemeja rapi dengan jam tangan, cincin perak bermata Marjan merah, dan rambut klimis yang tertata begitu rapi?
Lingkarkan tanganmu di pinggangku! Aku akan sedikit ngebut!”
Gak usah terburu-buru, aku gak ngejar waktu kok.”
         Kini, ada dua orang di atas sepeda motor Bono. Ia sendiri sudah lupa tujuannya untuk bertemu teman-temannya di kampus. Deru motor yang digas agak ngebut membuat laju angin menampar wajah mereka. Kemudian, terjadilah sepenggal percakapan antara mereka di atas motor yang melaju ke arah Mal yang dimaksud.
“Aku kira kamu anak Sastra Jepang,”
“Mungkin tampangku yang kamu anggap sebagai ‘Jepang’ itu?”
“O, tidak..tidak... kamu mirip dengan salah satu temanku di kampus dulu,”
“Maksudmu tampangku ‘pasaran’, ya?”
“O, tidak juga. Hanya saja, wajahmu tampak familiar dan akrab denganku,”
“Saya bukan perempuan yang kamu maksud,”
“Hahaha, ya, tapi dia temanku,”
Lalu, kenapa kamu mau mengantarkan Saya?”
“Lalu, mengapa kamu mau kuantar?” timpal Bono yang disusul keheningan. Tiba-tiba, tanpa aba-aba dan isyarat mereka menjawab pertanyaan masing-masing berbarengan,
Tidak tahu.”
Merekapun terdiam lagi saat Mal itu sudah tampak di antara pepohonan yang terpisah dengan pertigaan simpang jalan. Begitulah awal perkenalan Bono dan si gadis yang diketahui bernama Paulina, hingga bersambung ke—yang menurut istilah remaja sekarang—SMS-an, dan teleponan. Dan, SMS yang sering dikirimi olehnya adalah kata-kata puitis agar Paulina tidak jenuh dan monoton melayani SMS Bono. Sebatas itu saja, tak lebih. Tanpa janji, tanpa berbicara face to face, tanpa ketemuan lagi meskipun kemudian diketahui bahwa jarak kontrakan Bono dan rumah Paulina ternyata tak lebih dari Ancol ke Dufan.
         Hanya bertahan setahun mereka menjalin SMS-an dan teleponan sejak pertemuan itu. Bono makin sibuk memburu uang dari Jayapura hingga Manado. Dan kota yang disinggahinya itu tak dirasainya memberikan kebahagiaan untuk mengisi hidup. Ia rindu Jakarta dengan asap knalpotnya. Ia rindu kawan-kawan seperjuangannya dalam membela pertahanan kebudayaan negerinya. Dan ia rindu iklan pariwisata Pemda DKI yang bermotto “Enjoy Jakarta” yang sering terpasang pada badan bus, walaupun ia rela bergelantungan karena tidak dapat tempat duduk di bus itu.
***
Dua tahun berlalu. Menurut BMKG, saat ini ibukota berada pada titik 35 derajat Celsius, membuatmu merasa seolah memerlukan mandi barang dua-tiga kali setiap jamnya. Bono sudah menyiapkan sebundel proposal mahapenting untuk proyek penerbitan buku biografi salah satu tokoh pejabat ternama. SMS dari kementerian yang ditunggu-tunggu tak kunjung hadir. Tiba-tiba, dering handphone tanda diterimanya SMS membuat Bono bersijingkat ke ruang depan. Isi pesan itu,
Apa kabar?” di layar tercantum nama pengirim pesan—Paulina.
 Tak segera dibalas pesannya itu. Ia lantas melempar handphonenya ke sofa uzur lalu mengambil majalah TIME berjudul “Leadership Crisis” dengan covernya yang bergambar foto hitam-putih Mister Abe (Abraham Lincoln). Dalam salah satu rubrik, ia menemukan gambaran pengusaha sukses seorang perempuan asal Miami, yang berkali-kali mengalami kegagalan dalam hubungan asmara namun menuai keberhasilan dalam urusan bisnis. Dalam salah satu kisahnya diceritakan, perempuan sukses itu melakukan segala cara demi mendapatkan jodoh. Mulai dari pertemuan dengan seorang laki-laki asing di lampu penyeberangan jalan di Bronx, hingga mengontak biro jodoh di New York. Akan tetapi, ujarnya, kini banyak laki-laki mengirim surat lamaran ke kotak posnya.
Tiba-tiba Bono teringat sesuatu. Diambilnya handphone yang tergolek di sofa, segera ia mengetik SMS,
        “Aq pny seorg tmn laki2 yang memiliki knalan prmpuan. Tapi, sjauh ini mrk hny ngobrol n mnjalin komunksi cm lwt handphone. Lalu, stiap si laki2 itu ngajak ktemuan, si prempuan slalu mnolaknya dgn cara yg trbilang sopan. Padahal, si prmpuan slalu mbalas sms maupun m’angkat tlpon dari si laki2. Menurut km, hal yang kayak gini gmna?” SMS di hapenya itu ia kirimkan ke Paulina. Tak lama kemudian muncul balasan, “Qt bs ktemu bwt m'diskusikannya... hehe..”
         “Ok, di Mal PV ya, pukul....” dan baru pertama kali ini mereka mengadakan temu-janji, sejak dua tahun perkenalan itu. 
          Menjelang senja itu, Bono duduk di salah satu cafe yang terletak dalam perut Mal PV. Para pengunjung tampak ramai bergurau dengan teman-temannya. Di atas meja mereka tampak tiga mangkuk Banana split, kue-kue sajian utama cafe, serta minuman-minuman yang tidak pernah Bono ketahui. Sementara, camilan yang sanggup dibeli Bono hanya secangkir capuccino panas, yang masih mengepulkan asap. Agak lama menunggu Paulina, kesiur jantung Bono berdegup kencang. Hatinya terbakar oleh rindu. Terlebih ia sudah menyiapkan rangkaian kata-kata untuk nembak Paulina. Untuk meringankan kegugupannya, Bono menyulut sebatang kretek sigaret. Ia kepul-kepulkan asap rokok kreteknya dan memainkan asap itu menjadi bentuk O. Pada saat tegukan capuccino pertama, tampak seorang gadis yang wajahnya akrab dalam ingatannya dua tahun lalu. Paulina. Kali ini mengenakan kaus-kemeja warna krem dengan jeans coklat. Di lehernya terkalung syal kecil hitam yang fungsinya sebagai aksesoris semata. Sejak dua tahun lalu, hampir tak ada gayanya yang berubah, selain kacamatanya yang berganti frame merek Tag Hauer.
            “Hola...” dengan melemparkan senyum Paulina mengulurkan tangan.
         “Hoy...” sambut Bono, juga mengulurkan tangan dan menyilakan duduk. Tak lama kemudian pelayan datang membawakan secangkir capuccino yang sama dengan Bono. Sebelumnya Bono berpesan kepada pelayan, apabila temannya seorang gadis datang, agar segera dibawakan minuman yang sama dengannya.
         “Hidup itu kadang aneh,” ujar Bono membuka percakapan.
         “yang aneh itu kamu, Bon. Kaya figuran dalam sinetron, kadang muncul kadang gak keliatan,” tukas Paulina dengan nada mengejek sambil tersenyum genit. Jawaban Paulina membuat Bono menggaruk-garuk kepalanya.
          “Sudah berapa perempuan yang terjebak oleh puisimu?”
         “Hahahaha....,” Bono tertawa mengakak, “Tak satupun ikan terjerat umpanku! Kecuali, puisiku terakhir yang sanggup membawamu bertemu aku di sini.
Tapi, kamu selalu membalas SMS-ku dan mengangkat teleponku. Cuma saja, kamu gak pernah mau menemuiku,” ujar Bono melanjutkan.
         “Ya, akhir-akhir ini aku dan keluargaku tertimpa banyak musibah, Bon. Maafkan aku. Bisnis keluargaku tidak mengalami kemajuan, dan akan dipindahtangankan ke orang asing. Terlebih, lima hari yang lalu kakakku meninggal dunia akibat serangan jantung,”
Mendengar itu Bono terdiam, “Turut berduka cita, Lin.”
         “Jadi.....” lanjut Bono, “Besok masuk tujuh harinya almarhum kakakmu, toh?”
         “Ya,” jawab Paulina singkat.
         “Baiklah, akan aku sempatkan datang untuk mengikuti tahlil di rumahmu,”
         “Boleh, silakan datang, Bon. Terima kasih!” kemudian, “Oya, Bon, maaf aku harus pamit tidak bisa lama-lama di sini. Ada janji sama pacarku...”
         “Oh, ka-kamu, p-p-punya pacar, toh?” Bono terbata-bata, “What a stupid I am! Aku jadi malu. Maaf, Lin, kamu abaikan saja puisi-puisiku untukmu! Anggap saja guyonan belaka,”
         “Enggak, Bon. Puisi-puisimu bagus kok! Tidak ada orang yang menulis kata-kata seindah itu untukku. Bahkan pacarkupun tidak. Sudah aku save di folder hatiku, kok”
Bono mematung, dan tak ada lagi kata yang terucap setelah itu, baik di mulut maupun SMS. Kecuali, mengabarkan waktu tahlilan kapan dimulai dan secarik kertas bertuliskan alamat rumah Paulina.
***
         Tapi Bono masih bersikeras untuk mendapatkan Paulina, sekalipun sudah mengetahui bahwa Paulina punya pacar. Entah mengapa ia merasa tertantang untuk mendapatkan Paulina. Ia berpikir, dengan memberanikan datang ke rumahnya, ia akan memikat hati Paulina sekaligus hati keluarganya. Kini, ia sudah berpakaian rapi dengan kemeja batik lengan pendek bermotif Parang Rusak gaya Yogyakarta—hasil pinjaman temannya. Dengan semangat Veni, Vidi, Vici ia bersiap-siap ke medan pertempuran. Tak lupa ia semprotkan dua kali parfum Bvlgari Aqua ke badan dan sekitar ketiaknya sebelum berangkat. Malam itu, ia berjalan kaki menuju rumah Paulina. Ketika memasuki kawasan kompleks rumahnya, ia menyiulkan lagu What a Wonderful World Louis Armstrong seperti pertama kali bertemu Paulina di jalan itu.
Tiba di halaman rumah Paulina, orang-orang bersorban dan berpeci dengan pakaian muslim tampak berhamburan keluar rumahnya. Beberapa orang bersalaman tangan dengan tuan rumah. Bono yang keheranan segera menghampiri Paulina yang berdiri kacak-pinggang dengan wajah masam.
Tahlilannya udah selesai!” ucap Paulina dengan nada ketus sehingga Bono terperanjat. Lantas Bono melihat jam tangannya. Ternyata, sampai saat itu jarum jam masih menunjukkan pukul 19:07, entah waktu Indonesia mana.
Sial, jam gue ngaco! sesal Bono dalam hati.


Senja hari, 31 Maret 2013
Designed By Blogger Templates