CAFE BUDAYA GEMA FAJAR

Sabtu, 27 Juni 2015

PUASA SEBAGAI MEDIA UNTUK "MENJADI TUHAN": MERENUNGI SYAHADAT DALAM KONTEKS BULAN SUCI RAMADHAN

Oleh: Gema Kertanegara


Syahadat: kesaksian hati, bahwa tiada tuhan selain Allah.

Apa yg dimaksud dengan Tuhan?
Tuhan: pengendali alam raya
Tuhan: Zat yg wajib disembah.

Seorang yg mengucapkan dua kalimat syahadat, Hakikatnya dia merupakan subjek Allah yang disaksikan dan menyadari adanya Zat yg menyaksikan. Ini berarti dia mengakui eksistensinya yg lemah di hadapan Allah. Tertanam di hatinya kebesaran Allah dan kelemahan manusia, dan dia menuai rasa percaya diri karena merasa Allah selalu bersamanya. Rasulullah menegaskan bahwa pembaharuan iman dapat dilakukan dengan memperbanyak dua kalimat syahadat (“Perbarui iman kalian (dengan) perbanyak dua kalimat syahadat”).

Kapan kita bersaksi/berkenalan dengan Allah? Yakni, ketika manusia dalam proses akan diciptakan.
Manusia terdiri atas jasad dan jiwa. Jiwa itu bersifat potensi, namun untuk aktual dia membutuhkan jasad (badan). Sementara jasad sebagai reseptif. Mulla Sadra menganalogikan jiwa dan jasad ibarat perahu (jasad) dan juru kemudi (jiwa). Tanpa juru kemudi, mustahil perahu dapat bergerak. Sebab, jasad tanpa jiwa tak ubahnya benda mati. Kemudian, menjelang perpaduan di antara keduanya, jiwa dan jasad (dalam rahim ibu), pada saat itulah Tuhan mengambil syahadat (persaksian/sumpah). Jiwalah yang saat itu diminta untuk bersyahadat, lantaran jiwa (al-nafs) berada di alam ruh sebagai bentuk keadaan yang serba ghaib. Hal ini diabadikan Quran dalam Surat al-A’raf ayat 172.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):

“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” (alastu birobbikum?)
Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi" (Qola: bala syahidna).

Maka, sesungguhnya kita pernah mengucapkan syahadat, jauh sebelum kita “turun gunung” ke alam materi (dunia). Hanya saja, jasad (badan) menjadi hijab/penghalang pengetahuan ini ketika kita di dunia. Adapun pengetahuan ini akan kita ketahui kembali secara tersingkap (mukasyafah) ketika kita meninggal dunia.

Setelah memahami hakikat bersyahadat, lalu bagaimana menyikapi tindakan puasa?

Sebagai muslim sejati, syahadat merupakan tonggak utama dalam melakukan tiap-tiap ibadah yang telah disyariatkan. Dengan syahadat pula, sesorang telah dikatakan sebagai muslim. Syahadat berarti teguh akan Allah sebagai Yang Tunggal, dan Muhammad sebagai Nabi terakhir. Dengan syahadat, setiap ibadah yang dijalankan dianggap memenuhi syarat dan sempurna. Demikian halnya dengan puasa, yang diwajibkan Tuhan atas hambanya, dilandasi dengan keyakinan sempurna terhadap tauhid yang diajarkan Nabi Muhammad Saw.

Di atas, telah disebut bahwa badan/jasad ini adalah hijab (penghalang) diri dalam menyaksikan realitas selain alam materi (realitas selain dunia). Selain itu, jasad juga menjadi hijab dalam melakukan aktivitas positif. Tuhan telah menanamkan hawa napsu dalam kodrat manusia. Namun, Tuhan juga hendak hambanya menyempurnakan diri dengan lakon puasa, sebagai jalan menahan diri dari hawa napsu. Maka, diperlukan adanya tindakan dalam menahan segala hawa napsu yang mengkungkung kita sebagai manusia. Sebab, karena jasadlah manusia harus memiliki syahwat (keinginan) yang kadang tiada batas dan tak pernah puas. Jasad pula yang membuat jiwa terhalang dalam pemurnian substansinya. Oleh sebab itu, puasa harus dilakukan untuk melatih ruhani dalam memeroleh kesucian dan dengannya kita melakukan katarsis. Hal tersebut sejalan dengan puisi Jalaluddin Rumi berikut: 

PUASA MEMBAKAR HIJAB

Rasa manis yang tersembunyi,
Ditemukan di dalam perut yang kosong ini!
Ketika perut kecapi telah terisi,
ia tidak dapat berdendang,
Baik dengan nada rendah ataupun tinggi.
Jika otak dan perutmu terbakar karena puasa,
Api mereka akan terus mengeluarkan ratapan dari dalam dadamu.
Melalui api itu, setiap waktu kau akan membakar seratus hijab.
Dan kau akan mendaki seribu derajat di atas jalan serta dalam hasratmu.


Dalam sebuah hadis qudsi, Allah barita’ala berfirman: “Asshaumu li, wa ana ajzi bihi” (puasa itu milikku, dan aku akan membalasnya). Maksudnya, puasa yang kita lakukan adalah hak Allah yang wajib kita lakukan (puasa itu milikku), dan puasa merupakan wujud kehambaan kita terhadap Allah.

Allah adalah Zat Mahakuasa yang tidak makan dan tidak minum. Maka, puasa merupakan media bagi kita untuk “menjadi Tuhan”. Artinya, merasakan lapar dan haus itu adalah media kita untuk lebih mempersiapkan (isti’dad) wadah diri kita untuk menerima manifestasi (tajalli) Tuhan. Setiap wadah tajalli Tuhan berbeda-beda level dan kualitasnya dalam tiap-tiap diri manusia. Oleh sebab itu, wadah tajalli diri kita pasti akan memiliki level yang berbeda dengan wadah tajalli orang lain. Al-Hallaj, misalnya, yang menyatakan “Ana al-Haqq”, atau Syeikh Siti Jenar (manunggaling kawulo gusti).

Dan sebagai hambanya kita harus menyempurnakan kesiapan diri untuk menerima nama-nama Tuhan yang baik (Asma al-Husna). Hal inilah yang kelak membedakan kita sebagai manusia dengan makhluk lainnya. Sebagai ciptaan-Nya yang paling sempurna, kita, sebagai manusia berpotensi mengembangkan diri sebagai manifestasi Tuhan dengan cara meningkatkan kualitas ilmu, ibadah, pribadi, toleransi, tenggang rasa, dan rasa saling tolong-menolong.

Dengan demikian, memulai syahadat akan menyempurnakan kesadaran kita, untuk siapa kita berpuasa. Salam



Jakarta, 26 Juni 2015



Share This

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By Blogger Templates