Oleh: Gema Kertanegara
Syahadat: kesaksian hati, bahwa tiada tuhan selain Allah.
Apa yg dimaksud dengan Tuhan?
Tuhan: pengendali alam raya
Tuhan: Zat yg wajib disembah.
Seorang
yg mengucapkan dua kalimat syahadat, Hakikatnya dia merupakan subjek
Allah yang disaksikan dan menyadari adanya Zat yg menyaksikan. Ini
berarti dia mengakui eksistensinya yg lemah di hadapan Allah. Tertanam
di hatinya kebesaran Allah dan kelemahan manusia, dan dia menuai rasa
percaya diri karena merasa Allah selalu bersamanya. Rasulullah
menegaskan bahwa pembaharuan iman dapat dilakukan dengan memperbanyak
dua kalimat syahadat (“Perbarui iman kalian (dengan) perbanyak dua
kalimat syahadat”).
Kapan kita bersaksi/berkenalan dengan Allah? Yakni, ketika manusia dalam proses akan diciptakan.
Manusia
terdiri atas jasad dan jiwa. Jiwa itu bersifat potensi, namun untuk
aktual dia membutuhkan jasad (badan). Sementara jasad sebagai reseptif.
Mulla Sadra menganalogikan jiwa dan jasad ibarat perahu (jasad) dan juru
kemudi (jiwa). Tanpa juru kemudi, mustahil perahu dapat bergerak.
Sebab, jasad tanpa jiwa tak ubahnya benda mati. Kemudian, menjelang
perpaduan di antara keduanya, jiwa dan jasad (dalam rahim ibu), pada
saat itulah Tuhan mengambil syahadat (persaksian/sumpah). Jiwalah yang
saat itu diminta untuk bersyahadat, lantaran jiwa (al-nafs) berada di
alam ruh sebagai bentuk keadaan yang serba ghaib. Hal ini diabadikan
Quran dalam Surat al-A’raf ayat 172.
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman):
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” (alastu birobbikum?)
Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi" (Qola: bala syahidna).
Maka,
sesungguhnya kita pernah mengucapkan syahadat, jauh sebelum kita “turun
gunung” ke alam materi (dunia). Hanya saja, jasad (badan) menjadi
hijab/penghalang pengetahuan ini ketika kita di dunia. Adapun
pengetahuan ini akan kita ketahui kembali secara tersingkap (mukasyafah) ketika kita meninggal dunia.
Setelah memahami hakikat bersyahadat, lalu bagaimana menyikapi tindakan puasa?
Sebagai
muslim sejati, syahadat merupakan tonggak utama dalam melakukan
tiap-tiap ibadah yang telah disyariatkan. Dengan syahadat pula, sesorang
telah dikatakan sebagai muslim. Syahadat berarti teguh akan Allah
sebagai Yang Tunggal, dan Muhammad sebagai Nabi terakhir. Dengan
syahadat, setiap ibadah yang dijalankan dianggap memenuhi syarat dan
sempurna. Demikian halnya dengan puasa, yang diwajibkan Tuhan atas
hambanya, dilandasi dengan keyakinan sempurna terhadap tauhid yang
diajarkan Nabi Muhammad Saw.
Di atas, telah disebut bahwa
badan/jasad ini adalah hijab (penghalang) diri dalam menyaksikan
realitas selain alam materi (realitas selain dunia). Selain itu, jasad
juga menjadi hijab dalam melakukan aktivitas positif. Tuhan telah
menanamkan hawa napsu dalam kodrat manusia. Namun, Tuhan juga hendak
hambanya menyempurnakan diri dengan lakon puasa, sebagai jalan menahan
diri dari hawa napsu. Maka, diperlukan adanya tindakan dalam menahan
segala hawa napsu yang mengkungkung kita sebagai manusia. Sebab, karena
jasadlah manusia harus memiliki syahwat (keinginan) yang kadang tiada
batas dan tak pernah puas. Jasad pula yang membuat jiwa terhalang dalam
pemurnian substansinya. Oleh sebab itu, puasa harus dilakukan untuk
melatih ruhani dalam memeroleh kesucian dan dengannya kita melakukan
katarsis. Hal tersebut sejalan dengan puisi Jalaluddin Rumi berikut:
PUASA MEMBAKAR HIJAB
Rasa manis yang tersembunyi,
Ditemukan di dalam perut yang kosong ini!
Ketika perut kecapi telah terisi,
ia tidak dapat berdendang,
Baik dengan nada rendah ataupun tinggi.
Jika otak dan perutmu terbakar karena puasa,
Api mereka akan terus mengeluarkan ratapan dari dalam dadamu.
Melalui api itu, setiap waktu kau akan membakar seratus hijab.
Dan kau akan mendaki seribu derajat di atas jalan serta dalam hasratmu.
Dalam sebuah hadis qudsi, Allah barita’ala berfirman: “Asshaumu li, wa ana ajzi bihi”
(puasa itu milikku, dan aku akan membalasnya). Maksudnya, puasa yang
kita lakukan adalah hak Allah yang wajib kita lakukan (puasa itu
milikku), dan puasa merupakan wujud kehambaan kita terhadap Allah.
Allah
adalah Zat Mahakuasa yang tidak makan dan tidak minum. Maka, puasa
merupakan media bagi kita untuk “menjadi Tuhan”. Artinya, merasakan
lapar dan haus itu adalah media kita untuk lebih mempersiapkan
(isti’dad) wadah diri kita untuk menerima manifestasi (tajalli)
Tuhan. Setiap wadah tajalli Tuhan berbeda-beda level dan kualitasnya
dalam tiap-tiap diri manusia. Oleh sebab itu, wadah tajalli diri kita
pasti akan memiliki level yang berbeda dengan wadah tajalli orang lain.
Al-Hallaj, misalnya, yang menyatakan “Ana al-Haqq”, atau Syeikh Siti
Jenar (manunggaling kawulo gusti).
Dan sebagai hambanya
kita harus menyempurnakan kesiapan diri untuk menerima nama-nama Tuhan
yang baik (Asma al-Husna). Hal inilah yang kelak membedakan kita sebagai
manusia dengan makhluk lainnya. Sebagai ciptaan-Nya yang paling
sempurna, kita, sebagai manusia berpotensi mengembangkan diri sebagai
manifestasi Tuhan dengan cara meningkatkan kualitas ilmu, ibadah,
pribadi, toleransi, tenggang rasa, dan rasa saling tolong-menolong.
Dengan demikian, memulai syahadat akan menyempurnakan kesadaran kita, untuk siapa kita berpuasa. Salam
Jakarta, 26 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar