1. Pengarang dan
Peluang
Dewasa
ini, frekuensi apresiasi sastra tampaknya makin meningkat. Sejumlah
media massa dan badan penerbitan swasta kian marak menerbitkan karya
sastra para pengarang tersohor, baik dari karya terjemahan maupun
lokal. Seiring dengan hal tersebut, jumlah pengarang muda di
Indonesiapun makin banyak dan berkembang. Bahkan, diyakini bahwa
jumlah para pengarang muda kini melewati jumlah selebritas Indonesia.
Sebut saja penyair Asrizal Nur, Ramses Sihar Simatupang, M.H. Hamdan,
Nirwan Dewanto, Agus R. Sarjono, dan novelis Andrea Hirata. Selain
itu, dengan berbagai latar belakang pendidikan, sosial, dan budaya,
para pengarang muda mulai bermunculan di jagat kesusasteraan. Kita
mengingat Taufiq Ismail dengan latar belakangnya di bidang kedokteran
hewan. Andrea Hirata di bidang eksakta, serta Goenawan Moehamad di
bidang Psikologi. Hal tersebut patut dibanggakan, sebab hal ini
membuktikan bahwa jagat sastra kita dapat diibaratkan sebagai
pelabuhan, yang dapat dijadikan persinggahan bagi bermacam jenis
kapal.
Kumpulan
puisi Jakarta dalam Kertas (diterbitkan pada medio 2012, oleh
Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia-Gem), yang
ditulis oleh dua puluh empat mahasiswa Universitas Nasional dari
jurusan yang bervariatif di mana mereka menimba ilmu. Mulai dari
mahasiswa Bahasa dan Sastra (Indonesia, Inggris, dan Jepang). Di
sini, mahasiswa Bahasa dan Sastra baik Jepang maupun Inggris unjuk
kebolehannya menulis puisi dalam bahasa asing yang mereka pelajari.
Selain itu, ada juga mahasiswa Ilmu Sosial dan Politik, bahkan hingga
ke mahasiswa Teknik Informatika yang aktivitasnya identik bergulat
dengan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak
(software). Tapi, sebaiknya kehadiran para penyair muda ini
tidak berhenti sampai di titik ini. Dengan bakat menulis yang ada,
akan lebih bagus kepengarangan mereka berlanjut ke tahap yang lebih
tinggi agar eksistensi mereka di jagat sastra tetap bertahan, sejalan
dengan yang dikatakan oleh Drs. Abdul Rozak Zaidan, M. Hum., dalam
Kata Pengantar buku ini, “Kita sambut kumpulan sajak itu,
sebagai janji bahwa mereka akan lebih menajamkan pena”. Meskipun demikian, kehadiran antologi ini memang harus disambut baik,
mengingat inisiatif mereka dalam menerbitkannya didasari dengan
motivasi yang kuat. Dengan mencurahkan pikiran dan perasaan, waktu,
serta tenaga, kini buku ini telah hadir.
Memang,
apresiasi sastra saat ini menunjukkan perkembangannya, setidaknya
terbukti dari maraknya apresiasi sastra. Akan tetapi, tampaknya
pemerintah serta lembaga kesenian maupun kebudayaan kurang
memperhatikan perkembangan ini, dan cenderung miskin apresiasi.
Banyak pengarang bermunculan, namun mereka belum mendapatkan wadah
untuk mencurahkan apresiasinya. Tidak sedikit dari mereka yang
memiliki potensi besar dalam kepengarangan, terbentur oleh hegemoni
penerbit dengan seleksinya yang cukup ketat. Sementara itu, hadiah
sayembara penulisan karya sastrapun tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Malahan, nominal rupiah yang didapatkan oleh juara tarik
suara, boyband, dan unjuk bakat di layar televisi, cenderung
lebih besar ketimbang hadiah sastra. Maka, banyak pengarang muda
berbakat yang beralih profesi karena gencatan ekonomi, dengan
mengabaikan bakatnya secara perlahan. Oleh karena itu, akan ada
baiknya bila pemerintah dan kelembagaan turut andil dalam rangka
mengembangkan potensi pengarang-pengarang muda yang hadir. Misalnya,
menyiapkan wadah bagi siapapun penikmat sastra agar diberikan
kesempatan untuk menerbitkan karya mereka, ditambah dengan honor yang
mampu menyejahterakan kehidupan pengarang agar rangsangan untuk terus
berkarya tidak mati. Dengan demikian, motivasi kepengarangan mereka
akan terpacu, dan kualitas plus produktivitas penulisannya pun tidak
lagi diragukan.
Bertalian
dengan hal di atas, bukan berarti kehadiran para pengarang ini lepas
dari penilaian. Sejauh ini, banyak pengarang yang baru bermunculan
namun tidak sedikit karya mereka masih bertolak pada
pengarang-pengarang terdahulu. Maka, tak urung kita melihat Chairil
Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, atau Ramadhan K.H., dalam wajah baru.
Mereka beranggapan, dengan mengikuti jejak-jejak penyair terdahulu
karya mereka mampu menembusi hegemoni penerbit tadi. Boleh saja,
mereka mengikuti jejak penyair terdahulu untuk dijadikan sebagai
acuan model berkarya. Bahkan, justru mereka dianjurkan untuk membaca
karya-karya besar baik dari dalam maupun luar negeri dalam rangka
memperkaya khazanah kesusasteraan mereka. Akan tetapi, amat
disayangkan bila eksistensi mereka tidak bertahan lama lantaran lalai
dalam mengembangkan bakat menulisnya sendiri.
Sehubungan
dengan hal tersebut, ada beberapa hal yang meski diperhatikan oleh
para penyair itu guna memeroleh kans dalam kesusasteraan. Karenanya,
ada baiknya mereka memahami metode-metode puisi, meskipun tidak
secara mendalam. Setidaknya, mereka menyempatkan diri membaca ihwal
diksi (pilihan kata), rima, imaji, dan permainan bahasa. Dengan
demikian, kehadiran mereka di jagat sastra tidak hanya sekadar eksis,
tetapi juga aktif menulis. Dalam hal ini, Saya sejalan dengan
pernyataan Sapardi Djoko Damono yang mengujarkan, bahwa Puisi yang
baik tidak ditentukan oleh apa adanya, melainkan oleh
bagaimana adanya.
2. Jakarta
dalam Kertas (JDK): dari
London ke Perpustakaan Sastra
untuk mengetahui
pandangan dunia si penyairnya, maka dalam hal ini akan dikemukakan
beberapa puisi perwakilan dalam antologi JDK, para penyair dari
Universitas Nasional. Dari beberapa puisi yang dimuat oleh JDK,
tampak sejumlah penyair yang sudah berani bermain pencitraan dan
pelukisan. Berikut kutipan puisi yang berjudul London, Musim
Panas, 1868 (Dimas, JDK, 2012).
Whitecapel,
Crystal Palace, Portsmouth
hobinya
memang menjemput maut
cerdas
bagai kancil, lincah seperti kelinci
dan
tak pernah ragu.
puisi ini mewakili
kegairahan si penyairnya dalam mencipta. Visualisasinya kuat, dan
memiliki keberanian kiasan. Di situ terdapat tiga nama tempat yang
terletak di negara Inggris. Crystal Palace merupakan simbol
pengembangan teknologi dari revolusi industri, sementara Portsmouth
merupakan kota bersejarah terbesar kedua di pantai selatan Inggris.
Dari wilayah yang disebutkan, sepertinya yang menjadi kunci dalam
puisi ini adalah Whitechapel. Dalam buku ini tertulis Whitecapel
(mungkin maksudnya Whitechapel. Sebab tidak ada di London yang
namanya Whitecapel tanpa huruf “h”pada kata “capel”-Gem)
dan cara pengucapannya pun akan berbeda. Dalam hal ini, peran petugas
editor dibutuhkan agar tidak melalaikan hal-hal kecil, terlebih kata
itu dapat memberikan informasi.
Wahitechapel adalah
sebuah distrik di kawasan kumuh, di London, Inggris. Di latar waktu
dan tempat inilah pada 1888 si pembunuh berantai Jack The Ripper
terkenal dengan aksi pembunuhannya yang kontroversif. Menjelang akhir
era Victoria, Whitechapel memang terkenal sebagai sarang kriminal. Di
samping itu, kawasan ini juga merupakan cerminan gelap dari
perampokan, kekerasan, prostitusi, kemiskinan, rumah-rumah kumuh, dan
orang-orang yang suka bermabukan di jalan-jalan.
Latar belakang penyair
yang menempuh pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris ini,
memungkinkannya untuk mendapatkan informasi mengenai budaya Inggris
dari berbagai literatur yang sudah dibacanya. Si penyair tidak hidup
di London, apalagi pada tahun 1868. namun, pengalaman rohaninya
mengenai London (buku bacaan, dsb.) cukup menjadi acuan bagi
terciptanya sebuah karya. Sejalan dengan hal itu, Shakespeare pun
membuat drama yang berjudul The Tragedy of Julius Caesar yang
ia tulis pada 1599. Shakespeare yang hidup di zaman renaisans tidak
pernah bertemu dengan Julius Caesar secara langsung, yang masa
kekuasaan imperiumnya sekitar tahun 49 SM. Bahkan zaman mereka
terpaut ratusan tahun. Namun mereka bertemu dalam pengalaman rohani
yang dibaca Shakespeare atas literatur mengenai Caesar.
apa yang dia pikirkan?
Akupun tak tahu. Gadis
itukah?
Dengan Bonnet menutupi
wajah cantik
dan mata indahnya
wanginya
harum seperti sabun
bahkan tercium oleh
lelaki tua rabun
ke mana perginya
berandal Irlandia itu?
yang selalu
memperlakukannya bak ratu.
King Cross akan menjadi
gerbang
Trafalgar Square akan
menjadi panggung
bintang-bintang Trapeze
akan terjungkal
dari batang kayu mereka
masing-masing
aang
pemuda akan bangkit dari kuburnya
membungkam Scotland
Yard yang angkuh
atas nama nisan ibunya
dia bersumpah.
Kemudian, di bait
terakhir tampak masih ada relevansinya dengan bait sebelumnya, yakni
si penyair masih berfantasi liar di dunia gelap tadi. Kata-kata
pemuda akan bangkit dari kuburnya/membungkam Scotland Yard yang
angkuh sedikit memberi informasi mengenai fenomena sosial yang
terjadi pada masa itu. Seperti dalam catatan sejarah, Scotland Yard
atau The Yard merupakan markas besar polisi yang bertugas menjaga
keamanan di wilayah Greater London (Metropolitan Police
Service). Seolah, kesan “teror” sudah bermunculan dari
semacam orang-orang seperti Jack the Ripper. Akan tetapi, teror yang
diterima oleh Scotland Yard baru memanas pada 1888, bukan di 1868.
bahkan, Jack The Ripper pun diyakini mulai aktif pada 1888. Surat
kaleng yang berjudul From
Hell, yang diterima oleh
Komite Kewaspadaan Whitechapel berisi ginjal manusia yang diduga
milik salah satu korban pembunuhan, diterima pada 1888. Bahkan,
serangkaian fenomena kasus Pembunuhan
Whitechapel yang terkenal itu, baru
merebak pada April 1888 hingga tahun 1891, yang sering terjadi di
bilangan East End, Berner Street, dan Mitre Square. Sementara itu,
peristiwa besar yang terjadi di tahun 1868 di London adalah mulai
dipasangnya lampu lalu lintas pertama kalinya dalam sejarah.
Kemudian, dibukanya Terusan Suez oleh Napoleon III, pada 1869, yang
menghubungkan Laut Tengah dengan Samudera Hindia. Atau malah, tahun
1868 itu dunia lebih dihebohkan oleh Restorasi Meiji di Jepang.
Meskipun
demikian, pengalaman rohani penyair ini patut diacungi jempol.
Mengingat semangat jiwa mudanya yang masih meluap-luap, teknik
eksplorasinya yang jauh dan cukup mendalam masih jarang terdapat pada
puisi-puisi pengarang lain. Hal ini, kiranya yang menjadi ciri khas
si penyair. Namun, perlu diperhatikan bahwa, ciri khas itu bukanlah
terletak pada deskripsi dari puisinya yang panjang lebar dan banyak
menggunakan istilah-istilah asing, melainkan ia memiliki kecakapan
dalam menyelaraskan antara bahasa dan luapan ekspresinya, dan juga
memiliki ketajaman penggunaan diksi dalam penulisannya.
Di sisi lain, untuk
kedua kalinya petugas editor dari antologi puisi JDK ini melalaikan
hal-hal yang kiranya sepele. Kata yang digarisbawahi dan dicetak
tebal (“aang”, pada halaman 24) menimbulkan kerancuan. Di
sini, pembaca bisa menebak-nebak, apakah maksudnya “dan”, “yang”,
“sang”, “gang”, atau lebih parah lagi “bang”. Sebaiknya
kerancuan seperti ini kelak dapat dihindari, agar tidak dicap sebagai
puisi centang-perenang.
Berbeda dengan penyair
sebelumnya, dalam puisi berikut Saya kutip puisi yang berjudul
Perpustakaan Sastra yang masuk ke ranah pikiran dan perasaan.
(Cahyo, JDK, 2012)
di perpustakaan
sastra
sebuah tombol enter
menjelaskan
jika nasibnya tidak
selalu menyenangkan
….........................................................
bait pertama yang
digarisbawahi secara tegas menggambarkan suatu latar tempat, yakni
perpustakaan sastra. Di situ ditulis bahwa tombol enter (mungkin pada
laptop untuk ukuran mahasiswa dewasa ini-Gem) nasibnya
tidak selalu menyenangkan.
baru sadar mencoba
bangkit
datang lagi wabah
penyakit
lebih dahsyat dari
sebelumnya
dia adalah ketua
himpunan
bersama gerombolan
pasukannya
main game perang
Amerika
tembak, tembak,
tembak
bunuh, bunuh, bunuh
pencet enter
terus-menerus
enter langsung
terbunuh.
tombol enter tidak bisa
kehilangan nyawa
makanya dia bangkit lagi
harus ketemu sama
peneliti yang mau buat skripsi
tentang karya sastra di
ujung dunia
si peneliti pusing
sendiri jadinya
pikiran melayang ke
mana-mana
frustasi dan
marah-marah enter dimaki
katanya enter tidak
berfungsi
bikin si peneliti hilang
konsentrasi
sidang ditunda
setahun lagi.
Kata-kata yang
dimiringkan, seolah menunjukkan bahwa penyairnya mempertimbangkan
fungsi keberadaan perpustakaan dan tombol enter (yang terdapat di
laptop), yang justru malah dijadikan sebagai tempat bermain
game. Dikatakan bahwa para “mahasiswa gamer” di
perpustakaan tersebut diibaratkan sebagai wabah penyakit.
Terlebih, yang memainkan gamenya tersebut adalah seorang ketua
himpunan. Di sini kita bisa menangkap, bahwa seorang pemimpin yang
tidak memberikan teladan yang baik, maka akan berdampak buruk bagi
orang-orang terdekat atau pengikutnya (dia adalah ketua
himpunan/bersama gerombolan pasukannya), sehingga kehadiran
gerombolan tersebut dianggap mengganggu kenyamanan pengguna
perpustakaan yang lain.
Tampaknya si penyair ini
mengangkat tema berdasarkan kepekaannya terhadap lingkungan sekitar
dan cenderung bernada protes. Cuma, diwujudkan dalam arus kesadaran
(stream of consciousness). Menurut Zaidan (1994:36)
stream of consciousness merupakan pengaliran pikiran dan
perasaan dalam batin tokoh yang agaknya tanpa logika yang jelas.
Untuk menciptakan efek kesinambungan pikiran dan perasaan yang
berpindah-pindah dari satu tema ke tema yang lainnya, penulis
menyajikan campuran pikiran, perasaan, dan kesan-kesan inderawi
sekaligus. Hal ini tampak pada bait terakhir di mana lukisan
pertentangan jiwanya dengan si “enter” meluap. Hanya saja, amat
disayangkan apabila gara-gara si peneliti
pusing/marah-marah/frustasi, menyebabkan sidang
(skripsi-Gem) ditunda setahun lagi.
Jadi, seolah terkesan kehadiran gerombolan itu memberikan
pengaruh buruk hingga eksistensi si peneliti dikalahkan. Di saat para
gerombolan sukses bermain game di perpustakaan, si peneliti
justru gagal melakukan penelitian. Inilah ironi yang disayangkan.
Sementara itu,
puisi-puisi penyair yang lain bagai menyuarakan protes hingga ke
potret sosial. Berikut kutipan puisi yang berjudul Jakarta Dalam
Kertas
apa kita juga masih
butuh kertas-kertas ini
sebagai pembungkus
kacang?
teman kita di depan
layar besar?
menyaksikan si bapak
yang mendorong
kendaraannya di genangan banjir
menyaksikan si anak
yang membuang sampah di
bantaran kali. (Ikkey, JDK, halaman 8)
Kemudian, tercermin juga
dalam puisi berjudul Kutil berikut (Ari Murti, JDK,
halaman 35)
kutil-kutil,
kau ini bagai parasit,
sama halnya dengan
manusia-manusia korup
yang hidupnya selalu
bergantung pada masyarakat.
Memang dasar kutil,
selalu saja kau susahkan
orang,
apa hanya itu hobimu?
Selain itu, ada sejumlah
penulis perempuan, dengan bakat menulis yang ada cukup berani
bermain di aliterasi, seperti dalam puisi Bandul Pemutar Waktu
berikut (Irinne, JDK, halaman 5)
kini bagai musisi yang
kehilangan baitnya
dan bagai vokalis yang
kehilangan pita suaranya
bandul itupun telah
kehilangan akalnya.
…...........................................................
takkan bisa
mengembalikan lajunya kembali, kini tinggal sebuah bandul yang mati.
Perhatikan pula kutipan
puisi Gelisah berikut (Nhunaiya, JDK, 14)
aku masih mencari kokoh
batu karang
untuk sembunyi dan
bersandar
melindungi hati dari
ombak gelisah jiwa
aku perlu menggenggam
sejumput kenangan manis
yang barangkali mampu
menguatkanku
untuk terus melangkah di
keruh dunia.
Kedua penulis perempuan
di atas masih “diperkaya” dengan kata-kata pesimis (kini bagai
musisi yang kehilangan baitnya/takkan bisa mengembalikan lajunya
kembali, kini tinggal sebuah bandul yang mati). Kemudian,
(sembunyi dan bersandar/ombak gelisah jiwa/perlu menggenggam
kenangan manis). Seolah, si penyair tidak percaya pada diri
sendiri bahwa ia mampu melakukan sesuatu. Ia merindukan sosok yang
kokoh bagai batu karang, itupun untuk
bersembunyi dan bersandar, bukan untuk memperkuat si aku lirik
yang tengah gelisah jiwanya.
Walaupun begitu,
ketangkasan imajinasi mereka dapat dikatakan cukup baik untuk segi
pembelajaran. Di samping itu, juga diketahui betapa para penyair ini
begitu sangat dalam terlibat dengan masalah yang mereka tulis. Oleh
karena pengaruh cipta karya itu tak lepas dari pribadi pengarangnya,
maka sebaiknya ketajaman mereka dalam menulis perlu terus-menerus
diasah. Hal yang memacunya untuk aktif menulis puisi ialah bagaimana
perasaan, pengalaman, dan kata hatinya terungkap dalam puisi secara
totalitas agar memuaskan. Sejalan dengan yang dikatakan Subagio
Sastrowardoyo (1997:vii), bahwa karya-karya yang terserak di dalam
majalah atau kumpulan sajak merupakan persaksian
pengalaman-pengalamannya, terutama pengalaman batinnya, yang mengacu
kepada kepribadiannya.
Berhubungan dengan hal di atas, tidak berarti karya mereka
dituntut harus mengikuti “apa kata orang”. Akan tetapi, diharapkan para penyair
tersebut ke depannya akan memberikan yang lebih baik lagi demi kemajuan jagat
sastra kita. Dengan demikian, peluang akan semakin luas, dan pengarang akan
semakin dipandang.
Salam
Daftar Rujukan
Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia. 2012. Antologi
Puisi Himasina: Jakarta dalam Kertas. Jakarta: Penerbit Progdi Bahasa dan
Sastra Indonesia.
Sastrowardoyo, Subagyo. 1997. Sosok Pribadi dalam Sajak.
Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.
Zaidan, Abdul Rozak, dkk. Kamus Istilah Sastra.
Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.