CAFE BUDAYA GEMA FAJAR

Rabu, 30 Januari 2013

SETELAH KAUTEBAS ALIF

Dengan lantang kau getarkan arasy-Nya
Mencoba patahkan Alif
Seraya tertawa dalam kegelapan
lantaran nur-Nya, dalam dirimu, telah padam

Duri yang kautabur telah begitu akrab denganku
mencengkeram dan hinggap tanpa sudi berlalu
sementara negeri-negeri yang kita bangun dengan ikrar dan ayat-ayat suci
kini roboh, membusuk dalam sunyi.
Namun, apa yang harus dipertahankan
Bila azabmu tak tertahankan lagi?
Sedang minpi-mimpi kian berlapis, dan takkan henti-henti.
Hingga zat-Nya nitis, dalam hatimu sendiri.

Beribu kalipun kautebas alif,
tiangnya akan tetap berdiri kokoh dengan arif
hingga setiap kedamaian dan nikmat gairah
kelak seluruhnya akan berangus
Pada ayat akhir Al-waqi’ah.

Pasar Minggu, Oktober 2012

Selasa, 29 Januari 2013

SEIKAT KADO PUISI

Buat: Rembulan Jingga

Seperti dulu,
tanpa Ruby, Zamrud, atau Permata,
yang dikirim saat menyambut hari istimewa
hanya guratan pena
dan sejumlah baris kata yang berserakan di meja.

Seperti dulu,
tampak masih sunyi di teras rumahmu
kecuali simfoni Vivaldi yang mengalun syahdu
entah, siapa yang memainkannya di tengah senja yang terbengkalai
Sementara pesta ulang tahun belum juga dimulai.

Seperti setahun yang lalu,
kini dia melangkah lagi ke satu anak tangga baru
menuju jatah umurnya yang tengah menunggu
dan takkan pernah ada yang tahu pasti,
bagaimana jadinya diary itu dirangkum esok hari.

Usia bagai padi di sawah: ketika panen ia rekah
dan ketika makin berisi, ia menunduk layu ke bawah.

Matraman, 7 Januari 2013

HARI EKSEKUSI

di tengah kerumunan orang Ia berlari
setelah mengunyah pinang dan sarapan pagi 
 
      Di antara rumah-rumah yang berdiri di atas bebukitan,
    kini aku menyaksikan
masyarakat yang tumbuh-berkembang di atas semen dan beton
          nun di lepas pantai,
kulihat anak-anak bocah membuat mainan perahu dari karton.
       Teluk yang tenang,
di tengah angin yang meradang
               lantas kuhampiri kau,
wahai ombak yang gemilang memecah karang!
           dan pertemuan kita,
      adalah sebuah memorabilia Ortis dan Neyra
di pulau yang terpisah dengan New Guinea.

Mobil dengan sirine meraung mendahului
diikuti iringan kendaraan TNI dan Polri.
Kemudian tersiar kabar:
Pemimpin OPM ditembak mati
setelah mengunyah pinang dan sarapan pagi!

Abepura, Jayapura, Kotaraja, 2012

KOMENTAR TERBUKA ATAS LUKISAN "LE CHAPEAU BLANC" KARYA JEAN BAPTISTE GREUZE


Oleh Gema Fajar

      Le chapeau Blanc atau Si Topi putih, merupakan salah satu karya Jean Baptiste Greuze (1725-1805), pelukis bergaya French Rococo di abad ke-18. Untuk menggali informasi mengenai lukisan ini, tampaknya perlu juga mengamati lukisan Greuze yang lainnya. Antara lain: The Broken Jug, The Broken Mirror, The Complain of the Watch, Young Girl Weeping for her Dead Bird, A young girl holding a dove, dan Ariadne. 
      Dalam lukisan The Broken Jug, Young Girl Weeping for her Dead Bird, dan a Young Girl Holding a Dove, adalah lukisan dengan potret orang yang sama. Ciri yang menonjol dari ketiga lukisan tersebut adalah seorang perempuan yang mengenakan selendang sutra putih. Sedangkan cirinya yang lain adalah, buah dada bagian kiri yang menyembul dari gaun putihnya. Untuk tambahan, lukisan yang berjudul Ariadne tampak seperti gadis yang dilukis dalam potret sebelumnya, namun kali ini dalam potret yang lebih dewasa. bisa jadi, perempuan yang dilukisnya itu bernama Ariadne. dan yang terakhir adalah lukisan innocence. dari ke semua potret tersebut sama-sama menunjukkan kesedihan. Bunga-bunga yang terburai, kematian burung merpatinya, hancurnya sebuah cermin, tampak seperti unsur yang ingin ditonjolkan Greuze dalam lukisan-lukisan ini, kecuali dalam Le Chapeau Blanc.
    Mungkin, Le Chapeau Blanc adalah puncak kedewasaan Ariadne. sudah tidak ada tanda-tanda kesedihan dalam hidupnya. bahkan, dari pakaian yang dikenakan tampak ia memiliki status soaial yang tak begitu buruk. Bisa jadi, kehadiran Ariadne dalam kehidupan nyata memberikan pengaruh yang begitu besar pada si pelukis. (8/01/2012)

ANTARA PENGARANG DAN PELUANG: SEKELEBAT KRITIK ANTOLOGI PUISI "JAKARTA DALAM KERTAS"

  Oleh Gema Fajar
1. Pengarang dan Peluang
      Dewasa ini, frekuensi apresiasi sastra tampaknya makin meningkat. Sejumlah media massa dan badan penerbitan swasta kian marak menerbitkan karya sastra para pengarang tersohor, baik dari karya terjemahan maupun lokal. Seiring dengan hal tersebut, jumlah pengarang muda di Indonesiapun makin banyak dan berkembang. Bahkan, diyakini bahwa jumlah para pengarang muda kini melewati jumlah selebritas Indonesia. Sebut saja penyair Asrizal Nur, Ramses Sihar Simatupang, M.H. Hamdan, Nirwan Dewanto, Agus R. Sarjono, dan novelis Andrea Hirata. Selain itu, dengan berbagai latar belakang pendidikan, sosial, dan budaya, para pengarang muda mulai bermunculan di jagat kesusasteraan. Kita mengingat Taufiq Ismail dengan latar belakangnya di bidang kedokteran hewan. Andrea Hirata di bidang eksakta, serta Goenawan Moehamad di bidang Psikologi. Hal tersebut patut dibanggakan, sebab hal ini membuktikan bahwa jagat sastra kita dapat diibaratkan sebagai pelabuhan, yang dapat dijadikan persinggahan bagi bermacam jenis kapal.
    Kumpulan puisi Jakarta dalam Kertas (diterbitkan pada medio 2012, oleh Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia-Gem), yang ditulis oleh dua puluh empat mahasiswa Universitas Nasional dari jurusan yang bervariatif di mana mereka menimba ilmu. Mulai dari mahasiswa Bahasa dan Sastra (Indonesia, Inggris, dan Jepang). Di sini, mahasiswa Bahasa dan Sastra baik Jepang maupun Inggris unjuk kebolehannya menulis puisi dalam bahasa asing yang mereka pelajari. Selain itu, ada juga mahasiswa Ilmu Sosial dan Politik, bahkan hingga ke mahasiswa Teknik Informatika yang aktivitasnya identik bergulat dengan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Tapi, sebaiknya kehadiran para penyair muda ini tidak berhenti sampai di titik ini. Dengan bakat menulis yang ada, akan lebih bagus kepengarangan mereka berlanjut ke tahap yang lebih tinggi agar eksistensi mereka di jagat sastra tetap bertahan, sejalan dengan yang dikatakan oleh Drs. Abdul Rozak Zaidan, M. Hum., dalam Kata Pengantar buku ini, “Kita sambut kumpulan sajak itu, sebagai janji bahwa mereka akan lebih menajamkan pena”. Meskipun demikian, kehadiran antologi ini memang harus disambut baik, mengingat inisiatif mereka dalam menerbitkannya didasari dengan motivasi yang kuat. Dengan mencurahkan pikiran dan perasaan, waktu, serta tenaga, kini buku ini telah hadir.
      Memang, apresiasi sastra saat ini menunjukkan perkembangannya, setidaknya terbukti dari maraknya apresiasi sastra. Akan tetapi, tampaknya pemerintah serta lembaga kesenian maupun kebudayaan kurang memperhatikan perkembangan ini, dan cenderung miskin apresiasi. Banyak pengarang bermunculan, namun mereka belum mendapatkan wadah untuk mencurahkan apresiasinya. Tidak sedikit dari mereka yang memiliki potensi besar dalam kepengarangan, terbentur oleh hegemoni penerbit dengan seleksinya yang cukup ketat. Sementara itu, hadiah sayembara penulisan karya sastrapun tidak sesuai dengan yang diharapkan. Malahan, nominal rupiah yang didapatkan oleh juara tarik suara, boyband, dan unjuk bakat di layar televisi, cenderung lebih besar ketimbang hadiah sastra. Maka, banyak pengarang muda berbakat yang beralih profesi karena gencatan ekonomi, dengan mengabaikan bakatnya secara perlahan. Oleh karena itu, akan ada baiknya bila pemerintah dan kelembagaan turut andil dalam rangka mengembangkan potensi pengarang-pengarang muda yang hadir. Misalnya, menyiapkan wadah bagi siapapun penikmat sastra agar diberikan kesempatan untuk menerbitkan karya mereka, ditambah dengan honor yang mampu menyejahterakan kehidupan pengarang agar rangsangan untuk terus berkarya tidak mati. Dengan demikian, motivasi kepengarangan mereka akan terpacu, dan kualitas plus produktivitas penulisannya pun tidak lagi diragukan.
      Bertalian dengan hal di atas, bukan berarti kehadiran para pengarang ini lepas dari penilaian. Sejauh ini, banyak pengarang yang baru bermunculan namun tidak sedikit karya mereka masih bertolak pada pengarang-pengarang terdahulu. Maka, tak urung kita melihat Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, atau Ramadhan K.H., dalam wajah baru. Mereka beranggapan, dengan mengikuti jejak-jejak penyair terdahulu karya mereka mampu menembusi hegemoni penerbit tadi. Boleh saja, mereka mengikuti jejak penyair terdahulu untuk dijadikan sebagai acuan model berkarya. Bahkan, justru mereka dianjurkan untuk membaca karya-karya besar baik dari dalam maupun luar negeri dalam rangka memperkaya khazanah kesusasteraan mereka. Akan tetapi, amat disayangkan bila eksistensi mereka tidak bertahan lama lantaran lalai dalam mengembangkan bakat menulisnya sendiri.
      Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa hal yang meski diperhatikan oleh para penyair itu guna memeroleh kans dalam kesusasteraan. Karenanya, ada baiknya mereka memahami metode-metode puisi, meskipun tidak secara mendalam. Setidaknya, mereka menyempatkan diri membaca ihwal diksi (pilihan kata), rima, imaji, dan permainan bahasa. Dengan demikian, kehadiran mereka di jagat sastra tidak hanya sekadar eksis, tetapi juga aktif menulis. Dalam hal ini, Saya sejalan dengan pernyataan Sapardi Djoko Damono yang mengujarkan, bahwa Puisi yang baik tidak ditentukan oleh apa adanya, melainkan oleh bagaimana adanya.

2. Jakarta dalam Kertas (JDK): dari London ke Perpustakaan Sastra
      untuk mengetahui pandangan dunia si penyairnya, maka dalam hal ini akan dikemukakan beberapa puisi perwakilan dalam antologi JDK, para penyair dari Universitas Nasional. Dari beberapa puisi yang dimuat oleh JDK, tampak sejumlah penyair yang sudah berani bermain pencitraan dan pelukisan. Berikut kutipan puisi yang berjudul London, Musim Panas, 1868 (Dimas, JDK, 2012).


    Whitecapel, Crystal Palace, Portsmouth

 
    hobinya memang menjemput maut

    cerdas bagai kancil, lincah seperti kelinci

  
    dan tak pernah ragu.

      puisi ini mewakili kegairahan si penyairnya dalam mencipta. Visualisasinya kuat, dan memiliki keberanian kiasan. Di situ terdapat tiga nama tempat yang terletak di negara Inggris. Crystal Palace merupakan simbol pengembangan teknologi dari revolusi industri, sementara Portsmouth merupakan kota bersejarah terbesar kedua di pantai selatan Inggris. Dari wilayah yang disebutkan, sepertinya yang menjadi kunci dalam puisi ini adalah Whitechapel. Dalam buku ini tertulis Whitecapel (mungkin maksudnya Whitechapel. Sebab tidak ada di London yang namanya Whitecapel tanpa huruf “h”pada kata “capel”-Gem) dan cara pengucapannya pun akan berbeda. Dalam hal ini, peran petugas editor dibutuhkan agar tidak melalaikan hal-hal kecil, terlebih kata itu dapat memberikan informasi.
      Wahitechapel adalah sebuah distrik di kawasan kumuh, di London, Inggris. Di latar waktu dan tempat inilah pada 1888 si pembunuh berantai Jack The Ripper terkenal dengan aksi pembunuhannya yang kontroversif. Menjelang akhir era Victoria, Whitechapel memang terkenal sebagai sarang kriminal. Di samping itu, kawasan ini juga merupakan cerminan gelap dari perampokan, kekerasan, prostitusi, kemiskinan, rumah-rumah kumuh, dan orang-orang yang suka bermabukan di jalan-jalan.
      Latar belakang penyair yang menempuh pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris ini, memungkinkannya untuk mendapatkan informasi mengenai budaya Inggris dari berbagai literatur yang sudah dibacanya. Si penyair tidak hidup di London, apalagi pada tahun 1868. namun, pengalaman rohaninya mengenai London (buku bacaan, dsb.) cukup menjadi acuan bagi terciptanya sebuah karya. Sejalan dengan hal itu, Shakespeare pun membuat drama yang berjudul The Tragedy of Julius Caesar yang ia tulis pada 1599. Shakespeare yang hidup di zaman renaisans tidak pernah bertemu dengan Julius Caesar secara langsung, yang masa kekuasaan imperiumnya sekitar tahun 49 SM. Bahkan zaman mereka terpaut ratusan tahun. Namun mereka bertemu dalam pengalaman rohani yang dibaca Shakespeare atas literatur mengenai Caesar.

    apa yang dia pikirkan?
    Akupun tak tahu. Gadis itukah?
    Dengan Bonnet menutupi wajah cantik
    dan mata indahnya
    wanginya
    harum seperti sabun
    bahkan tercium oleh lelaki tua rabun
    ke mana perginya berandal Irlandia itu?
    yang selalu memperlakukannya bak ratu.
    King Cross akan menjadi gerbang
    Trafalgar Square akan menjadi panggung
    bintang-bintang Trapeze akan terjungkal
    dari batang kayu mereka masing-masing
    aang pemuda akan bangkit dari kuburnya
     membungkam Scotland Yard yang angkuh
    atas nama nisan ibunya dia bersumpah.

      Kemudian, di bait terakhir tampak masih ada relevansinya dengan bait sebelumnya, yakni si penyair masih berfantasi liar di dunia gelap tadi. Kata-kata pemuda akan bangkit dari kuburnya/membungkam Scotland Yard yang angkuh sedikit memberi informasi mengenai fenomena sosial yang terjadi pada masa itu. Seperti dalam catatan sejarah, Scotland Yard atau The Yard merupakan markas besar polisi yang bertugas menjaga keamanan di wilayah Greater London (Metropolitan Police Service). Seolah, kesan “teror” sudah bermunculan dari semacam orang-orang seperti Jack the Ripper. Akan tetapi, teror yang diterima oleh Scotland Yard baru memanas pada 1888, bukan di 1868. bahkan, Jack The Ripper pun diyakini mulai aktif pada 1888. Surat kaleng yang berjudul From Hell, yang diterima oleh Komite Kewaspadaan Whitechapel berisi ginjal manusia yang diduga milik salah satu korban pembunuhan, diterima pada 1888. Bahkan, serangkaian fenomena kasus Pembunuhan Whitechapel yang terkenal itu, baru merebak pada April 1888 hingga tahun 1891, yang sering terjadi di bilangan East End, Berner Street, dan Mitre Square. Sementara itu, peristiwa besar yang terjadi di tahun 1868 di London adalah mulai dipasangnya lampu lalu lintas pertama kalinya dalam sejarah. Kemudian, dibukanya Terusan Suez oleh Napoleon III, pada 1869, yang menghubungkan Laut Tengah dengan Samudera Hindia. Atau malah, tahun 1868 itu dunia lebih dihebohkan oleh Restorasi Meiji di Jepang.
      Meskipun demikian, pengalaman rohani penyair ini patut diacungi jempol. Mengingat semangat jiwa mudanya yang masih meluap-luap, teknik eksplorasinya yang jauh dan cukup mendalam masih jarang terdapat pada puisi-puisi pengarang lain. Hal ini, kiranya yang menjadi ciri khas si penyair. Namun, perlu diperhatikan bahwa, ciri khas itu bukanlah terletak pada deskripsi dari puisinya yang panjang lebar dan banyak menggunakan istilah-istilah asing, melainkan ia memiliki kecakapan dalam menyelaraskan antara bahasa dan luapan ekspresinya, dan juga memiliki ketajaman penggunaan diksi dalam penulisannya.
Di sisi lain, untuk kedua kalinya petugas editor dari antologi puisi JDK ini melalaikan hal-hal yang kiranya sepele. Kata yang digarisbawahi dan dicetak tebal (“aang”, pada halaman 24) menimbulkan kerancuan. Di sini, pembaca bisa menebak-nebak, apakah maksudnya “dan”, “yang”, “sang”, “gang”, atau lebih parah lagi “bang”. Sebaiknya kerancuan seperti ini kelak dapat dihindari, agar tidak dicap sebagai puisi centang-perenang.
      Berbeda dengan penyair sebelumnya, dalam puisi berikut Saya kutip puisi yang berjudul Perpustakaan Sastra yang masuk ke ranah pikiran dan perasaan. (Cahyo, JDK, 2012)

    di perpustakaan sastra
    sebuah tombol enter menjelaskan
    jika nasibnya tidak selalu menyenangkan
    ….........................................................
bait pertama yang digarisbawahi secara tegas menggambarkan suatu latar tempat, yakni perpustakaan sastra. Di situ ditulis bahwa tombol enter (mungkin pada laptop untuk ukuran mahasiswa dewasa ini-Gem) nasibnya tidak selalu menyenangkan.

     baru sadar mencoba bangkit
     datang lagi wabah penyakit
     lebih dahsyat dari sebelumnya
     dia adalah ketua himpunan
     bersama gerombolan pasukannya
     main game perang Amerika
     tembak, tembak, tembak
     bunuh, bunuh, bunuh
     pencet enter terus-menerus
     enter langsung terbunuh.

    tombol enter tidak bisa kehilangan nyawa
    makanya dia bangkit lagi
    harus ketemu sama peneliti yang mau buat skripsi
    tentang karya sastra di ujung dunia
    si peneliti pusing sendiri jadinya
    pikiran melayang ke mana-mana
    frustasi dan marah-marah enter dimaki
    katanya enter tidak berfungsi
    bikin si peneliti hilang konsentrasi
    sidang ditunda setahun lagi.

      Kata-kata yang dimiringkan, seolah menunjukkan bahwa penyairnya mempertimbangkan fungsi keberadaan perpustakaan dan tombol enter (yang terdapat di laptop), yang justru malah dijadikan sebagai tempat bermain game. Dikatakan bahwa para “mahasiswa gamer” di perpustakaan tersebut diibaratkan sebagai wabah penyakit. Terlebih, yang memainkan gamenya tersebut adalah seorang ketua himpunan. Di sini kita bisa menangkap, bahwa seorang pemimpin yang tidak memberikan teladan yang baik, maka akan berdampak buruk bagi orang-orang terdekat atau pengikutnya (dia adalah ketua himpunan/bersama gerombolan pasukannya), sehingga kehadiran gerombolan tersebut dianggap mengganggu kenyamanan pengguna perpustakaan yang lain.
      Tampaknya si penyair ini mengangkat tema berdasarkan kepekaannya terhadap lingkungan sekitar dan cenderung bernada protes. Cuma, diwujudkan dalam arus kesadaran (stream of consciousness). Menurut Zaidan (1994:36) stream of consciousness merupakan pengaliran pikiran dan perasaan dalam batin tokoh yang agaknya tanpa logika yang jelas. Untuk menciptakan efek kesinambungan pikiran dan perasaan yang berpindah-pindah dari satu tema ke tema yang lainnya, penulis menyajikan campuran pikiran, perasaan, dan kesan-kesan inderawi sekaligus. Hal ini tampak pada bait terakhir di mana lukisan pertentangan jiwanya dengan si “enter” meluap. Hanya saja, amat disayangkan apabila gara-gara si peneliti pusing/marah-marah/frustasi, menyebabkan sidang (skripsi-Gem) ditunda setahun lagi. Jadi, seolah terkesan kehadiran gerombolan itu memberikan pengaruh buruk hingga eksistensi si peneliti dikalahkan. Di saat para gerombolan sukses bermain game di perpustakaan, si peneliti justru gagal melakukan penelitian. Inilah ironi yang disayangkan.
      Sementara itu, puisi-puisi penyair yang lain bagai menyuarakan protes hingga ke potret sosial. Berikut kutipan puisi yang berjudul Jakarta Dalam Kertas

    apa kita juga masih butuh kertas-kertas ini
    sebagai pembungkus kacang?
    teman kita di depan layar besar?
    menyaksikan si bapak
    yang mendorong kendaraannya di genangan banjir
    menyaksikan si anak
    yang membuang sampah di bantaran kali. (Ikkey, JDK, halaman 8)

Kemudian, tercermin juga dalam puisi berjudul Kutil berikut (Ari Murti, JDK, halaman 35)

    kutil-kutil,
    kau ini bagai parasit,
    sama halnya dengan manusia-manusia korup
    yang hidupnya selalu bergantung pada masyarakat.
    Memang dasar kutil,
    selalu saja kau susahkan orang,
    apa hanya itu hobimu?

    Selain itu, ada sejumlah penulis perempuan, dengan bakat menulis yang ada cukup berani bermain di aliterasi, seperti dalam puisi Bandul Pemutar Waktu berikut (Irinne, JDK, halaman 5)

    kini bagai musisi yang kehilangan baitnya
    dan bagai vokalis yang kehilangan pita suaranya
    bandul itupun telah kehilangan akalnya.
    …...........................................................
    takkan bisa mengembalikan lajunya kembali, kini tinggal sebuah bandul yang mati.

Perhatikan pula kutipan puisi Gelisah berikut (Nhunaiya, JDK, 14)

    aku masih mencari kokoh batu karang
    untuk sembunyi dan bersandar
    melindungi hati dari ombak gelisah jiwa

    aku perlu menggenggam sejumput kenangan manis
    yang barangkali mampu menguatkanku
    untuk terus melangkah di keruh dunia.

      Kedua penulis perempuan di atas masih “diperkaya” dengan kata-kata pesimis (kini bagai musisi yang kehilangan baitnya/takkan bisa mengembalikan lajunya kembali, kini tinggal sebuah bandul yang mati). Kemudian, (sembunyi dan bersandar/ombak gelisah jiwa/perlu menggenggam kenangan manis). Seolah, si penyair tidak percaya pada diri sendiri bahwa ia mampu melakukan sesuatu. Ia merindukan sosok yang kokoh bagai batu karang, itupun untuk bersembunyi dan bersandar, bukan untuk memperkuat si aku lirik yang tengah gelisah jiwanya.
      Walaupun begitu, ketangkasan imajinasi mereka dapat dikatakan cukup baik untuk segi pembelajaran. Di samping itu, juga diketahui betapa para penyair ini begitu sangat dalam terlibat dengan masalah yang mereka tulis. Oleh karena pengaruh cipta karya itu tak lepas dari pribadi pengarangnya, maka sebaiknya ketajaman mereka dalam menulis perlu terus-menerus diasah. Hal yang memacunya untuk aktif menulis puisi ialah bagaimana perasaan, pengalaman, dan kata hatinya terungkap dalam puisi secara totalitas agar memuaskan. Sejalan dengan yang dikatakan Subagio Sastrowardoyo (1997:vii), bahwa karya-karya yang terserak di dalam majalah atau kumpulan sajak merupakan persaksian pengalaman-pengalamannya, terutama pengalaman batinnya, yang mengacu kepada kepribadiannya.
       Berhubungan dengan hal di atas, tidak berarti karya mereka dituntut harus mengikuti “apa kata orang”. Akan tetapi, diharapkan para penyair tersebut ke depannya akan memberikan yang lebih baik lagi demi kemajuan jagat sastra kita. Dengan demikian, peluang akan semakin luas, dan pengarang akan semakin dipandang.

Salam



Daftar Rujukan
Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia. 2012. Antologi Puisi Himasina: Jakarta dalam Kertas. Jakarta: Penerbit Progdi Bahasa dan Sastra Indonesia.
Sastrowardoyo, Subagyo. 1997. Sosok Pribadi dalam Sajak. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.
Zaidan, Abdul Rozak, dkk. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.
Designed By Blogger Templates