CAFE BUDAYA GEMA FAJAR

Selasa, 26 Agustus 2014

SALAH SATU KRITIK RADEN SALEH TERHADAP SENIMAN LUKIS EROPA: SEBUAH INTERPRETASI SINGKAT

Raden Saleh (l. 1811/1813—w. 1880) merupakan pelukis muslim pertama Indonesia yang lebih dikenal sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia. Tidak sedikit karya beliau yang menginspirasi kalangan seniman dewasa ini. Bahkan, sejumlah penyair menggunakan referensi sisi hidup Raden Saleh sebagai khazanah dalam berpuisi. Pada awalnya, Raden Saleh adalah pelukis potret yang dibanjiri para pelanggan dari kalangan elite dan bangsawan. Sebab, mutu lukisan Saleh dapat memenuhi selera para petinggi di kala itu. Di antaranya potret Herman Willem Daendels (1838), mandor pembangunan Jalan Raya Pos Anyer—Panarukan; lukisan potret Van den Bosch (1836), mobilisator cultuurstelsel di Jawa setelah Perang Dipenogoro usai; dan potret Jean Chretien Baud (1835). Setelah merasa jenuh dengan lukisan potret, ia beralih ke dunia pelukisan sekitar hewan, manusia (berlatar Jawa), dan perburuan.

Tulisannya lebih banyak terdapat dalam surat yang dilayangkan kepada teman-temannya. Di situlah pandangan dan ekspresi Raden Saleh dapat diketahui. Salah satunya, adalah kritik terhadap pelukis Eropa yang tertuang dalam sebuah surat. Kritik ini diungkapkan Raden Saleh dalam suratnya kepada Baud yang berbunyi:

“Sebab ini kampf en gevecht orang darie Europa djarang jang bisa bikin sebap ada lain dia poenja ingettan; djadie saja ada oentoeng sebap saja orang dari Aziea”. (Krauss, 2004: 7)

Terjemahan bebas oleh Dahris Siregar:

“Para pelukis Eropa tidak terlalu terampil dalam menciptakan pemandangan perburuan dan pertarungan binatang. Mereka tidak memiliki pengalaman batin. Di sini saya merasa bahagia menjadi seorang Asia.”

Kritiknya ini menunjukkan sikapnya sebagai berikut:

1. Kesadaran Nasionalisme.
Dalam petikan ungkapan Raden Saleh di atas, menunjukkan bahwa bangsa Asia lebih memiliki bakat naturalisme ketimbang bangsa Eropa (tak mengherankan mengingat Indonesia adalah archipelago yang subur akan flora dan faunanya). Oleh sebab itu, sejumlah karyanya menunjukkan gambaran tentang imitasi alam. Di antaranya, perburuan banteng di Prianger (dilukisnya tahun 1840). Lukisan ini diklaim sebagai lukisan perdananya yang kental dengan latar ke-Jawa-an. Selain itu, lukisannya ihwal perburuan singa juga kental dengan suasana naturalisme. Perlu dicatat bahwa pelukis Eropa saat itu lebih dominan pada lukisan potret, maka kritik Raden Saleh di atas cukup beralasan.

2. Perlawanan terhadap Kolonialisme.
Kritiknya di atas juga dapat diartikan sebagai salah satu sikap perlawanan terhadap kolonialisme Belanda terhadap tanah airnya. Meskipun Raden Saleh menghabiskan sebagian hidupnya di Eropa (Belanda, Jerman, Perancis), namun keresahan terhadap sistem kolonial Belanda tercermin dalam karyanya. Argumen ini didukung dengan lukisannya mengenai penangkapan Pangeran Dipenogoro (1857) yang menggambarkan berakhirnya Java Orloog/perang Jawa (1825 s.d. 1830), ketika Sang Pangeran terkena “jebakan dusta” General Marcus de Kock.


Surau, 31 Januari 2014


Lukisan R. Saleh "Penangkapan Pangeran Dipenogoro" (1857) 

 Gunung Merapi di Malam Hari

Landscape Musim Dingin



Share This

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By Blogger Templates