CAFE BUDAYA GEMA FAJAR

Selasa, 26 Agustus 2014

HUTANG DUL SAPI


Konon, berdasarkan penelitian (tidak tentu sumbernya), penduduk Asia sangat menggilai gadget. Istilah “gila gadget” ini seolah terbukti dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat Ibukota. Makanya, jangan bangga dulu kalau ada anak muda yang baru dibelikan hape sama bapak/ibunya, lantas memproklamirkan diri sebagai “anak gaul”. Siapa tahu ada yang lebih gaul dari kalian, dengan segala pengalaman hidupnya, mampu menembus pasar pergaulan di dunia internasional. Sementara kalian, paling hanya sebatas pergaulan di SMU, kampus tempat kuliahan, komunitas motor, atau komunitas salah satu diskotek.
Tapi, Dul Sapi, bukanlah pemuda yang duduk di bangku SMU. Bukan pula anggota komunitas motor, atau diskotek. Ia adalah mahasiswa gila gadget yang kuliah di jurusan sastra. Menurut opini sebagian orang, jurusan sastra adalah program studi paling celaka, lantaran alumnusnya banyak yang jadi “pelamun hebat”. Maka, kenal sama orangnya lebih celaka lagi. Abdul Suseno, nama lengkap pemuda tersebut. Namun, orang-orang memanggilnya dengan sebutan “Dul Sapi”. Dahulu, Dul Sapi adalah eks pengembala dan penjaja sapi di kampungnya. Oleh sebab itulah, ia lebih dikenal dengan nama “Dul Sapi” daripada nama aslinya.
Pengalaman mengembala satu tahun, telah membuatnya jenuh. Beruntung, salah satu langganannya membeli lima ekor sapi buat syukuran sebanyak satu kampung. Pak Tejo nama pelanggan itu. Syukuran itu bertujuan untuk merayakan, lebih tepatnya mendoakan, kepulangan anak perempuannya yang baru saja menyelesaikan kuliah kedokteran di Kanada. Sahara, nama perempuan itu. Jamuan makanan akan disediakan buat sekampung. Acara hiburan akan diselenggarakan. Pendeknya, mirip dengan pesta rakyat. Maklum, Pak Tejo adalah salah satu orang terpandang di kampungnya.
Sampeyan boleh datang, Dul,” tukas Pak Tejo mengundang Dul Sapi.
Insya Allah, Pak Tejo, saya datang. Tapi saya enggak sendirian, lho. Saya datang satu keluarga boleh ya, Pak? Hehe,” sahut Dul Sapi.
“Sekalian ajak tetangga-tetanggamu juga boleh, kok. Asal, jangan bawa teman-temanmu yang ini ya,” ujar Pak Tejo seraya menunjuk sekelompok sapi yang dijajakan Dul Sapi.
“Haha, bapak bisa saja. Ready, Sir!” tutup Dul Sapi dengan satu-satunya ungkapan Inggris yang dihafalnya.
Malam itu, syukuran ditutup dengan hiburan Tayub dan Ludruk. Untuk memanjakan rakyat, pihak Pak Tejo menampilkan wayang kulit dengan kisah Mahabharata. Di saat masyarakat tengah dimanjakan oleh pertunjukkan, Dul Sapi diam-diam memendam rasa penasaran. Ia ingin tahu bagaimana rupa perempuan yang dimuliakan bagai Ratu Ken Dedes itu.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Sahara, Sang Ratu Ken Dedes, hadir mengenakan jilbab dan baju muslim anggun berwarna putih. Ia bagaikan rembulan di tengah malam itu. Hadir untuk menyinari jalan bagi para jomblowan seperti Dul Sapi. Darahnya lantas mendidih. Hatinya mendesir. Ungkapan untuk menggambarkan hati Dul Sapi: witing tresno jalaran soko kulino alias cinta pada pandangan pertama. Ini celaka. Sebab, perempuan kaliber Sahara mustahil jatuh hati padanya. Demikian pikir Dul Sapi. Tapi, Dul Sapi nekat melamar puteri Pak Tejo itu.
Seminggu pascalebaran, Dul Sapi dan orang tuanya mendatangi kediaman Pak Tejo. Dengan maksud meminang puteri semata wayang Pak Tejo itu, Dul Sapi membawa sejumlah mahar hasil menjual sepetak sawah milik bapaknya. Sayang, gayung tak bersambut. Menurut penuturan Pak Tejo, Sahara sudah dipinang seorang pria lulusan magister manajemen di Australia, yang kini bekerja di perusahaan tambang emas ternama. Lantas Dul Sapi membatu bagai patung dalam candi. Seakan Borobudur menimpa tubuhnya: Sulit bergerak dan bernapas. Sejak saat itu, ia bertekad untuk menempuh pendidikan lebih tinggi, agar status sosialnya meningkat. Maka, malam hari setelah gagalnya pinangan Dul Sapi tak bisa tidur. Lagu-lagu galau cap cengeng disetelnya keras-keras. Ia bertekad untuk hijrah ke Jakarta keesokan harinya.
***

Ternyata, Jakarta lebih keras dari yang dipikirkannya. Untuk menyambung hidup, Dul Sapi bekerja sebagai tukang sayur. Tapi jangan salah! Tukang sayur yang sudah memiliki langganan tetap, penghasilannya lebih tinggi dari seorang pegawai pelaksana BUMN sekalipun. Maka, biaya hidup dan kuliah Dul Sapi tak jadi soal. Bahkan, dengan mudah ia mendapatkan banyak teman.
Di kampus, ia menjadi seorang aktivis sekaligus seorang penyair. Prestasinya lumayan: Juara qori membaca Al-Qur’an dan juara 2 musikalisasi puisi. Di kampus, ia menaksir seorang perempuan asal Menado bernama Lina. Lagi-lagi tak seperti diharapkan, cinta Dul Sapi hanya bertepuk sebelah tangan. Perempuan itu hanya morotin Dul Sapi. Lambat-lambat, keuangannya terkuras gara-gara perempuan itu. untuk kedua kalinya, cintanya kandas.
Kini, Dul Sapi lebih mementingkan biaya hidup ketimbang cari cewek. Usaha jualan sayurnya mandek. Kuliah cuti satu semester. Pusing dengan biaya hidup, ia terpaksa ngutang sana-sini demi menyambung hidup. Kadang, hidup itu terbagi menjadi dua: mengisi hidup dan menyambung hidup. Untuk mengisi hidup, jiwa kita butuh “nutrisi” berupa ilmu dan pengetahuan. Sedangkan untuk menyambung hidup, kita harus kerja agar bisa makan. Kali ini, Dul Sapi mengorbankan aktivitas kuliahnya yang untuk mengisi hidup. Jalan satu-satunya, ia harus cari pinjaman duit.
Hari ini Dul Sapi ngutang lagi. Minggu lalu juga ia ngutang, ke seorang pemuda yang tinggal serumah berdua bersama neneknya. Kedua ayah-ibunya meninggal akibat kecelakaan lalu lintas saat mudik pulang kampung jelang lebaran. Hidupnya pas-pasan meski pasangan nenek dan cucu itu tidak tergolong kaum yang “ketinggalan zaman”. Pasalnya, meski tinggal di permukiman kumuh padat penduduk, mereka tidak gaptek alias melek gadget. Si nenek punya hape android sedangkan si cucu punya Blackberry.
Memang, si nenek tidak begitu cakap mendaftarkan diri untuk memiliki akun di sosial media. Namun, berkat cucunya, alhamdulillah sang nenek pun memiliki sejumlah akun. Kini, akun-akun yang dibuatkan si pemuda tak ubahnya pembunuh sepi buat si nenek: FB, tweetter, Path, Blackberry Messenger (BBM), dan Google adalah “mainan” buat nenek. Bahkan, si nenek pun tidak mau ketinggalan “narsis” dengan meng-upload foto-fotonya ke Instagram.
Sementara, Dul Sapi sedih tujuannya untuk segera lulus kuliah terhambat. Ia tidak tega merongrong orang tuanya di kampung untuk minta mengirimkan uang. Beruntung, pemuda itu berbaik hati memberikan sejumlah pinjaman duit. Entah, apa yang membuat Dul Sapi menjadi boros. Hutangnya kepada beberapa orang menumpuk. Ketika pemuda itu menagih hutang kepadanya, Dul Sapi sontak ambil langkah seribu. Entah berlindung di kampus atau kontrakan teman sekampung. Usut punya usut, ternyata Dul Sapi masih menaruh hati pada Lina. Dan tiap kali Dul Sapi ngajak kencan, uangnya langsung minus.
Dul Sapi makin pusing. Anehnya, bakat playboy-nya makin menggila. Di akun Facebook-nya, Dul Sapi berteman dengan sejumlah perempuan yang digombali dengan untaian kata-kata puitis atau membual sebagai turunan Raden Mas. Lihai juga kepandaiannya ini. Sementara, pemuda yang hanya tinggal bersama neneknya itu mendesak Dul Sapi untuk segera melunasi hutangnya. Pasangan nenek-cucu itu beberapa kali mendatangi kosan Dul Sapi. Namun yang hendak ditemui tak pernah ada di kosan.
Suatu ketika, Dul Sapi mendapat pertemanan baru di Facebook, dengan perempuan bernama Mery. Bagi Dul Sapi, setiap perempuan bernama “Mery” atau “Mary” pastilah seorang perawan. Meskipun Mery tidak menaruh fotonya di profil, Dul Sapi mengira bahwa Mery pasti perempuan cantik. Singkat cerita mereka mengadakan janji temu. Kebetulan, rumah Mery ternyata tak jauh dari kosan Dul Sapi. Di sebuah taman dekat permukiman mereka janjian.
Dul Sapi duduk malas pada sebuah kursi besi di taman. Tak lama berselang, seorang pemuda bersama nenek-nenek menghampiri. Ternyata, mereka adalah pasangan cucu-nenek yang memberikan Dul Sapi pinjaman duit. Dul Sapi terperanjat, hendak mengambil langkah seribu.
“E.e.e.e.e... mau kemane, Dul?” ucap si nenek setengah berteriak. Yang disapa diam, tak jadi kabur. Cucunya, si pemuda, menjulurkan tangan kanan pertanda meminta duit yang dipinjaminya kepada Dul Sapi.
Kok, kebetulan banget ya kita ketemu di sini. Saya lagi cari angin segar, nih,” ucap Dul Sapi berkilah, dengan logat Jawa medok.
“Angin seger pale lu! Gue Mery, cewek yang lu gombalin di Fesbuk!”


Jakarta, 14 Juli 2014
Share This

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By Blogger Templates