Konon, berdasarkan penelitian (tidak tentu sumbernya), penduduk Asia sangat menggilai gadget. Istilah “gila gadget” ini seolah terbukti dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat Ibukota. Makanya, jangan bangga dulu kalau ada anak muda yang baru dibelikan hape sama bapak/ibunya, lantas memproklamirkan diri sebagai “anak gaul”. Siapa tahu ada yang lebih gaul dari kalian, dengan segala pengalaman hidupnya, mampu menembus pasar pergaulan di dunia internasional. Sementara kalian, paling hanya sebatas pergaulan di SMU, kampus tempat kuliahan, komunitas motor, atau komunitas salah satu diskotek.
Tapi, Dul Sapi, bukanlah pemuda yang duduk di bangku SMU. Bukan
pula anggota komunitas motor, atau diskotek. Ia adalah mahasiswa gila gadget
yang kuliah di jurusan sastra. Menurut opini sebagian orang, jurusan sastra
adalah program studi paling celaka, lantaran alumnusnya banyak yang jadi
“pelamun hebat”. Maka, kenal sama orangnya lebih celaka lagi. Abdul Suseno,
nama lengkap pemuda tersebut. Namun, orang-orang memanggilnya dengan sebutan
“Dul Sapi”. Dahulu, Dul Sapi adalah eks pengembala dan penjaja sapi di
kampungnya. Oleh sebab itulah, ia lebih dikenal dengan nama “Dul Sapi” daripada
nama aslinya.
Pengalaman mengembala satu tahun, telah membuatnya jenuh.
Beruntung, salah satu langganannya membeli lima ekor sapi buat syukuran sebanyak
satu kampung. Pak Tejo nama pelanggan itu. Syukuran itu bertujuan untuk
merayakan, lebih tepatnya mendoakan, kepulangan anak perempuannya yang baru saja
menyelesaikan kuliah kedokteran di Kanada. Sahara, nama perempuan itu. Jamuan
makanan akan disediakan buat sekampung. Acara hiburan akan diselenggarakan.
Pendeknya, mirip dengan pesta rakyat. Maklum, Pak Tejo adalah salah satu orang
terpandang di kampungnya.
“Sampeyan boleh datang, Dul,” tukas Pak Tejo mengundang Dul
Sapi.
“Insya Allah, Pak Tejo, saya datang. Tapi saya enggak sendirian,
lho. Saya datang satu keluarga boleh ya, Pak? Hehe,” sahut Dul Sapi.
“Sekalian ajak tetangga-tetanggamu juga boleh, kok. Asal,
jangan bawa teman-temanmu yang ini ya,” ujar Pak Tejo seraya menunjuk sekelompok
sapi yang dijajakan Dul Sapi.
“Haha, bapak bisa saja. Ready, Sir!” tutup Dul Sapi dengan
satu-satunya ungkapan Inggris yang dihafalnya.
Malam itu, syukuran ditutup dengan hiburan Tayub dan Ludruk. Untuk
memanjakan rakyat, pihak Pak Tejo menampilkan wayang kulit dengan kisah
Mahabharata. Di saat masyarakat tengah dimanjakan oleh pertunjukkan, Dul Sapi
diam-diam memendam rasa penasaran. Ia ingin tahu bagaimana rupa perempuan yang
dimuliakan bagai Ratu Ken Dedes itu.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Sahara, Sang Ratu Ken Dedes, hadir
mengenakan jilbab dan baju muslim anggun berwarna putih. Ia bagaikan rembulan
di tengah malam itu. Hadir untuk menyinari jalan bagi para jomblowan seperti Dul
Sapi. Darahnya lantas mendidih. Hatinya mendesir. Ungkapan untuk menggambarkan
hati Dul Sapi: witing tresno jalaran soko kulino alias cinta pada
pandangan pertama. Ini celaka. Sebab, perempuan kaliber Sahara mustahil jatuh
hati padanya. Demikian pikir Dul Sapi. Tapi, Dul Sapi nekat melamar puteri Pak
Tejo itu.
Seminggu pascalebaran, Dul Sapi dan orang tuanya mendatangi
kediaman Pak Tejo. Dengan maksud meminang puteri semata wayang Pak Tejo itu, Dul
Sapi membawa sejumlah mahar hasil menjual sepetak sawah milik bapaknya. Sayang,
gayung tak bersambut. Menurut penuturan Pak Tejo, Sahara sudah dipinang seorang
pria lulusan magister manajemen di Australia, yang kini bekerja di perusahaan
tambang emas ternama. Lantas Dul Sapi membatu bagai patung dalam candi. Seakan
Borobudur menimpa tubuhnya: Sulit bergerak dan bernapas. Sejak saat itu, ia
bertekad untuk menempuh pendidikan lebih tinggi, agar status sosialnya
meningkat. Maka, malam hari setelah gagalnya pinangan Dul Sapi tak bisa tidur.
Lagu-lagu galau cap cengeng disetelnya keras-keras. Ia bertekad untuk hijrah ke
Jakarta keesokan harinya.
***
Ternyata, Jakarta lebih keras dari yang dipikirkannya. Untuk
menyambung hidup, Dul Sapi bekerja sebagai tukang sayur. Tapi jangan salah!
Tukang sayur yang sudah memiliki langganan tetap, penghasilannya lebih tinggi dari
seorang pegawai pelaksana BUMN sekalipun. Maka, biaya hidup dan kuliah Dul Sapi
tak jadi soal. Bahkan, dengan mudah ia mendapatkan banyak teman.
Di kampus, ia menjadi seorang aktivis sekaligus seorang penyair. Prestasinya
lumayan: Juara qori membaca Al-Qur’an dan juara 2 musikalisasi puisi. Di
kampus, ia menaksir seorang perempuan asal Menado bernama Lina. Lagi-lagi tak
seperti diharapkan, cinta Dul Sapi hanya bertepuk sebelah tangan. Perempuan itu
hanya morotin Dul Sapi. Lambat-lambat, keuangannya terkuras gara-gara
perempuan itu. untuk kedua kalinya, cintanya kandas.
Kini, Dul Sapi lebih mementingkan biaya hidup ketimbang cari cewek.
Usaha jualan sayurnya mandek. Kuliah cuti satu semester. Pusing dengan biaya
hidup, ia terpaksa ngutang sana-sini demi menyambung hidup. Kadang,
hidup itu terbagi menjadi dua: mengisi hidup dan menyambung hidup. Untuk
mengisi hidup, jiwa kita butuh “nutrisi” berupa ilmu dan pengetahuan. Sedangkan
untuk menyambung hidup, kita harus kerja agar bisa makan. Kali ini, Dul Sapi
mengorbankan aktivitas kuliahnya yang untuk mengisi hidup. Jalan satu-satunya,
ia harus cari pinjaman duit.
Hari ini Dul Sapi ngutang lagi. Minggu lalu juga ia ngutang,
ke seorang pemuda yang tinggal serumah berdua bersama neneknya. Kedua
ayah-ibunya meninggal akibat kecelakaan lalu lintas saat mudik pulang kampung
jelang lebaran. Hidupnya pas-pasan meski pasangan nenek dan cucu itu tidak
tergolong kaum yang “ketinggalan zaman”. Pasalnya, meski tinggal di permukiman
kumuh padat penduduk, mereka tidak gaptek alias melek gadget. Si
nenek punya hape android sedangkan si cucu punya Blackberry.
Memang, si nenek tidak begitu cakap mendaftarkan diri untuk
memiliki akun di sosial media. Namun, berkat cucunya, alhamdulillah sang
nenek pun memiliki sejumlah akun. Kini, akun-akun yang dibuatkan si pemuda tak
ubahnya pembunuh sepi buat si nenek: FB, tweetter, Path, Blackberry Messenger
(BBM), dan Google adalah “mainan” buat nenek. Bahkan, si nenek pun tidak mau
ketinggalan “narsis” dengan meng-upload foto-fotonya ke Instagram.
Sementara, Dul Sapi sedih tujuannya untuk segera lulus kuliah
terhambat. Ia tidak tega merongrong orang tuanya di kampung untuk minta
mengirimkan uang. Beruntung, pemuda itu berbaik hati memberikan sejumlah
pinjaman duit. Entah, apa yang membuat Dul Sapi menjadi boros. Hutangnya kepada
beberapa orang menumpuk. Ketika pemuda itu menagih hutang kepadanya, Dul Sapi
sontak ambil langkah seribu. Entah berlindung di kampus atau kontrakan teman
sekampung. Usut punya usut, ternyata Dul Sapi masih menaruh hati pada Lina. Dan
tiap kali Dul Sapi ngajak kencan, uangnya langsung minus.
Dul Sapi makin pusing. Anehnya, bakat playboy-nya makin
menggila. Di akun Facebook-nya, Dul Sapi berteman dengan sejumlah perempuan
yang digombali dengan untaian kata-kata puitis atau membual sebagai turunan
Raden Mas. Lihai juga kepandaiannya ini. Sementara, pemuda yang hanya tinggal
bersama neneknya itu mendesak Dul Sapi untuk segera melunasi hutangnya.
Pasangan nenek-cucu itu beberapa kali mendatangi kosan Dul Sapi. Namun yang
hendak ditemui tak pernah ada di kosan.
Suatu ketika, Dul Sapi mendapat pertemanan baru di Facebook, dengan
perempuan bernama Mery. Bagi Dul Sapi, setiap perempuan bernama “Mery” atau
“Mary” pastilah seorang perawan. Meskipun Mery tidak menaruh fotonya di profil,
Dul Sapi mengira bahwa Mery pasti perempuan cantik. Singkat cerita mereka
mengadakan janji temu. Kebetulan, rumah Mery ternyata tak jauh dari kosan Dul
Sapi. Di sebuah taman dekat permukiman mereka janjian.
Dul Sapi duduk malas pada sebuah kursi besi di taman. Tak lama
berselang, seorang pemuda bersama nenek-nenek menghampiri. Ternyata, mereka
adalah pasangan cucu-nenek yang memberikan Dul Sapi pinjaman duit. Dul Sapi
terperanjat, hendak mengambil langkah seribu.
“E.e.e.e.e... mau kemane, Dul?” ucap si nenek setengah
berteriak. Yang disapa diam, tak jadi kabur. Cucunya, si pemuda, menjulurkan
tangan kanan pertanda meminta duit yang dipinjaminya kepada Dul Sapi.
“Kok, kebetulan banget ya kita ketemu di sini.
Saya lagi cari angin segar, nih,” ucap Dul Sapi berkilah, dengan logat
Jawa medok.
“Angin seger pale lu! Gue Mery, cewek yang lu
gombalin di Fesbuk!”
Jakarta, 14 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar