Astrid Darmawan, S.T., M.A., M.Ud.
Gema Kertanegara, S.S. M.A., M.Ud.
Pendahuluan
Pembahasan ihwal jiwa tidak kalah
pentingnya dengan tema-tema besar lainnya dalam filsafat Islam. Sebab, jiwa
merupakan rahasia Tuhan yang terdapat pada setiap makhluk ciptaan-Nya,
sekaligus simbol kebesaran-Nya yang masih menjadi teka-teki. Ia tidak dapat
disaksikan secara inderawi, tetapi keberadaannya dipercayai setiap orang. Barangkali,
argumentasi-argumentasi para filsuf belumlah memuaskan. Namun, hingga saat ini
manusia masih berusaha menyelediki hakikat jiwa dan kaitannya dengan badan.
Aliran materialisme menganggap bahwa
jiwa tidak lain halnya dengan badan (jism), dan tidak ada sifat-sifat
khusus padanya. Sementara, golongan spiritualis berpandangan bahwa jiwa tidak
berasal dari alam kebendaan (baca: materi), tetapi berasal dari alam ketuhanan
dan mempunyai kekuatan (daya-daya) ruhani, yang turun ke bawah dari alam yang
lebih tinggi (Hanafi, 1996: 122). Kultur filsafat Yunani dalam konteks
pembahasan jiwa cukup memberikan kontribusi bagi perkembangan filsafat Islam. Misalnya,
Phaedo dan Temaies karangan Plato serta De Anima dan Parva
Naturalia karya Aristoteles. Sementara, pembahasan ihwal jiwa dalam tradisi Timur jauh lebih purba lagi. Misalnya, seperti termaktub dalam Book of the Dead (Buku Kematian) di era Mesir kuno yang menuliskan tentang perjalanan jiwa seorang Fir'aun pascakematian. Disebutkan bahwa jasad (baca: mumi) Fir'aun yang dibalut perban, lalu dikalungkan batu permata berjenis Carnelian (Aqiq Yemeni). Masyarakat Mesir pada saat itu meyakinibahwa Aqiq Yemeni dapat mengantarkan jiwa Sang Fir'aun menuju alam keabadian hingga selamat. Kemudian, pemeluk Zoroaster di Persia meyakini bahwa di dunia ini terdapat roh jahat dan roh baik. Keduanya saling bermusuhan, dan pada akhir zaman yang memenangkan pertempuran adalah roh baik. Sementara orang Israel meyakini bahwa diri manusia terdiri dari jiwa dan badan, di mana setelah badan hancurmaka jiwa akan kekal untuk menerimapahala atau siksa.
Berbeda halnya dalam tradisi filsafat Islam. Misalnya, dalam Filsafat Hikmah Muta’aliyyah yang
digagas oleh Mulla Shadra yang secara khusus menulis tentang persoalan jiwa, dari
karyanya yang berjudul al-Hikmah al-Muta’aliyyah fial-Asfar al-Aqliyyah
al-Arba’ah pada jilid ke-8. Dikatakannya, bahwa proses perjalanan manusia
merupakan sebuah perjalanan jiwa. Di samping itu, Mulla Sadra mengemukakan
prinsip tentang jiwa sebagai dasar bagi pandangan Eskatologi yang dibangunnya
(Walid, 2012: 76).
Untuk membahas
prinsip filsafat Mulla Sadra mengenai jiwa, perlu kiranya diketahui bahwa
terdapat beberapa prinsip utama pembentuk filsafatnya. Sebab, seluruh prinsip
filsafat berikutnya bersandarkan pada prinsip ini. Prinsip-prinsip tersebut, di
antaranya adalah (periksa: al-Walid, 2012: 34—43):
1. Prinsipalitas
Wujud (Ashalatul Wujud): wujud merupakan
realitas dasar yang paling nyata dan jelas (badihi). Tidak ada apapun
yang dapat membatasi wujud sehingga tidak mungkin seseorang dapat memberikan
suatu definisi kepada wujud. Beranjak dari wujud yang jelas ini, Mulla Shadra
masuk pada salah satu tema pokok ontologinya, bahwa antara wujud dan kuiditas
berbeda dalam alam pikiran, sedangkan di luar hanya terdapat satu realitas,
maka manakah yang lebih real dan hakiki, wujud atau kuiditas? Dalam hal ini,
Sadra beranggapan bahwa wujudlah yang utama dan real, sedangkan kuiditas
hanyalah aksiden atau hanya abstraksi mental.
2. Tasykikul
Wujud (Gradasi Wujud): ambiguitas
wujud merupakan gambaran wujud tunggal yang memiliki gradasi berbeda,
disebabkan oleh tingkatan kualitas yang ada pada wujud tersebut. Hal ini
menyebabkan wujud tersebut memiliki dua sifat pada saat bersamaan, yaitu
ketunggalan (univok) dan pluralitas (ekuivok) yang dalam istilah Mulla Sadra
disebut dengan “Pluralitas dalam ketunggalan dan ketunggalan dalam pluralitas”.
3. Kontinuitas
Wujud: dalam konteks ini, Mulla Sadra menegaskan bahwa
tidak ada perulangan wujud dan kembalinya sesuatu yang tiada (Laa tikrara fi
al-wujud wa imtina’ I’adati al-ma’dum). Sadra mengemukakan argumentasi
ketidakmungkinan lenyapnya sesuatu yang telah mewujud dan kembali mewujud
setelah tiada.
4. Wujud
Mental: jika kita membayangkan sesuatu yang tidak memiliki
realitas pada wujud eksternal (seperti gunung emas, lautan air raksa,
bersatunya dua hal yang bertentangan) tidak mungkin wujud tersebut terjadi pada
realitas eksternal. Pastilah sesuatu itu mewujud di suatu tempat lain yang
disebut dengan mental.
Definisi
Jiwa
Jiwa merupakan gambaran dari
substansi yang secara zatnya nonmateri, tetapi bergantung dengan materi dalam
aktualisasi eksternalnya (al-Walid, 2012: 76).
Alam Ilmu
|
Ahadiyyah / Keesaan
|
Wahidiyyah /Kesatuan
|
Jabarut / Ruh
|
Malakut / Imajinal
|
Nasut / Materi
|
………………………………….
|
Ket :
1. Ahadiyyah : Alam ketungalan/keesaan
2. Wahidiyyah : Alam kesatuan
3. Jabarut : Alam malaikat/ruh
4. Malakut : Alam imajinal
5. Nasut : Alam materi
|
Alam Eksternal
|
Lima
kehadiran illahi menurut Ibnu ‘Arabi.
Proses Kebersamaan Jiwa dan Raga
Mulla Sadra
menegaskan kebaruan jasmani dan keabadian jiwa (Jasmaniyatul Huduts wa
Ruhaniyyatul Baqa). Maksudnya, proses terjadinya jiwa yang bersifat baru
dan berasal dari fisik atau materi, dan selanjutnya mengalami proses
kesempurnaan melalui gerakan substansial (Harakah Jauhariyyah) dan
kemudian menyempurna menjadi ruhani serta tetap abadi pada kondisi tersebut.
Menurut
Mulla Sadra, jiwa terjadi bersamaan dengan terjadinya fisik dan sama-sama
berasal dari potensi awal. Ketika materi pertama terbentuk, ada dua unsur utama
yang membentuk materi tersebut, yaitu forma dan dasar materi (Hayula).
Perkembangan forma inilah yang kemudian teraktualisasi menjadi jiwa, sedangkan
materi dasar teraktualisasi menjadi raga. Menurut
Mulla Sadra, jiwa merupakan forma manusia yang muncul secara fisik dan abadi
menjadi ruhani (Jasmaniyatul Huduts Ruhaniyyatul Baqa).
JIWA
|
FISIK
|
Raga
|
Materi pertama
|
Forma
|
Hayula (materi
dasar)
|
Jiwa
|
“Jiwa itu aktual, tetapi untuk mengada dia
membutuhkan materi.
Sementara
materi sifatnya potensi, dan untuk mengaktual dia butuh jiwa.”
Perumpamaan
yang digunakan Mulla Sadra terkait dengan kebersamaan jiwa dan tubuh adalah
perahu dengan juru mudi. Perahu bagaimanapun kokoh dan indahnya takkan memberi
manfaat apapun jika tidak ada juru mudi. Kehadiran perahu tentu bergantung
dengan keberadaan juru mudi. Begitulah diumpamakan hubungan antara tubuh dan
jiwa. Tubuh sebagai forma fisik untuk dapat menghasilkan efek memerlukan forma
lain selain dirinya yaitu jiwa.
Keterpisahan Jiwa dan Raga
Mulla
Sadra menegaskan adanya dualisme dalam diri manusia. Menurut al-Walid (2012:
85—86) dualisme tersebut adalah:
Jiwa:
sekalipun berkembang bersama raga pada awalnya, tetapi kemudian menjadi lokus
bagi seluruh daya dan potensi.
Fisik:
bersifat reseptif bagi aktualisasi seluruh daya dan potensi.
Relasi
jiwa dan tubuh bersifat dualitas jika yang dilihat bahwa tubuh sebagaimana
tubuh memiliki substansinya sendiri yang terpisah dari substansi jiwa namun
relasinya ditetapkan ketika tubuh sebagai suatu substansi hanya bersifat
reseptif dalam melahirkan efek-efek berupa daya-daya atau potensi-potensi yang
lahir darinya (tubuh). karena tubuh bersifat reseptif maka ia memerlukan forma
lain untuk mengaktualkan daya-daya tersebut yang tidak lain adalah jiwa. Dalam konteks ini, Mulla Sadra memberikan analogi antara Juru Mudi dan sebuah perahu. Juru Mudi adalah jiwanya,sedangkan perahu adalah raga/badannya. Perahu takkan bisa berfungsi walaupun kokoh dan indah tanpa adanya si juru mudi.
Daya-Daya
Jiwa
Ibnu
sina membagi jiwa ke dalam tiga bagian (Dradjat, 2006: 47—49):
1. jiwa tumbuh-tumbuhan
(al-Nafs al-Nabatat).
Daya-daya:
tumbuh, makan (al-ghadiyah), berkembang biak (al-muwallidah).
2.
jiwa binatang (al-nafs al- hayawaniyah).
Daya-daya:
penggerak (al-muharikkah), persepsi/daya tangkap (al-mudrikah).
Penggerak terbagi menjadi dua, penggerak karena dirinya menjadi penyebab
(syahwat mendatangkan kenikmatan) dan emosional (menghindari bahaya). atau
subjek Lebih jauh, daya tangkap ini terbagi lagi ke dalam: daya tangkap dari
luar melalui pancaindera, dan dari dalam yang hanya dapat diserap oleh indera-indera
dalam. Yang termasuk dalam jenis indera dalam adalah:
a).
Indera Bersama (al-hiss al-musytarak), yakni indera-indera yang memiliki
kemampuan atau daya menyerap apa saja melalui pancaindera,
b)
Potensi Representasi (al-quwwah al-khayal), yaitu kemampuan yang dapat
menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama,
c)
Daya Imajinasi (al-quwwah al-mutakhayilah), yaitu daya menyusun apa yang
tersimpan dalam representasi,
d)
Daya Estimasi (al-quwwah al-wahmiyah), yaitu kemampuan menangkap hal-hal
abstrak yang terbatas dari materi, misalnya keharusan bagi kambing lari dari
serigala,
e)
Daya Rekoleksi (al-quwwah al-hafizhah), suatu kemampuan menyimpan
hal-hal abstrak yang diterima estimasi.
3. Jiwa Manusia (al-Nafs
al-Nathiqah).
Jiwa
manusia mempunyai dua daya, yakni kemampuan praktis (al-‘amilah) yang
berhubungan dengan potensi tubuh dan daya teoritis (al-‘alimah al-nazhariyah)
yang berhubungan dengan hal-hal abstrak.
Daya
ini memiliki tingkatan-tingkatan:
1. akal
materi (al-‘aql al-hayulani) adalah akal yang semata-mata memiliki
potensi untuk berpikir dan belum terlatih sedikitpun.
2. Akal
malakah (al-‘aql bi al-malakah) adalah akal yang mulai terlatih untuk
berpikir tentang hal-hal yang abstrak.
3. Akal
aktual (al-‘aql bi al-fa’al) adalah akal yang bisa menjangkau hal-hal
abstrak, dan
4. Akal
Mustafad (al-‘aql al-mustafad) adalah akal yang mampu berpikir tentang
perkara abstrak dan menyimpan di dalamnya.
Kualitas
manusia didasarkan dominasi daya-daya tersebut di atas. Dan daya yang
mendominasi akan membentuk karakter jiwa sekaligus sebagai dasar pembentuk raga
berikutnya. Konsep inilah yang digunakan Mulla Sadra sebagi prinsip
reinkarnasinya.
Daftar
Pustaka
Dradjat,
Amroeni. 2006. Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu. Jakarta: Erlangga.
Hanafi, Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Al-Walid, Khalid. 2012. Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat.
Jakarta: Sadra Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar