CAFE BUDAYA GEMA FAJAR

Sabtu, 09 Mei 2015

TENTANG JIWA: PROSES KEBERSAMAAN JIWA DAN RAGA, KETERPISAHAN JIWA DENGAN RAGA, DAN DAYA-DAYA JIWA




Astrid Darmawan, S.T., M.A., M.Ud.
Gema Kertanegara, S.S. M.A., M.Ud.



Pendahuluan
            Pembahasan ihwal jiwa tidak kalah pentingnya dengan tema-tema besar lainnya dalam filsafat Islam. Sebab, jiwa merupakan rahasia Tuhan yang terdapat pada setiap makhluk ciptaan-Nya, sekaligus simbol kebesaran-Nya yang masih menjadi teka-teki. Ia tidak dapat disaksikan secara inderawi, tetapi keberadaannya dipercayai setiap orang. Barangkali, argumentasi-argumentasi para filsuf belumlah memuaskan. Namun, hingga saat ini manusia masih berusaha menyelediki hakikat jiwa dan kaitannya dengan badan.
            Aliran materialisme menganggap bahwa jiwa tidak lain halnya dengan badan (jism), dan tidak ada sifat-sifat khusus padanya. Sementara, golongan spiritualis berpandangan bahwa jiwa tidak berasal dari alam kebendaan (baca: materi), tetapi berasal dari alam ketuhanan dan mempunyai kekuatan (daya-daya) ruhani, yang turun ke bawah dari alam yang lebih tinggi (Hanafi, 1996: 122). Kultur filsafat Yunani dalam konteks pembahasan jiwa cukup memberikan kontribusi bagi perkembangan filsafat Islam. Misalnya, Phaedo dan Temaies karangan Plato serta De Anima dan Parva Naturalia karya Aristoteles. Sementara, pembahasan ihwal jiwa dalam tradisi Timur jauh lebih purba lagi. Misalnya, seperti termaktub dalam Book of the Dead (Buku Kematian) di era Mesir kuno yang menuliskan tentang perjalanan jiwa seorang Fir'aun pascakematian. Disebutkan bahwa jasad (baca: mumi) Fir'aun yang dibalut perban, lalu dikalungkan batu permata berjenis Carnelian (Aqiq Yemeni). Masyarakat Mesir pada saat itu meyakinibahwa Aqiq Yemeni dapat mengantarkan jiwa Sang Fir'aun menuju alam keabadian hingga selamat. Kemudian, pemeluk Zoroaster di Persia meyakini bahwa di dunia ini terdapat roh jahat dan roh baik. Keduanya saling bermusuhan, dan pada akhir zaman yang memenangkan pertempuran adalah roh baik. Sementara orang Israel meyakini bahwa diri manusia terdiri dari jiwa dan badan, di mana setelah badan hancurmaka jiwa akan kekal untuk menerimapahala atau siksa.
            Berbeda halnya dalam tradisi filsafat Islam. Misalnya, dalam Filsafat Hikmah Muta’aliyyah yang digagas oleh Mulla Shadra yang secara khusus menulis tentang persoalan jiwa, dari karyanya yang berjudul al-Hikmah al-Muta’aliyyah fial-Asfar al-Aqliyyah al-Arba’ah pada jilid ke-8. Dikatakannya, bahwa proses perjalanan manusia merupakan sebuah perjalanan jiwa. Di samping itu, Mulla Sadra mengemukakan prinsip tentang jiwa sebagai dasar bagi pandangan Eskatologi yang dibangunnya (Walid, 2012: 76).
            Untuk membahas prinsip filsafat Mulla Sadra mengenai jiwa, perlu kiranya diketahui bahwa terdapat beberapa prinsip utama pembentuk filsafatnya. Sebab, seluruh prinsip filsafat berikutnya bersandarkan pada prinsip ini. Prinsip-prinsip tersebut, di antaranya adalah (periksa: al-Walid, 2012: 34—43):
1.      Prinsipalitas Wujud (Ashalatul Wujud): wujud merupakan realitas dasar yang paling nyata dan jelas (badihi). Tidak ada apapun yang dapat membatasi wujud sehingga tidak mungkin seseorang dapat memberikan suatu definisi kepada wujud. Beranjak dari wujud yang jelas ini, Mulla Shadra masuk pada salah satu tema pokok ontologinya, bahwa antara wujud dan kuiditas berbeda dalam alam pikiran, sedangkan di luar hanya terdapat satu realitas, maka manakah yang lebih real dan hakiki, wujud atau kuiditas? Dalam hal ini, Sadra beranggapan bahwa wujudlah yang utama dan real, sedangkan kuiditas hanyalah aksiden atau hanya abstraksi mental.
2.      Tasykikul Wujud (Gradasi Wujud): ambiguitas wujud merupakan gambaran wujud tunggal yang memiliki gradasi berbeda, disebabkan oleh tingkatan kualitas yang ada pada wujud tersebut. Hal ini menyebabkan wujud tersebut memiliki dua sifat pada saat bersamaan, yaitu ketunggalan (univok) dan pluralitas (ekuivok) yang dalam istilah Mulla Sadra disebut dengan “Pluralitas dalam ketunggalan dan ketunggalan dalam pluralitas”.
3.      Kontinuitas Wujud: dalam konteks ini, Mulla Sadra menegaskan bahwa tidak ada perulangan wujud dan kembalinya sesuatu yang tiada (Laa tikrara fi al-wujud wa imtina’ I’adati al-ma’dum). Sadra mengemukakan argumentasi ketidakmungkinan lenyapnya sesuatu yang telah mewujud dan kembali mewujud setelah tiada.
4.      Wujud Mental: jika kita membayangkan sesuatu yang tidak memiliki realitas pada wujud eksternal (seperti gunung emas, lautan air raksa, bersatunya dua hal yang bertentangan) tidak mungkin wujud tersebut terjadi pada realitas eksternal. Pastilah sesuatu itu mewujud di suatu tempat lain yang disebut dengan mental.

Definisi Jiwa
            Jiwa merupakan gambaran dari substansi yang secara zatnya nonmateri, tetapi bergantung dengan materi dalam aktualisasi eksternalnya (al-Walid, 2012: 76).
Alam Ilmu
Ahadiyyah / Keesaan
Wahidiyyah /Kesatuan
Jabarut / Ruh
Malakut / Imajinal
Nasut / Materi
………………………………….
Ket :
1. Ahadiyyah   : Alam ketungalan/keesaan 
2. Wahidiyyah  : Alam kesatuan
3. Jabarut        : Alam malaikat/ruh
4. Malakut       : Alam imajinal
5. Nasut           : Alam materi
Alam Eksternal
 







Lima kehadiran illahi menurut Ibnu ‘Arabi.

Proses Kebersamaan Jiwa dan Raga
            Mulla Sadra menegaskan kebaruan jasmani dan keabadian jiwa (Jasmaniyatul Huduts wa Ruhaniyyatul Baqa). Maksudnya, proses terjadinya jiwa yang bersifat baru dan berasal dari fisik atau materi, dan selanjutnya mengalami proses kesempurnaan melalui gerakan substansial (Harakah Jauhariyyah) dan kemudian menyempurna menjadi ruhani serta tetap abadi pada kondisi tersebut.
Menurut Mulla Sadra, jiwa terjadi bersamaan dengan terjadinya fisik dan sama-sama berasal dari potensi awal. Ketika materi pertama terbentuk, ada dua unsur utama yang membentuk materi tersebut, yaitu forma dan dasar materi (Hayula). Perkembangan forma inilah yang kemudian teraktualisasi menjadi jiwa, sedangkan materi dasar teraktualisasi menjadi raga. Menurut Mulla Sadra, jiwa merupakan forma manusia yang muncul secara fisik dan abadi menjadi ruhani (Jasmaniyatul Huduts Ruhaniyyatul Baqa).
JIWA
FISIK
Raga
Materi pertama
Forma
Hayula (materi dasar)
Jiwa
 










 Jiwa itu aktual, tetapi untuk mengada dia membutuhkan materi.
Sementara materi sifatnya potensi, dan untuk mengaktual dia butuh jiwa.”
Perumpamaan yang digunakan Mulla Sadra terkait dengan kebersamaan jiwa dan tubuh adalah perahu dengan juru mudi. Perahu bagaimanapun kokoh dan indahnya takkan memberi manfaat apapun jika tidak ada juru mudi. Kehadiran perahu tentu bergantung dengan keberadaan juru mudi. Begitulah diumpamakan hubungan antara tubuh dan jiwa. Tubuh sebagai forma fisik untuk dapat menghasilkan efek memerlukan forma lain selain dirinya yaitu jiwa.

Keterpisahan Jiwa dan Raga
Mulla Sadra menegaskan adanya dualisme dalam diri manusia. Menurut al-Walid (2012: 85—86) dualisme tersebut adalah:
Jiwa: sekalipun berkembang bersama raga pada awalnya, tetapi kemudian menjadi lokus bagi seluruh daya dan potensi.
Fisik: bersifat reseptif bagi aktualisasi seluruh daya dan potensi.
Relasi jiwa dan tubuh bersifat dualitas jika yang dilihat bahwa tubuh sebagaimana tubuh memiliki substansinya sendiri yang terpisah dari substansi jiwa namun relasinya ditetapkan ketika tubuh sebagai suatu substansi hanya bersifat reseptif dalam melahirkan efek-efek berupa daya-daya atau potensi-potensi yang lahir darinya (tubuh). karena tubuh bersifat reseptif maka ia memerlukan forma lain untuk mengaktualkan daya-daya tersebut yang tidak lain adalah jiwa. Dalam konteks ini, Mulla Sadra memberikan analogi antara Juru Mudi dan sebuah perahu. Juru Mudi adalah jiwanya,sedangkan perahu adalah raga/badannya. Perahu takkan bisa berfungsi walaupun kokoh dan indah tanpa adanya si juru mudi.

Daya-Daya Jiwa
            Ibnu sina membagi jiwa ke dalam tiga bagian (Dradjat, 2006: 47—49):
1. jiwa tumbuh-tumbuhan (al-Nafs al-Nabatat).
Daya-daya: tumbuh, makan (al-ghadiyah), berkembang biak (al-muwallidah).

2. jiwa binatang (al-nafs al- hayawaniyah).
Daya-daya: penggerak (al-muharikkah), persepsi/daya tangkap (al-mudrikah). Penggerak terbagi menjadi dua, penggerak karena dirinya menjadi penyebab (syahwat mendatangkan kenikmatan) dan emosional (menghindari bahaya). atau subjek Lebih jauh, daya tangkap ini terbagi lagi ke dalam: daya tangkap dari luar melalui pancaindera, dan dari dalam yang hanya dapat diserap oleh indera-indera dalam. Yang termasuk dalam jenis indera dalam adalah:
a). Indera Bersama (al-hiss al-musytarak), yakni indera-indera yang memiliki kemampuan atau daya menyerap apa saja melalui pancaindera,
b) Potensi Representasi (al-quwwah al-khayal), yaitu kemampuan yang dapat menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama,
c) Daya Imajinasi (al-quwwah al-mutakhayilah), yaitu daya menyusun apa yang tersimpan dalam representasi,
d) Daya Estimasi (al-quwwah al-wahmiyah), yaitu kemampuan menangkap hal-hal abstrak yang terbatas dari materi, misalnya keharusan bagi kambing lari dari serigala,
e) Daya Rekoleksi (al-quwwah al-hafizhah), suatu kemampuan menyimpan hal-hal abstrak yang diterima estimasi.

3. Jiwa Manusia (al-Nafs al-Nathiqah).
Jiwa manusia mempunyai dua daya, yakni kemampuan praktis (al-‘amilah) yang berhubungan dengan potensi tubuh dan daya teoritis (al-‘alimah al-nazhariyah) yang berhubungan dengan hal-hal abstrak.
Daya ini memiliki tingkatan-tingkatan:
1.      akal materi (al-‘aql al-hayulani) adalah akal yang semata-mata memiliki potensi untuk berpikir dan belum terlatih sedikitpun.
2.      Akal malakah (al-‘aql bi al-malakah) adalah akal yang mulai terlatih untuk berpikir tentang hal-hal yang abstrak.
3.      Akal aktual (al-‘aql bi al-fa’al) adalah akal yang bisa menjangkau hal-hal abstrak, dan
4.      Akal Mustafad (al-‘aql al-mustafad) adalah akal yang mampu berpikir tentang perkara abstrak dan menyimpan di dalamnya.
Kualitas manusia didasarkan dominasi daya-daya tersebut di atas. Dan daya yang mendominasi akan membentuk karakter jiwa sekaligus sebagai dasar pembentuk raga berikutnya. Konsep inilah yang digunakan Mulla Sadra sebagi prinsip reinkarnasinya.



Daftar Pustaka
Dradjat, Amroeni. 2006. Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu. Jakarta: Erlangga.
Hanafi, Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Walid, Khalid. 2012. Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat. Jakarta: Sadra Press.



Share This

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By Blogger Templates