Oleh:
Akhmad Fauzi, S.Hi., M.A.
Pamula
Pembahasan mengenai “Yang Ada” merupakan perbalahan panjang para filsuf semenjak Yunani hingga tradisi filsafat Islam lahir. Masing-masing filsuf memiliki pendapat berbeda dalam mengemukakan pemikirannya. Namun, mereka memiliki argumentasinya masing-masing untuk membenarkan pandangannya.Dalam filsafat umum, pembahasan mengenai Yang Ada atau Causa Prima merupakan tema sentral yang seringkali kita temui. Kajian tentang Yang Ada dalam filsafat umum juga dikenal dengan Filsafat Ketuhanan. Adapun pokok bahasan dalam kajian tersebut adalah Tuhan sebagaimana dikenal oleh akal (Fahham, 2012: 8). Sementara itu, Dalam konteks filsafat Islam, tema ketuhanan merupakan bahasan sentral yang berupaya membuktikan keberadaan Tuhan. Hal yang dilakukan oleh para filsuf muslim bukanlah meragukan keberadaan Tuhan melainkan menopang iman kepada Tuhan dengan argumentasi filosofis.
Pembahasan mengenai “Yang Ada” merupakan perbalahan panjang para filsuf semenjak Yunani hingga tradisi filsafat Islam lahir. Masing-masing filsuf memiliki pendapat berbeda dalam mengemukakan pemikirannya. Namun, mereka memiliki argumentasinya masing-masing untuk membenarkan pandangannya.Dalam filsafat umum, pembahasan mengenai Yang Ada atau Causa Prima merupakan tema sentral yang seringkali kita temui. Kajian tentang Yang Ada dalam filsafat umum juga dikenal dengan Filsafat Ketuhanan. Adapun pokok bahasan dalam kajian tersebut adalah Tuhan sebagaimana dikenal oleh akal (Fahham, 2012: 8). Sementara itu, Dalam konteks filsafat Islam, tema ketuhanan merupakan bahasan sentral yang berupaya membuktikan keberadaan Tuhan. Hal yang dilakukan oleh para filsuf muslim bukanlah meragukan keberadaan Tuhan melainkan menopang iman kepada Tuhan dengan argumentasi filosofis.
Permasalahannya
kemudian, selama ini umat muslim sudah cukup jelas mendapatkan informasi ihwal
Tuhan dan segala yang berhubungan dengan-Nya dalam kitab suci Quran dan Sunnah/Hadis?
Lalu, mengapa para filsuf muslim mesti melakukan kajian filosofis terhadap
masalah ketuhanan? Tidak memuaskankah informasi tentang Tuhan yang termaktub
dalam kitab-kitab tersebut?
Di tengah permasalahan
serta “perbalahan” tersebut, Abu Yusuf Ya’qub b. Ishaq Al-Kindi (l.801—w.873 M),[2] merupakan
sosok yang digadang-gadang sebagai filsuf Arab-Muslim awal yang mencoba
menguraikan pandangannya tentang keberadaan Tuhan berdasarkan penciptaan (creation
ex nihilo). Berdasarkan dalil penciptaan yang ditelaahnya melalui Quran,
Al-Kindi menolak Aristotelian yang meyakini keabadian alam semesta dan materi.
Oleh sebab itu, ia berupaya untuk mendemonstrasikan secara filosofis bahwa alam
semesta mulai ada dalam
waktu yang terbatas. Karenanya, pasti ada Pencipta (creator) yang
membawa alam semesta menjadi ada dari ketiadaan (al-mubdi).[3]
Bukti Keberadaan Tuhan Menurut Al-Kindi
Al-Kindi mengajukan beberapa
argumentasi mengenai keberadaan Tuhan seperti dideskripsikan sebagai berikut:
1. Keterbatasan Alam Semesta (Jasad [body], Waktu [time],
dan Gerak [motion])
Menurut Fahham (2012: 32), bukti
pertama keberadaan Tuhan dalam pandangan Al-Kindi didasarkan pada premis bahwa
alam semesta itu terbatas dari sudut jasad (body), waktu (time),
dan gerak (motion). Melalui Magnum Opus-nya, Fi al-Falsafah al-Ula (Tentang Filsafat Pertama), Al-Kindi mencoba membantah keabadian jasad dengan menyatakan bahwa jasad memiliki “genus”
dan “spesies”. Menurutnya, sesuatu yang abadi tidaklah memiliki subjek,
predikat, dan genus. Dalam konteks ini, ia menegaskan bahwa “karena jasad memiliki genus dan
spesies (sementara yang
abadi tidak punya genus), maka jasad tidaklah abadi”.
Setelah itu, ia membuktikan bahwa jasad alam semesta adalah terbatas dan karena
itu jasad alam semesta diciptakan.
Menurut Atiyeh dalam bukunya Al-Kindi:
The Philosopher of the Arab (dalam Fahham, 2012: 33) Al-Kindi
menyatakan
pandangannya sebagai berikut:
"Sekarang, jika kita
mengambil sebagian dari jasad yang disebut tidak terbatas, maka sisanya bisa terbatas dan
keseluruhannya tidak, atau sisanya terbatas dan keseluruhannya juga tak
terbatas. Jika keseluruhannya itu terbatas dan kemudian kita tambahkan padanya
apa yang telah terambil, hasilnya akan menjadi jasad yang sama seperti
sebelumnya, yakni jasad yang tak terbatas. Hal tersebut akan diimplikasikan
bahwa yang tak terbatas adalah lebih besar dari yang tak terbatas, dan itu
adalah rancu. Dan ini juga secara tidak langsung akan berarti bahwa seluruhnya
itu identik dengan bagian, hal mana adalah kontradiktif. Karena itu sebuah
jasad yang aktual haruslah terbatas
secara niscaya. Alam semesta betul-betul ada (aktual), karenanya ia harus terbatas, dalam
arti bahwa ia dicipta."
Menurut Kartanegara (2007: 19), setelah
menunjukkan keterbatasan
jasad alam semesta, Al-Kindi lalu mengemukakan penciptaan waktu dan gerak, yang
dianggapnya sebagai dua hal yang niscaya tidak dapat dipisahkan dari alam
semesta. “Karena jasad alam semesta” telah dibuktikan terbatas, gerak dan
waktu, sebagai dua hal yang harus bersamaan (concomintant), haruslah
juga terbatas” dan karenanya diciptakan. Argumentasinya dalam menolak keabadian
waktu, ia berujar:
“Jika ‘masa lalu’ tanpa sebuah permulaan itu mungkin, ia tidak bisa
sampai pada “saat ini”karena hal tersebut akan mengatakan secara tidak langsung
bahwa yang tidak terbatas tidak bisa menjadi aktual (comes into actuality),
karena yang tidak terbatas tidak bisa‘dilintasi’(cannot be tranversed); dan
mengatakan bahwa ‘masa kini’ telah melalui sejumlah saat tak terhingga akan
sama dengan menyatakan bahwa yang tak terbatas telah dilintasi. Karena itu,
waktu adalah terbatas dan diciptakan.”
Adapun gerak, karena tidak dapat
dipisahkan dengan waktu maka ia haruslah terbatas. Pendapat Al-Kindi tentang
ketidakterpisahan gerak dinyatakannya sebagai berikut:
“Jika ada gerak di sana pasti ada waktu; dan jika tidak ada gerak,
niscaya tidak akanada waktu.”
Pendapat Al-Kindi di atas,
dikemukakan untuk membangun fondasi filosofisnya yang berdasarkan pada
keyakinan bahwa alam semesta diciptakan dari tiada (creatio ex nihilo).
Al-Kindi menyatakan, “Tuhan itu Esa, pencipta dari tiada (al-mubtadi’) yang mempertahankan atau memelihara
keberadaan segala sesuatu yang telah Dia ciptakan dari tiada”. Seusai membantah
segala kemungkinan abadinya alam semesta dari sudut jasad, waktu, dan gerak,
dan mengarahkan kepercayaannya pada penciptaan dari tiada, ia menyimpulkan
bahwa alam semesta dicipta dalam waktu (muhdats) (Kartanegara, 2007: 20).
Argumen yang pada dasarnya
menekankan kesementaraan alam semesta, sebenarnya telah digunakan oleh para
teolog dibandingkan dengan para filsuf. Dan pendapat yang dikemukakan oleh para
teolog dalam membuktikan kesementaraan (temporality) alam semesta, kata
Majid Fakhry, “ialah dengan cara menunjukkan bahwa alam yang mereka definisikan
sebagai segala sesuatu selain Tuhan, itu terdiri dari atom-atom dan
aksiden-aksiden. Aksiden-aksiden tersebut dikenal dengan ‘aradh yaitu
bahwa semua benda mengalami perubahan keadaan yang bermacam-macam, baik yang
berupa bentuk, warna, gerakan, bergantian, surut, dan perubahan-perubahan
lainnya.[4]
Setiap aksiden
hanya bisa bertahan sesaat, dan harus dicipta secara terus menerus oleh Tuhan
yang menciptakan dan menghancurkan semuanya. Dalam hal ini, Al-Kindi, sebagai seorang
filsuf yang berorientasi pada teologi, menolak dengan tegas konsep apapun yang
mengimplikasikan keabadian alam semesta, sebagaimana dipertahankan oleh
Aristoteles dan para pengikutnya—dan sampai taraf tertentu juga oleh kaum
Neo-Platonis Muslim setelah Al-Kindi.[5]
2. Argumentasi Al-Kindi Berdasarkan pada Ide Keesaan Tuhan
(Keanekaan Alam Wujud)
Argumentasi berikutnya berkaitan
dengan telaah Al-Kindi terhadap Konsep Keesaan Tuhan. Al-Kindi berupaya menunjukkan
bahwa alam yang tersusun (murakkab) dan beragam (katsrah) itu
sesungguhnya tergantung (secara mutlak) pada satu sebab yang di luar alam; satu
sebab itu, tidak lain adalah zat Tuhan Yang Esa (Al-Dzat Al-Ilahiyyah
Al-Wahid). Dalam konteks ini, Al-Kindi menyatakan:
“Objek inderawi dan keanekaan harus merupakan satu kelompok dari
satuan-satuan tunggal, maka niscaya bahwa tidak akan pernah ada (yang namanya)
keanekaan. Jika seandainya tidak ada kesatuan, keanekaan tidak akan pernah
memiliki wujud. Karenanya, setiap perwujudan semata-mata hanya akibat (effect),
yang mana akibat ini mewujudkan sesuatu yang tidak ada menjadi ada; dan
konsekuensinya, emanasi (pancaran)kesatuan dari Yang Maha Esa, Yang Mahaawal
adalah terwujudnya setiap objek inderawi dari sesuatu yang dilekatkan pada
objek inderawi tersebut; dan (Yang Maha Esa) menyebabkan setiap dari objek itu
menjadi ada melalui wujud-Nya. Oleh sebab itu, sebab kejadian (sesuatu itu)
adalah kembali kepada Yang Maha Esa, yang tidak memeroleh kesatuan dari
seeorang pemberi (donor), tetapi melalui esensi (Dzat)-Nya.”
3. Argumentasi Al-Kindi Berdasarkan pada Ide Bahwa Sesuatu Tidak Bisa Secara Logika
Menjadi Penyebab Bagi Dirinya
Selanjutnya, Al-Kindi mengemukakan argumentasinya bahwa secara
logika sesuatu tidak dapat menjadi penyebab bagi dirinya. Dalam Fahham (2012:
35), Al-Kindi mengajukan ide tersebut dengan menolak empat keadaan yang
mengatakan bahwa sesuatu bisa menjadi sebab bagi dirinya. Adapun keempat
situasi tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:[6]
a)
Sesuatu yang menjadi sebab bagi dirinya mungkin tiada, dan esensinya juga tiada. Dalam hal ini, tidak ada sebab maupun yang disebabkan, karena sebab
dan akibat dinisbahkan hanya pada yang ada;
b)
Sesuatu mungkin tidak ada tapi esensinya ada. Dalam konteks ini, berarti bahwa sesuatu itu tidak ada, dan
sesuatu yang tidak ada bukanlah sesuatu (nothing). Kemudian, jika
sesuatu yang tiada merupakan sebab bagi dirinya, maka pada waktu yang bersamaan
(ia) adalah dirinya dan juga berbeda dengan dirinya. Akan tetapi, hal tersebut
amat kontradiktif;
c)
Sesuatu mungkin ada dan esensinya tiada. Sesuatu
mungkin ada dan esensinya tiada. Di sini, kita akan menemukan kontradiksi yang
sama; dan
d)
Sesuatu mungkin ada dan esensinya juga ada. Argumentasi
ini hendak menunjukkan bahwa esensi seuatu itu berbeda dengan dirinya (hal mana
adalah tidak mungkin). Atau, sesuatu yang sama akan menjadi sebab dan sekaligus
akibat (yang juga akan merupakan suatu kontradiksi dalam istilah). Karena itu,
untuk mengatakan bahwa sesuatu benda yang ada dan yang esensinya juga ada
sebagai sebab bagi dirinya adalah rancu.
Penyanggahan Al-Kindi atas penolakan
di atas, ia kemudian berkesimpulan bahwa karena ketidakmampuan sesuatu untuk
menjadi penyebab bagi dirinya, maka segala sesuatu secara niscaya memerlukan sebab luar untuk mewujudkan
dirinya. Akan tetapi, sebab luar tadi juga tidak mampu untuk mewujudkan
dirinya. Oleh karena itu, sebab luar itupun memerlukan sebab lain untuk
mewujudkan dirinya. Kondisi ini akan terjadi secara terus-menerus hingga
rangkaian sebab tersebut mencapai sebab terakhir yang tidak tersebabkan, yakni
sebab sejati dan terakhir dari penciptaan, yang kita rujuk sebagai Tuhan
sebagai sebab satu-satunya yang sejati dan nyata dari alam semesta.
Bukti keempat didasarkan pada
perumpamaan antara jiwa (nafs) yang terdapat di dalam jasad manusia
dengan Tuhan yang merupakan sandaran bagi alam.
“Sebagaimana mekanisme tubuh manusia yang
teratur (al-nizham) mennunjukkan adanya kekuatan yang tak nampak, yang disebut jiwa, demikian juga
mekanisme alam semesta yang berjalan secara
teratur (al-tadbir)
dan serasi, mengisyaratkan adanya seorang administrator (mudabbir) yang mengaturnya.”
5. Argumentasi Al-Kindi Melalui Keteraturan Alam
Al-Kindi
menyandarkan bukti kelima pada rancangan (al-inayah), keteraturan (al-hikmah),
dan tujuan (al-ghayah) dari alam. Berikut argumentasi Al-Kindi:
“Susunan yang mengagumkan pada alam
semesta ini: keteraturannya, interaksi yang selaras atas bagian-bagiannya, cara
yang menakjubkan di mana beberapa bagian tunduk kepada pengarahan bagian-bagian
lainnya, pengaturan yang begitu sempurna sehingga yang terbaik selalu
terpelihara dan terburuk selalu terbinasakan. Semua ini adalah petunjuk yang
paling baik tentang adanya suatu pengatur yang paling cerdas.”
Berdasarkan
kutipan pernyataan Al-Kindi di atas, dapat dikatakan bahwa pengatur paling
cerdas yang mengatur, menertibkan, dan menyelaraskan mekanisme alam itulah yang
disebutnya sebagai Tuhan.
Pamunah
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, Al-Kindi mencoba menunjukkan bahwa alam semesta, karena
diciptakan, haruslah mempunyai seorang pencipta. Sebagaimana pembahasan di atas,limaargumentasi keberadaan Tuhan menurut
Al-Kindi dapat disimpulkan sebagai berikut:
(1) Argumen pertama, bersandar pada premis bahwa
alam semesta adalah terbatas dan diciptakan dalam waktu. Yang ditunjukkan bahwa
alam semesta adalah terbatas dari sudut jasad, waktu dan gerak, yang berarti
bahwa ia haruslah diciptakan, yaitu menurut hukum kausalitas;
(2) Argumen kedua, didasarkan pada ide Keesaan
Tuhan, menunjukkan bahwa segala sesuatu yang tersusun dan beragam tergantung
secara mutlak pada Keesaan Tuhan, adalah sebab terakhir dari setiap obyek
inderawi memancar, dan ia yang membawa setiap obyek tersebut menjadi wujud;
(3) Argumen ketiga, pada dasarnya bersandar pada
ide bahwa sesuatu tidak bisa secara logika menjadi penyebab bagi dirinya;
dengan penyangkalan empat yang menjadi sebab bagi dirinya sendiri:
a)
Sesuatu yang menjadi sebab bagi dirinya mungkin tiada dan esensinya juga
tiada;
b)
Sesuatu mungkin tidak ada tapi esensinya ada;
c)
Sesuatu mungkin ada dan esensinya tiada;
d)
Sesuatu mungkin ada dan esensinya juga ada.
(4) Argumen keempat, yang bersandar pada argument a
novitate mundi (dalil al-huduts), didasarkan kepada analogi antara
mikrokosmos (badan manusia) dan mikrokosmos (alam semesta); dan
(5) Bukti kelima disandarkan pada rancangan (al-inayah),
keteraturan (al-hikmah), dan tujuan (al-ghayah) dari alam. Dikatakannya bahwa pengatur paling cerdas yang mengatur, menertibkan, dan menyelaraskan
mekanisme alam itulah yang disebutnya sebagai Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Craig, William
Lane. 1980. The Cosmological Argument from Plato to Leibniz. Oregon:
Harper and Row Publishers Inc.
Fahham, Achmad
Muchaddam. 2012. Tuhan dalam Filsafat Allamah Thabathaba’i. Yogyakarta:
Rausyan Fikr Institute.
Hanafi, Ahmad. 1974. Theologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Kartanegara,
Mulyadhi. 2007. Nalar Religius: Menyelami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia. Jakarta:
Erlangga.
Nasution, Harun. 1996. Islam Rasional. Bandung: Mizan.
Walzer, Richard.
1962. Greek into Arabic: Essays on Islamic Philosophy Oriental Studies. Oxford:
Bruno Cassier.
[1] Makalah ini dipresentasikan dalam mata kuliah God in Islamic Philosophy,
ICAS-Paramadina University Jakarta, Jumat, 10 April 2015.
[2]Sila
baca biografi lengkapnya di http://multazam-einstein.blogspot.com/2013/11/filsafat-islam-al-kindi.html
[3]
Teks aslinya: Deeply committed to the doctrine of creation found in the
Qur'an, al-Kindi rejected the Aristotelian belief in the eternity of the
universe and matter; accordingly, he attempted to demonstrate philosophically
that the universe began to exist a finite time ago, and therefore that there
must have been a Creator who brought the universe into being out of nothing. Richard
Walzer, “New Studies on Al-Kindi,” in Richard Walzer,Greek into Arabic:
Essays on Islamic Philosophy,OrientalStudies (Oxford:BrunoCassier,1962),p.189.
[5]
Majid Fakhri mengatakan: bahwa tesis Hellenis dan Hellenistik tradisional
tentang alam semesta yang abadi telah diajukan oleh Aristoteles dan Proclus.
Lihat Majid Fakhri, A History Of Islamic Philosophy, (New York: Columbia
University Press and Longman, 1983), 137.
[6]Teks
aslinya: “We may summaries his argument as follows: If a thing is the cause
of itself, than either (1) the thing may be non-existent and its essence
non-existence, (2) the thing may be non-existent and its essence existence, (3)
the thing may be existent and its essence non-existence, (4) the thing may be
existent and its essence existence. William Lane Craig, The Cosmological
Argument from Plato to Leibniz, (Oregon: Harper and Row Publishers Inc.,
1980), hlm. 73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar