Mendengar
nama Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya
Pram), bagi sebagian orang mengacu kepada
nama seorang sastrawan yang kerap dicap berideologi komunis. Jaksa Agung pada
1980-an (di era Orde Baru), misalnya, mengklaim bahwa roman Bumi Manusia sebagai karya yang
menyebarkan paham Marxisme-Leninisme sehingga Bumi Manusia sempat dilarang tahun 1981. Selain Jaksa Agung, Taufiq
Ismail dan D.S. Moeljanto adalah tokoh yang gencar menyerang Pramoedya sebagai
sastrawan yang berafiliasi pada ideologi Marxisme-Leninisme. Dalam buku Prahara Budaya, yang ditulis oleh Taufiq
Ismail dan D.S. Moeljanto (1995: 71),
dinyatakan, “Surga dunia di Rusia tahun
1960, yang dipuja Pramoedya, itu tidak ada. Sayang sekali sastrawan terkemuka
Indonesia telah berhasil dibina Uni Sovyet menjadi corong propaganda ideologi
Marxisme-Leninisme, dan belakangan, menjelang gestapu (Gerakan September Tiga Puluh—Gema),
dirangkul oleh RRC.”
Karena
banyak pihak yang menyerangnya, maka sejumlah karya Pram dilarang oleh Jaksa
Agung di era Orde Baru. Roman Tetralogi Buru, yang dicap sebagai karya penyebar
paham komunisme, terdiri atas Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Roman Rumah Kaca
sendiri, dilarang oleh Jaksa Agung Sukarton pada 8 Juni 1988. Sebetulnya,
selain Pramoedya masih banyak sejumlah buku yang dilarang oleh Jaksa Agung di
era Orde Baru. Di antaranya adalah Memoar
Oei Tjoe Tat (1995), dan Bayang-bayang
PKI (1995), oleh Institut Studi Arus Informasi, yang dilarang karena berbau
politis.
Berdasarkan
kasus tersebut, saya pun
tertarik untuk melakukan
kajian atas salah satu roman yang
pernah dilarang oleh Kejaksaan
Agung pada 1981 (Toer,
2009: 1) itu, yakni roman Bumi Manusia karya Pram. Bumi Manusia ditulis Pram tahun 1975, dalam periode
Orde Baru. Sebelum karya ini ditulis, Pramoedya menceritakannya terlebih dahulu
(secara lisan) kepada teman-temannya ketika ia di penjara, di bawah
pemerintahan Orde Baru, pada 1973. Seperti telah disinggung di atas, roman ini
sempat dilarang Jaksa Agung pada 1981, di era Orde Baru lantaran dianggap menyebarkan paham Komunisme dalam
sastra. Meskipun demikian, hingga saat ini roman
tersebut telah diterjemahkan ke dalam tiga puluh bahasa (Toer, 2009:5).
Dengan
setting cerita di Jawa Timur, pada
abad ke-19 menjelang awal abad ke-20, dalam karyanya ini Pramoedya bercerita
tentang bibit pergerakan nasional. Melalui tokoh Minke, seorang pelajar Hogere Burgerschool (HBS), Pram
menggambarkan perjalanan seorang Bumiputera yang memiliki kesadaran dalam
menyikapi bangsanya. Kesadaran tokoh bernama
Minke tersebut, merupakan cikal bakal terbentuknya
pergerakan bangsa dan nasion Indonesia.
Berkat
karyanya ini, Pram banyak menuai penghargaan dari luar
negeri. Prestasinya di gelanggang sastra dan kebudayaan telah menghasilkan
berbagai penghargaan internasional. Di antaranya, The PEN Freedom-to-write
Award pada 1998; Ramon Magsaysay Award pada 1995; Fukuoka Cultur Grand Price,
Jepang pada 2000; The Norwegian Authors Union pada 2003. Di samping itu,
namanya sering kali masuk dalam daftar kandidat pemenang Nobel Sastra. Walaupun
begitu, cap komunis masih lekat pada dirinya, sekalipun pada 1979 Pramoedya
mendapat surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI (Toer, 1995: 315).
Sebaliknya,
di negerinya sendiri ia justru menjadi tahanan politik di era Orde Baru selama
empat belas tahun (1965—1979). Bahkan, sejak 1979 hingga 1999, ia masih
dikenakan sebagai tahanan rumah, tahanan kota, dan tahanan negara, dan wajib lapor
ke Komando Distrik Militer (KODIM) Jakarta Timur, satu kali seminggu, selama
dua tahun (Toer, 2009: 1). Akan tetapi, bagaimanakah
ungkapan bahasa Pram dalam Bumi Manusia? Apakah terdapat indikasi ideologi
Komunisme dalam tulisan Pram? Bukankah yang tampak justru nilai-nilai
nasionalisme yang sangat kental, karena Pram menggambarkan sebuah negeri
jajahan yang memperjuangkan pembebasan dari praktek kolonialisme?
Pram dan
Nasionalisme
Sejumlah permasalahan yang
dibentuk Pram dalam novelnya ini tidak semata sebagai karya tanpa latar
belakang. Karya sastra, setidaknya
merupakan sarana bagi pengarang untuk meluapkan perasaan yang menyesakkan
batinnya. Sebab, melalui sastra kata-kata tercipta untuk menjadi pedang perlawanan
dan perisai pertahanan diri si pengarang.
Sehubungan
dengan pernyataan Pram terhadap reaksi atas sistem kolonialisme dan pergerakan
nasional yang tercermin dalam Bumi
Manusia, maka hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari konsep nasionalisme. Nasionalisme adalah suatu paham yang menganggap bahwa
kesetiaan tertinggi atas setiap pribadi (individu) harus diserahkan kepada
negara-kebangsaan. Adapun dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1988:610), nasionalisme adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan
negara sendiri. Sementara, dalam Kamus Politik, nasionalisme adalah perasaan atas dasar kesamaan asal-usul, rasa
kekeluargaan, rasa memiliki hubungan-hubungan yang lebih erat dengan sekelompok
orang daripada dengan orang-orang lain, dan mempunyai perasaan berada di bawah
satu kekuasaan. Nasionalisme diperkuat oleh adanya tradisi, adat-istiadat,
dongeng-dongeng, dan mitos-mitos, serta oleh satu bahasa yang sama; semangat
kebangsaan (Ismatullah dan Gatara, 2007: 140).
Lebih
lanjut, Berdasarkan proses
pembentukannya, nasionalisme menurut Nurcholis Madjid (dalam Ismatullah dan
Gatari, 2007: 141), mengandung beberapa prinsip umum, antara lain:
1.
kesatuan (unity), yang mentransformasikan hal-hal
yang polimorfik menjadi monomorfik sebagai produk proses integrasi;
2.
kebebasan (liberty), khususnya bagi negeri-negeri
jajahan yang memperjuangkan pembebasan dari kolonialisme;
3.
kesamaan (equality), sebagai bagian implisit dari
masyarakat demokratis yang merupakan antitesis dari masyarakat kolonial yang
diskriminatif dan otoriter;
4.
kepribadian (identity), yang lenyap karena negasi
kaum kolonial; dan
5.
prestasi amat
diperlukan untuk menjadi sumber inspirasi dan kebanggan bagi warga negara.
Berdasarkan sejumlah ciri-ciri
nasionalisme menurut Nurcholis Madjid di atas, kiranya banyak terdapat dalam Bumi Manusia. Misalnya, prestasi yang
diraih oleh seorang pribumi, yakni pada tokoh Minke sebagai siswa terbaik HBS
di Surabaya. Minke melampaui para siswa lainnya yang berdarah indo maupun Eropa
totok. Hal ini, sengaja Pram ungkapkan melalui Bumi Manusia agar bangsanya menyadari bahwa bangsa Indonesia mampu
bersaing dengan bangsa lain, bahkan melampaui bangsa-bangsa lainnya. Artinya,
tindakan bahasa Pramoedya lebih mengungkapkan isu pembentukan nasionalisme ketimbang komunisme.
Semangat Nasionalisme
Pram dalam Bumi Manusia
Pertama, mari kita lihat pembelaan diri seorang Pram
melalui ungkapan tokoh Nyai
Ontosoroh kepada Minke mengenai orang-orang Eropa. Dalam hal ini, dikisahkan bahwa sejumlah
media massa cetak milik Belanda di
Surabaya menuduh Nyai Ontosoroh berindikasi melakukan pembunuhan terhadap
Herman Mellema, yang meninggal keracunan minuman keras. Dari tuduhan yang
mengalir tersebut, Nyai Ontosoroh menyatakan kegeramannya.
“Tak
bisa mereka melihat Pribumi tidak penyek terinjak-injak kakinya. Bagi mereka
Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi pribumi pun sudah salah.
Dilahirkan sebagai Pribumi lebih salah lagi. Kita menghadapi keadaan yang lebih
sulit, Minke, anakku!” (Bumi Manusia,
2009: 413)
Berdasarkan
tindak ilokusi menyangka, kutipan di atas diberi pemaknaan sebagai ekspresi
luapan Pram terhadap perlakuan orang Eropa kepada bangsa kita. Kaum pribumi
adalah objek utama yang menjadi bulan-bulanan tatkala permasalahan sosial
hadir. Pada ungkapan, “Bagi mereka
Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi pribumi pun sudah salah,”
adalah pernyataan Pramoedya terhadap orang Eropa yang dengan sewenang-wenang
menganggap Pribumi sebagai bangsa yang hina dan selalu salah. Dalam kutipan tersebut tampak
tercermin rasa kepedulian Pram terhadap bangsanya yang mengalami penderitaan
sebagai dampak dari penjajahan. Dalam hal ini, ia hendak menegaskan, bahwa dirinya menentang
keras tindak diskriminatif dan otoriter.
Di samping itu, perlawanan Pramoedya sebagai pernyataan
sikapnya terhadap sistem penjajahan, juga tercermin pada tokoh Minke berikut,
yang mulai menyadari bahwa bangsa Eropa tidak berlaku adil bagi bangsanya.
“Benar, ini tak lain dari perkara
bangsa kulit putih menelan Pribumi, menelan Mama, Annelies dan aku. Barangkali
ini yang dinamai perkara kolonial—sekiranya penjelasan Magda Peters
benar—perkara menelan Pribumi bangsa jajahan.” (Bumi Manusia, 2009: 495)
Berdasarkan tindakan bahasa
Pram di atas, diberi pemaknaan bahwa praktek kolonialisme di Hindia-Belanda
hanyalah praktek menelan Pribumi sebagai bangsa jajahan. Dalam
kutipan tersebut, tampak Pram
menyuarakan aspirasinya terhadap negasi kaum kolonial yang hanya memihak kaum
tertentu saja yang memiliki hak istimewa. Dalam sejumlah perkara, pribumi
mustahil dapat memenangkannya. Pramoedya, menyadari hal itu. Meskipun tidak ada
bukti kaum pribumi tidak memiliki kesalahan, namun praktik kolonial yang
memiliki kekuasaan penuh terhadap rakyat pribumi dapat melakukan apa pun sesuai
kewenangannya. Akan tetapi, kewenangan tersebut seringkali disalahgunakan hanya
untuk membungkam kaum pribumi yang berani melawan. Bahkan, kebebasan
berpendapat saat itu masih terbatas. Sebab, kaum pribumi pada saat itu masih
belum memiliki kesetaraan status dengan penduduk Eropa di Hindia-Belanda. Suatu catatan dalam
buku Nusantara Sejarah Indonesia (2010)
yang ditulis Vlekke, menjelaskan hal tersebut.
Vlekke (2010: 384) berkata
bahwa pada 1899 pemerintah Belanda telah memberikan warga negara Jepang
kesetaraan status dengan orang Eropa, dan setelah 1909 seorang Jepang memegang
jabatan konsul di Batavia. Terlebih lagi,
kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905 memperkuat wibawa Jepang di dunia
internasional. Hal ini, mendorong pemimpin-pemimpin Indonesia mencari
kesetaraan hak dengan penduduk Eropa di negeri mereka. Akan tetapi, barulah
pada 1900 pemerintah Batavia mulai mencurahkan energi besar pada perluasan
pengetahuan di kalangan orang Indonesia dan mendirikan sekolah Belanda dan
Indonesia berdampingan. Itupun, masih diwarnai dengan tindak diskriminasi dan
ecehan dari siswa Eropa terhadap siswa pribumi.
Pernyataan
Pramoedya berkenaan dengan perlawanannya terhadap sistem kolonialisme, juga
tercermin dalam tindak ekspositif melalui sebuah pengibaratan. Dalam hal ini,
Nyai Ontosoroh berucap kepada Minke ihwal perasaan kaum pribumi yang hendak
melawan kaum penguasa kolonial.
“Ya,
Nak, Nyo, memang kita harus melawan. Betapapun baiknya orang Eropa itu pada
kita, toh mereka takut mengambil risiko berhadapan dengan keputusan hukum
Eropa, hukumnya sendiri, apalagi kalau hanya untuk kepentingan Pribumi. Kita
takkan malu bila kalah. Kita harus tahu mengapa. Begini, Nak, Nyo, kita,
Pribumi seluruhnya, tak bisa menyewa advokat. Ada uang pun belum tentu bisa.
Lebih banyak lagi karena tak ada keberanian. Lebih umum lagi karena tidak
pernah belajar sesuatu. Sepanjang hidupnya Pribumi ini menderitakan apa yang
kita deritakan selama ini. Tak ada suara, Nak, Nyo—membisu seperti batu-batu
kali dan gunung, biarpun dibelah-belah jadi apa saja. Betapa akan ramainya
kalau semua mereka bicara seperti kita. Sampai-sampai langit pun mungkin akan
roboh kebisingan.” (Bumi Manusia,
2009: 499)
Pribumi yang tidak dapat
menyatakan suaranya tersebut, Pramoedya mengibaratkannya sebagai batu-batu kali
dan gunung yang selalu membisu. Bila semua batu-batu
yang membisu itu berbicara (kaum Pribumi), langit pun akan roboh kebisingan
(langit mengacu pada ketinggian—Eropa yang berkuasa). Berarti, Pramoedya
mengingatkan bahwa apabila integrasi antarbangsa-bangsa kaum pribumi di Hindia-Belanda
terjalin, maka bangsa-bangsa pribumi tersebut dapat melepaskan diri dari
belenggu penjajahan.
Berkaitan dengan
hal di atas, tampaknya Pramoedya tanpa tidak disengaja menggambarkan pernyataan
penolakannya terhadap kolonialisme. Tindak diskriminasi serta pemerasan
terhadap kaum pribumi, adalah sejarah kelam dari hasil yang dituai dari sistem
kolonialisme. Pramoedya menggambarkannya dengan adegan di mana Maurits Mellema,
berdasarkan wewenang pemerintah kolonial, berhak mendapatkan warisan Herman Mellema.
Padahal, warisan yang meliputi peternakan, perladangan, serta perusahaan itu
adalah hasil jerih payah seorang perempuan Pribumi, yakni Nyai Ontosoroh. Akan
tetapi, tindak diskriminatif berlaku bagi pribumi yang dianggap hina. Meskipun
Nyai Ontosoroh membangun dan menyukseskan perusahaan Boerderij Buitenzorg, namun hukum koloniallah yang berhak
memutuskan jatuh kepada siapa warisan tersebut. Hal ini, sejalan dengan yang
dikatakan oleh Hellwig dalam bukunya Citra
Kaum Perempuan di Hindia Belanda (2007: 38), bahwa seorang Nyai
boleh dikatakan tak punya hak apa pun, tidak punya hak atas anaknya, pun tidak
atas posisinya sendiri. Dari sini lah Pram menaswirkan bibit pergerakan nasional
kaum perempuan.
Bibit Pergerakan
Nasional Kaum Perempuan
Berhubungan
dengan analisis sebelumnya, kutipan di bawah ini merupakan gambaran bagaimana tokoh
Nyai Ontosoroh memulai kariernya sebagai pengusaha yang akan menyukseskan
perusahaan Boerderij Buitenzorg. Kutipan
berikut, adalah tindak memproklamirkan Nyai Ontosoroh kepada Annelies. Nyai
Ontosoroh menceritakan pengalaman kehidupannya ketika bersama Herman Mellema.
Ia tidak saja menceritakan pengalamannya pertama kali bertemu dengan Herman
Mellema, tetapi juga keberhasilannya dalam memeroleh ilmu pengetahuan dan
perusahaan.
“Dengan uang itu aku beli pabrik
beras dan peralatan kerja lainnya. Sejak itu perusahaan bukan milik Tuan
Mellema saja sebagai tuanku, juga milikku. Kemudian aku mendapat juga pembagian
keuntungan selama lima tahun sebesar lima ribu gulden. Tuan mewajibkan aku
menyimpannya di bank atas namaku sendiri. Sekarang perusahaan dinamai Boerderij
Buitenzorg. Karena semua urusan dalam aku yang menangani, orang yang
berhubungan denganku memanggil aku Nyai Ontosoroh, Nyai Buitenzorg.” (Bumi Manusia, 2009: 135)
Dalam kutipan “Sejak itu perusahaan bukan milik Tuan
Mellema saja sebagai tuanku, juga milikku”, Nyai Ontosoroh memproklamirkan
bahwa perusahaan itu juga miliknya. Kemudian, pada kalimat “Sekarang perusahaan dinamai Boerderij Buitenzorg. Karena semua urusan
dalam aku yang menangani …. ”, Nyai Ontosoroh memproklamirkan bahwa
semenjak semua urusan dalam perusahaan ditangani olehnya, perusahaan itu
dinamai Boerderij Buitenzorg. Lalu,
pada kalimat “ …. Orang yang berhubungan
denganku memanggil aku Nyai Ontosoroh, Nyai Buitenzorg”, adalah pernyataan
Nyai Ontosoroh yang bermakna sebagai pemegang perusahaan besar meskipun hanya
seorang Nyai.
Seorang
pengarang yang memiliki kesadaran nasional seperti Pramoedya, hendak
mengingatkan bahwa kaum pribumi pun mampu mandiri. Seperti halnya Nyai
Ontosoroh, kaum pribumi pun mampu menyerap ilmu pengetahuan, sehingga kiat-kiat
perdagangan mampu dilakoni oleh Nyai Ontosoroh, meskipun dirinya perempuan
pribumi. Dalam hal ini, Pramoedya bermaksud menyatakan bahwa bangsa-bangsa kaum
pribumi mampu menjalankan hidupnya atas dasar keringat dan kemampuan sendiri.
Di samping itu, pengalihan perusahaan atas nama Herman Mellema menjadi atas
nama Nyai Ontosoroh, sebagaimana tercermin dalam kutipan tindak memproklamirkan
di atas, penulis mengaitkannya dengan apa yang diistilahkan dengan
nasionalisasi asset asing menjadi milik bangsa.
Integrasi Bangsa-bangsa
Melawan Kekuatan Penjajah
Adapun
penggambaran sejumlah pergerakan bangsa-bangsa melawan penjajahan merupakan
salah satu semangat nasionalisme Pramoedya sebagai pengarang. Timbulnya
perlawanan bangsa Aceh pada Perang Aceh, merupakan peristiwa yang hendak
disampaikan Pramoedya sebagai salah satu contoh bibit pergerakan nasional
menuju integrasi. Kemudian, reaksi Nyai Ontosoroh dalam mempertahankan hak
asasinya sebagai manusia di muka persidangan, adalah maksud Pramoedya dalam
menyatakan bahwa bangsa-bangsa kaum pribumi mampu berjuang menjalankan hidupnya
atas dasar keringat dan kemampuan sendiri. Hal ini, merupakan perlawanan
terhadap sistem kolonial yang oleh Nurcholis Madjid dikatakan diskriminatif dan
otoriter. Lebih jauh, Pramoedya juga hendak menyampaikan melalui Bumi Manusia bahwa identitas kita
sebagai bangsa Indonesia tidaklah harus lenyap oleh negasi kaum kolonial.
Dengan demikian, Pramoedya menggambarkan
karakteristik orang Aceh, identitas orang Jawa, dan lain sebagainya semata agar
kita sebagai bangsa yang heterogen tidak melenyapkan adat serta tradisi yang
berlaku dalam tiap-tiap bangsa yang ada di Indonesia. Misalnya, seperti tindakan bahasa memproklamirkan yang
diutarakan oleh tokoh Minke
berikut,
“Pada
cermin kutemui diriku seperti satria pemenang dalam cerita Panji. Di bawah
bajuku menjulur selembar kain beledu tersulam benang emas. Jelas aku keturunan
satria Jawa maka sendiri seorang satria Jawa juga.” (Bumi Manusia, 2009: 198)
“Pengalaman di Aceh membikin ia mengakui: prasangkanya tentang kemampuan
perang Pribumi ternyata keliru. Kemampuan mereka tinggi, hanya peralatannya
rendah; kemampuan berorganisasi juga tinggi ... Prasangkaku, sekali waktu ia
bercerita, bahwa parang dan tombak, dan ranjau Aceh, takkan mampu menghadapi
senapan dan meriam, juga keliru. Orang Aceh punya cara berperang khusus. Dengan
alamnya, dengan kemampuannya, dengan kepercayaannya, telah banyak kekuatan
Kompeni dihancurkan. Aku heran melihat kenyataan ini, tambahnya lagi. Mereka
membela apa yang mereka anggap jadi haknya tanpa mengindahkan maut. Semua
orang, sampai pun kanak-kanak! Mereka kalah, tapi tetap melawan. Melawan,
Minke, dengan segala kemampuan dan ketakmampuan.” (Bumi Manusia, 2009: 86—87)
Dalam
ungkapan, ”Orang Aceh punya cara
berperang khusus. Dengan alamnya, dengan kemampuannya, dengan kepercayaannya,
telah banyak kekuatan Kompeni dihancurkan,” adalah tindakan bahasa
perlokusi meyakinkan Pramoedya bahwa orang Aceh juga punya cara berperang
khusus sehingga kekuatan musuh dapat dihancurkan. Mulai dari kanak-kanak pun
rela mati demi mempertahankan sesuatu yang dianggap menjadi haknya. Dalam tindak perlokusi, Pramoedya juga hendak mengajak
kita agar kita bangga menjadi anak bangsa, yang memiliki keberagaman dan
kekayaan budaya, bahasa, dan sumber daya alam yang dikagumi dan diakui oleh
dunia internasional. Hal ini, selaras dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang termaktub dalam Pancasila, yang berarti
“berbeda-beda suku, agama, dan ras namun tetap satu tujuan”.
Aspirasi Pram
Terhadap Nasionalisasi Aset
Pram agaknya menaruh kepedulian mendalam mengenai
sejumlah perusahaan Indonesia yang sebagian besar dikuasai bangsa asing, sebagaimana
tampak tercermin dalam kutipan berikut.
“Dengan uang itu aku beli pabrik
beras dan peralatan kerja lainnya. Sejak itu perusahaan bukan milik Tuan
Mellema saja sebagai tuanku, juga milikku. Kemudian aku mendapat juga pembagian
keuntungan selama lima tahun sebesar lima ribu gulden. Tuan mewajibkan aku
menyimpannya di bank atas namaku sendiri. Sekarang perusahaan dinamai Boerderij
Buitenzorg. Karena semua urusan dalam aku yang menangani, orang yang berhubungan
denganku memanggil aku Nyai Ontosoroh, Nyai Buitenzorg.” (Bumi Manusia, 2009: 135)
Dari kutipan di atas, tampak Pramoedya
menekankan perhatiannya terhadap permasalahan aset di Indonesia. Terdapat
banyak perusahaan yang berdiri di Indonesia, namun otoritas penuh dipegang oleh
pihak asing. Melalui kutipan ini, Pramoedya hendak menyatakan bahwa Pribumi pun
sebenarnya mampu mengelola aset-aset tersebut berdasarkan kemampuannya sendiri
tanpa bergantung kepada pihak asing. Melalui tokoh Nyai Ontosoroh, Pramoedya
menggambarkan seorang pribumi yang mampu menguasai aset asing dan Pramoedya
juga berharap agar pribumi pun hendaknya mengelola dan memiliki aset-aset asing
yang terdapat di Indonesia dengan kemampuan sendiri.
Pengaruh Lingkungan
Proses kreatif
kepengarangan Pramoedya, juga tampak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial
kehidupannya. Sebagaimana diketahui, Pramoedya lahir pada 6 Februari 1925, di
Blora, Jawa Tengah. Blora merupakan daerah bagian kelompok masyarakat Samin
yang dikenal antiperaturan kolonialis. Kahin
(1995: 56), misalnya, mengatakan bahwa salah satu contoh terbaik dari aksi
protes kaum tani diwujudkan oleh pergerakan Samin yang mulai dicetuskan pada
1890 di wilayah Blora, bagian Timur laut Jawa Tengah. Menjelang
tahun 1907, ketika pemerintah menangkap dan memenjarakan Samin beserta delapan
petani terkemuka lainnya, gerakan tersebut telah mencakup 3.000 kepala
keluarga. Sejak itu, gerakan tersebut terus menyebar, dan meskipun pada umumnya
melakukan perlawanan secara pasif terhadap kekuasaan pemerintah, toh
mengakibatkan beberapa kerusuhan yang serius di wilayah Pati, pada 1914.
Ciri pokok
pergerakan Samin ini adalah keinginan kaum tani untuk memeroleh kebebasan
menuntut jalan hidupnya sendiri tanpa campur tangan pemerintah, dan untuk
kembali kepada suatu organisasi sosial yang komunalistis berdasarkan atas
persamaan ekonomi antarindividunya, dan atas pemilikan tanah serta pemungutan
hasil secara wajar.
Hal di atas,
kiranya sedikit menerangjelaskan mengapa perlawanan Pramoedya terhadap sistem
kolonial dalam Bumi Manusia begitu
sengit. Seperti terdapat dalam Bumi Manusia, Pram tampak mengagungkan Max Havelaar karya Multatuli. Sebab, karya sastra yang menaruh
simpati terhadap penderitaan kaum Pribumi pada saat itu adalah Max Havelaar sekalipun penulisnya seorang
Belanda. Hal
ini menunjukkan bahwa semangat nasionalisme Pram tidak dipengaruhi oleh unsur
sentimen ras.
Pengejawantahan
penderitaan kaum Pribumi dan meningkatnya kesadaran politis ke dalam suatu
nasionalisme yang bisa mengemukakan pendapat, hanya tinggal menanti munculnya
seorang elite Indonesia untuk memimpinnya. Yang dimaksud dengan elite Indonesia
tersebut, adalah kaum bangsawan yang pada saat itu berhak memeroleh pendidikan
yang layak. Tokoh Minke dalam Bumi
Manusia, adalah kaum elite yang dimaksud. Sebab, sebagai anak bupati
Bojonegoro, ia memiliki banyak hak, tidak seperti kaum Pribumi lainnya. Hak
tersebut, di antaranya meliputi hak meraih pendidikan tinggi (Hogere Burgerschool dan School Tot Opleiding van inlandsche Artsen) dan hak hukum,
yakni forum Privilegiatum: Forum
sederajat dengan orang Eropa di depan pengadilan untuk bangsawan Pribumi sampai
ke bawah bergelar Raden Mas atau setarafnya dan anak sampai cucu bupati (Toer,
2009: 172).
Dengan demikian, sosok elite Pribumi yang Pramoedya tampilkan, kiranya pilihan
itu jatuh melalui tokoh Minke, yang digambarkan sebagai putra bupati yang
belajar di HBS. Dengan begitu, Pramoedya mengonstruksi kekuatan yang dimiliki
oleh seorang bangsawan seperti Minke dalam membangun kemajuan bangsanya.
Dengan
demikian, penulis beranggapan bahwa kebijakan Jaksa Agung di era Orde Baru dalam
hal pelarangan Bumi Manusia, yang dianggap menyebarkan paham
komunisme, tidaklah tepat. Sebab, kepengarangan Pramoedya dalam sudut tindakan
bahasa justru menonjolkan semangat nasionalismenya sebagai seorang pengarang.
Implikasi dari penyalahgunaan wewenang, sama saja dengan pelanggaran hak asasi
manusia dalam menyatakan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani, sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 28-F UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang ada,” (Wibowo, 2009: 2). Artinya, kebijakan
pemerintah Orde Baru saat itu tidak dilandasi dengan sikap arif dan cenderung
lebih menonjolkan arogansinya dalam hal menegakkan ketertiban umum. Padahal, pada 21 Desember 1979 Pramoedya
telah mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah
dan tidak terlibat dalam G30S (Toer, 2009:1). Maka, sudah sepatutnya wewenang
dan otoritas yang dimiliki Jaksa Agung dilandasi dengan kebijakan arif agar
tidak menyalahgunakan jabatannya.
Daftar Rujukan
Hellwig,
Tineke. 2007. Citra Kaum Perempuan di
Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ismatullah, Deddy dan Asep. A. Sahid Gatara. 2007. Ilmu Negara dalam Multi Perspektif:
Kekuasaan, Masyarakat, Hukum, dan Agama. Bandung: CV Pustaka Setia.
Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surabaya: Universitas
Sebelas Maret University Press.
Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail. 1995. Prahara Budaya. Bandung: Penerbit Mizan.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (edisi pertama). Jakarta:
Perum Balai Pustaka.
Toer, Pramoedya Ananta. 1995. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Lentera.
Toer, Pramoedya Ananta. 2009. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera
Dipantara.
Vlekke, Bernard H.M. 2010. Nusantara Sejarah Indonesia. Penerjemah: Samsudin Berlian. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Wibowo, Wahyu. 2009. Menuju
Jurnalisme Beretika. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar