CAFE BUDAYA GEMA FAJAR

Minggu, 08 Mei 2016

PRAM MEMBELA DIRI


            Mendengar nama Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya Pram), bagi sebagian orang mengacu kepada nama seorang sastrawan yang kerap dicap berideologi komunis. Jaksa Agung pada 1980-an (di era Orde Baru), misalnya, mengklaim bahwa roman Bumi Manusia sebagai karya yang menyebarkan paham Marxisme-Leninisme sehingga Bumi Manusia sempat dilarang tahun 1981. Selain Jaksa Agung, Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto adalah tokoh yang gencar menyerang Pramoedya sebagai sastrawan yang berafiliasi pada ideologi Marxisme-Leninisme. Dalam buku Prahara Budaya, yang ditulis oleh Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto (1995: 71), dinyatakan, “Surga dunia di Rusia tahun 1960, yang dipuja Pramoedya, itu tidak ada. Sayang sekali sastrawan terkemuka Indonesia telah berhasil dibina Uni Sovyet menjadi corong propaganda ideologi Marxisme-Leninisme, dan belakangan, menjelang gestapu (Gerakan September Tiga Puluh—Gema), dirangkul oleh RRC.”
            Karena banyak pihak yang menyerangnya, maka sejumlah karya Pram dilarang oleh Jaksa Agung di era Orde Baru. Roman Tetralogi Buru, yang dicap sebagai karya penyebar paham komunisme, terdiri atas Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Roman Rumah Kaca sendiri, dilarang oleh Jaksa Agung Sukarton pada 8 Juni 1988. Sebetulnya, selain Pramoedya masih banyak sejumlah buku yang dilarang oleh Jaksa Agung di era Orde Baru. Di antaranya adalah Memoar Oei Tjoe Tat (1995), dan Bayang-bayang PKI (1995), oleh Institut Studi Arus Informasi, yang dilarang karena berbau politis.
Berdasarkan kasus tersebut, saya pun tertarik untuk melakukan kajian atas salah satu roman yang pernah dilarang oleh Kejaksaan Agung pada 1981 (Toer, 2009: 1) itu, yakni roman Bumi Manusia karya Pram. Bumi Manusia ditulis Pram tahun 1975, dalam periode Orde Baru. Sebelum karya ini ditulis, Pramoedya menceritakannya terlebih dahulu (secara lisan) kepada teman-temannya ketika ia di penjara, di bawah pemerintahan Orde Baru, pada 1973. Seperti telah disinggung di atas, roman ini sempat dilarang Jaksa Agung pada 1981, di era Orde Baru lantaran dianggap menyebarkan paham Komunisme dalam sastra. Meskipun demikian, hingga saat ini roman tersebut telah diterjemahkan ke dalam tiga puluh bahasa (Toer, 2009:5).
            Dengan setting cerita di Jawa Timur, pada abad ke-19 menjelang awal abad ke-20, dalam karyanya ini Pramoedya bercerita tentang bibit pergerakan nasional. Melalui tokoh Minke, seorang pelajar Hogere Burgerschool (HBS), Pram menggambarkan perjalanan seorang Bumiputera yang memiliki kesadaran dalam menyikapi bangsanya. Kesadaran tokoh bernama Minke tersebut, merupakan cikal bakal terbentuknya pergerakan bangsa dan nasion Indonesia.
Berkat karyanya ini, Pram banyak menuai penghargaan dari luar negeri. Prestasinya di gelanggang sastra dan kebudayaan telah menghasilkan berbagai penghargaan internasional. Di antaranya, The PEN Freedom-to-write Award pada 1998; Ramon Magsaysay Award pada 1995; Fukuoka Cultur Grand Price, Jepang pada 2000; The Norwegian Authors Union pada 2003. Di samping itu, namanya sering kali masuk dalam daftar kandidat pemenang Nobel Sastra. Walaupun begitu, cap komunis masih lekat pada dirinya, sekalipun pada 1979 Pramoedya mendapat surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI (Toer, 1995: 315).
Sebaliknya, di negerinya sendiri ia justru menjadi tahanan politik di era Orde Baru selama empat belas tahun (1965—1979). Bahkan, sejak 1979 hingga 1999, ia masih dikenakan sebagai tahanan rumah, tahanan kota, dan tahanan negara, dan wajib lapor ke Komando Distrik Militer (KODIM) Jakarta Timur, satu kali seminggu, selama dua tahun (Toer, 2009: 1). Akan tetapi, bagaimanakah ungkapan bahasa Pram dalam Bumi Manusia? Apakah terdapat indikasi ideologi Komunisme dalam tulisan Pram? Bukankah yang tampak justru nilai-nilai nasionalisme yang sangat kental, karena Pram menggambarkan sebuah negeri jajahan yang memperjuangkan pembebasan dari praktek kolonialisme?

Pram dan Nasionalisme
Sejumlah permasalahan yang dibentuk Pram dalam novelnya ini tidak semata sebagai karya tanpa latar belakang. Karya sastra, setidaknya merupakan sarana bagi pengarang untuk meluapkan perasaan yang menyesakkan batinnya. Sebab, melalui sastra kata-kata tercipta untuk menjadi pedang perlawanan dan perisai pertahanan diri si pengarang.
Sehubungan dengan pernyataan Pram terhadap reaksi atas sistem kolonialisme dan pergerakan nasional yang tercermin dalam Bumi Manusia, maka hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari konsep nasionalisme. Nasionalisme adalah suatu paham yang menganggap bahwa kesetiaan tertinggi atas setiap pribadi (individu) harus diserahkan kepada negara-kebangsaan. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1988:610), nasionalisme adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Sementara, dalam Kamus Politik, nasionalisme adalah perasaan atas dasar kesamaan asal-usul, rasa kekeluargaan, rasa memiliki hubungan-hubungan yang lebih erat dengan sekelompok orang daripada dengan orang-orang lain, dan mempunyai perasaan berada di bawah satu kekuasaan. Nasionalisme diperkuat oleh adanya tradisi, adat-istiadat, dongeng-dongeng, dan mitos-mitos, serta oleh satu bahasa yang sama; semangat kebangsaan (Ismatullah dan Gatara, 2007: 140).
Lebih lanjut, Berdasarkan proses pembentukannya, nasionalisme menurut Nurcholis Madjid (dalam Ismatullah dan Gatari, 2007: 141), mengandung beberapa prinsip umum, antara lain:
1.         kesatuan (unity), yang mentransformasikan hal-hal yang polimorfik menjadi monomorfik sebagai produk proses integrasi;
2.         kebebasan (liberty), khususnya bagi negeri-negeri jajahan yang memperjuangkan pembebasan dari kolonialisme;
3.         kesamaan (equality), sebagai bagian implisit dari masyarakat demokratis yang merupakan antitesis dari masyarakat kolonial yang diskriminatif dan otoriter;
4.         kepribadian (identity), yang lenyap karena negasi kaum kolonial; dan
5.         prestasi amat diperlukan untuk menjadi sumber inspirasi dan kebanggan bagi warga negara.
Berdasarkan sejumlah ciri-ciri nasionalisme menurut Nurcholis Madjid di atas, kiranya banyak terdapat dalam Bumi Manusia. Misalnya, prestasi yang diraih oleh seorang pribumi, yakni pada tokoh Minke sebagai siswa terbaik HBS di Surabaya. Minke melampaui para siswa lainnya yang berdarah indo maupun Eropa totok. Hal ini, sengaja Pram ungkapkan melalui Bumi Manusia agar bangsanya menyadari bahwa bangsa Indonesia mampu bersaing dengan bangsa lain, bahkan melampaui bangsa-bangsa lainnya. Artinya, tindakan bahasa Pramoedya lebih mengungkapkan isu pembentukan nasionalisme ketimbang komunisme.

Semangat Nasionalisme Pram dalam Bumi Manusia
Pertama, mari kita lihat pembelaan diri seorang Pram melalui ungkapan tokoh Nyai Ontosoroh kepada Minke mengenai orang-orang Eropa. Dalam hal ini, dikisahkan bahwa sejumlah media massa cetak milik Belanda di Surabaya menuduh Nyai Ontosoroh berindikasi melakukan pembunuhan terhadap Herman Mellema, yang meninggal keracunan minuman keras. Dari tuduhan yang mengalir tersebut, Nyai Ontosoroh menyatakan kegeramannya.
            “Tak bisa mereka melihat Pribumi tidak penyek terinjak-injak kakinya. Bagi mereka Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi pribumi pun sudah salah. Dilahirkan sebagai Pribumi lebih salah lagi. Kita menghadapi keadaan yang lebih sulit, Minke, anakku!” (Bumi Manusia, 2009: 413)
            Berdasarkan tindak ilokusi menyangka, kutipan di atas diberi pemaknaan sebagai ekspresi luapan Pram terhadap perlakuan orang Eropa kepada bangsa kita. Kaum pribumi adalah objek utama yang menjadi bulan-bulanan tatkala permasalahan sosial hadir. Pada ungkapan, “Bagi mereka Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi pribumi pun sudah salah,” adalah pernyataan Pramoedya terhadap orang Eropa yang dengan sewenang-wenang menganggap Pribumi sebagai bangsa yang hina dan selalu salah. Dalam kutipan tersebut tampak tercermin rasa kepedulian Pram terhadap bangsanya yang mengalami penderitaan sebagai dampak dari penjajahan. Dalam hal ini, ia hendak menegaskan, bahwa dirinya menentang keras tindak diskriminatif dan otoriter.
            Di samping itu, perlawanan Pramoedya sebagai pernyataan sikapnya terhadap sistem penjajahan, juga tercermin pada tokoh Minke berikut, yang mulai menyadari bahwa bangsa Eropa tidak berlaku adil bagi bangsanya.
            “Benar, ini tak lain dari perkara bangsa kulit putih menelan Pribumi, menelan Mama, Annelies dan aku. Barangkali ini yang dinamai perkara kolonial—sekiranya penjelasan Magda Peters benar—perkara menelan Pribumi bangsa jajahan.” (Bumi Manusia, 2009: 495)
Berdasarkan tindakan bahasa Pram di atas, diberi pemaknaan bahwa praktek kolonialisme di Hindia-Belanda hanyalah praktek menelan Pribumi sebagai bangsa jajahan. Dalam kutipan tersebut, tampak Pram menyuarakan aspirasinya terhadap negasi kaum kolonial yang hanya memihak kaum tertentu saja yang memiliki hak istimewa. Dalam sejumlah perkara, pribumi mustahil dapat memenangkannya. Pramoedya, menyadari hal itu. Meskipun tidak ada bukti kaum pribumi tidak memiliki kesalahan, namun praktik kolonial yang memiliki kekuasaan penuh terhadap rakyat pribumi dapat melakukan apa pun sesuai kewenangannya. Akan tetapi, kewenangan tersebut seringkali disalahgunakan hanya untuk membungkam kaum pribumi yang berani melawan. Bahkan, kebebasan berpendapat saat itu masih terbatas. Sebab, kaum pribumi pada saat itu masih belum memiliki kesetaraan status dengan penduduk Eropa di Hindia-Belanda. Suatu catatan dalam buku Nusantara Sejarah Indonesia (2010) yang ditulis Vlekke, menjelaskan hal tersebut.
Vlekke (2010: 384) berkata bahwa pada 1899 pemerintah Belanda telah memberikan warga negara Jepang kesetaraan status dengan orang Eropa, dan setelah 1909 seorang Jepang memegang jabatan konsul di Batavia. Terlebih lagi, kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905 memperkuat wibawa Jepang di dunia internasional. Hal ini, mendorong pemimpin-pemimpin Indonesia mencari kesetaraan hak dengan penduduk Eropa di negeri mereka. Akan tetapi, barulah pada 1900 pemerintah Batavia mulai mencurahkan energi besar pada perluasan pengetahuan di kalangan orang Indonesia dan mendirikan sekolah Belanda dan Indonesia berdampingan. Itupun, masih diwarnai dengan tindak diskriminasi dan ecehan dari siswa Eropa terhadap siswa pribumi.
            Pernyataan Pramoedya berkenaan dengan perlawanannya terhadap sistem kolonialisme, juga tercermin dalam tindak ekspositif melalui sebuah pengibaratan. Dalam hal ini, Nyai Ontosoroh berucap kepada Minke ihwal perasaan kaum pribumi yang hendak melawan kaum penguasa kolonial.
Ya, Nak, Nyo, memang kita harus melawan. Betapapun baiknya orang Eropa itu pada kita, toh mereka takut mengambil risiko berhadapan dengan keputusan hukum Eropa, hukumnya sendiri, apalagi kalau hanya untuk kepentingan Pribumi. Kita takkan malu bila kalah. Kita harus tahu mengapa. Begini, Nak, Nyo, kita, Pribumi seluruhnya, tak bisa menyewa advokat. Ada uang pun belum tentu bisa. Lebih banyak lagi karena tak ada keberanian. Lebih umum lagi karena tidak pernah belajar sesuatu. Sepanjang hidupnya Pribumi ini menderitakan apa yang kita deritakan selama ini. Tak ada suara, Nak, Nyo—membisu seperti batu-batu kali dan gunung, biarpun dibelah-belah jadi apa saja. Betapa akan ramainya kalau semua mereka bicara seperti kita. Sampai-sampai langit pun mungkin akan roboh kebisingan.” (Bumi Manusia, 2009: 499)
Pribumi yang tidak dapat menyatakan suaranya tersebut, Pramoedya mengibaratkannya sebagai batu-batu kali dan gunung yang selalu membisu. Bila semua batu-batu yang membisu itu berbicara (kaum Pribumi), langit pun akan roboh kebisingan (langit mengacu pada ketinggian—Eropa yang berkuasa). Berarti, Pramoedya mengingatkan bahwa apabila integrasi antarbangsa-bangsa kaum pribumi di Hindia-Belanda terjalin, maka bangsa-bangsa pribumi tersebut dapat melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Berkaitan dengan hal di atas, tampaknya Pramoedya tanpa tidak disengaja menggambarkan pernyataan penolakannya terhadap kolonialisme. Tindak diskriminasi serta pemerasan terhadap kaum pribumi, adalah sejarah kelam dari hasil yang dituai dari sistem kolonialisme. Pramoedya menggambarkannya dengan adegan di mana Maurits Mellema, berdasarkan wewenang pemerintah kolonial, berhak mendapatkan warisan Herman Mellema. Padahal, warisan yang meliputi peternakan, perladangan, serta perusahaan itu adalah hasil jerih payah seorang perempuan Pribumi, yakni Nyai Ontosoroh. Akan tetapi, tindak diskriminatif berlaku bagi pribumi yang dianggap hina. Meskipun Nyai Ontosoroh membangun dan menyukseskan perusahaan Boerderij Buitenzorg, namun hukum koloniallah yang berhak memutuskan jatuh kepada siapa warisan tersebut. Hal ini, sejalan dengan yang dikatakan oleh Hellwig dalam bukunya Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (2007: 38), bahwa seorang Nyai boleh dikatakan tak punya hak apa pun, tidak punya hak atas anaknya, pun tidak atas posisinya sendiri. Dari sini lah Pram menaswirkan bibit pergerakan nasional kaum perempuan.

Bibit Pergerakan Nasional Kaum Perempuan
Berhubungan dengan analisis sebelumnya, kutipan di bawah ini merupakan gambaran bagaimana tokoh Nyai Ontosoroh memulai kariernya sebagai pengusaha yang akan menyukseskan perusahaan Boerderij Buitenzorg. Kutipan berikut, adalah tindak memproklamirkan Nyai Ontosoroh kepada Annelies. Nyai Ontosoroh menceritakan pengalaman kehidupannya ketika bersama Herman Mellema. Ia tidak saja menceritakan pengalamannya pertama kali bertemu dengan Herman Mellema, tetapi juga keberhasilannya dalam memeroleh ilmu pengetahuan dan perusahaan.
            “Dengan uang itu aku beli pabrik beras dan peralatan kerja lainnya. Sejak itu perusahaan bukan milik Tuan Mellema saja sebagai tuanku, juga milikku. Kemudian aku mendapat juga pembagian keuntungan selama lima tahun sebesar lima ribu gulden. Tuan mewajibkan aku menyimpannya di bank atas namaku sendiri. Sekarang perusahaan dinamai Boerderij Buitenzorg. Karena semua urusan dalam aku yang menangani, orang yang berhubungan denganku memanggil aku Nyai Ontosoroh, Nyai Buitenzorg.” (Bumi Manusia, 2009: 135)
Dalam kutipan “Sejak itu perusahaan bukan milik Tuan Mellema saja sebagai tuanku, juga milikku”, Nyai Ontosoroh memproklamirkan bahwa perusahaan itu juga miliknya. Kemudian, pada kalimat “Sekarang perusahaan dinamai Boerderij Buitenzorg. Karena semua urusan dalam aku yang menangani …. ”, Nyai Ontosoroh memproklamirkan bahwa semenjak semua urusan dalam perusahaan ditangani olehnya, perusahaan itu dinamai Boerderij Buitenzorg. Lalu, pada kalimat “ …. Orang yang berhubungan denganku memanggil aku Nyai Ontosoroh, Nyai Buitenzorg”, adalah pernyataan Nyai Ontosoroh yang bermakna sebagai pemegang perusahaan besar meskipun hanya seorang Nyai.
Seorang pengarang yang memiliki kesadaran nasional seperti Pramoedya, hendak mengingatkan bahwa kaum pribumi pun mampu mandiri. Seperti halnya Nyai Ontosoroh, kaum pribumi pun mampu menyerap ilmu pengetahuan, sehingga kiat-kiat perdagangan mampu dilakoni oleh Nyai Ontosoroh, meskipun dirinya perempuan pribumi. Dalam hal ini, Pramoedya bermaksud menyatakan bahwa bangsa-bangsa kaum pribumi mampu menjalankan hidupnya atas dasar keringat dan kemampuan sendiri. Di samping itu, pengalihan perusahaan atas nama Herman Mellema menjadi atas nama Nyai Ontosoroh, sebagaimana tercermin dalam kutipan tindak memproklamirkan di atas, penulis mengaitkannya dengan apa yang diistilahkan dengan nasionalisasi asset asing menjadi milik bangsa.

Integrasi Bangsa-bangsa Melawan Kekuatan Penjajah
Adapun penggambaran sejumlah pergerakan bangsa-bangsa melawan penjajahan merupakan salah satu semangat nasionalisme Pramoedya sebagai pengarang. Timbulnya perlawanan bangsa Aceh pada Perang Aceh, merupakan peristiwa yang hendak disampaikan Pramoedya sebagai salah satu contoh bibit pergerakan nasional menuju integrasi. Kemudian, reaksi Nyai Ontosoroh dalam mempertahankan hak asasinya sebagai manusia di muka persidangan, adalah maksud Pramoedya dalam menyatakan bahwa bangsa-bangsa kaum pribumi mampu berjuang menjalankan hidupnya atas dasar keringat dan kemampuan sendiri. Hal ini, merupakan perlawanan terhadap sistem kolonial yang oleh Nurcholis Madjid dikatakan diskriminatif dan otoriter. Lebih jauh, Pramoedya juga hendak menyampaikan melalui Bumi Manusia bahwa identitas kita sebagai bangsa Indonesia tidaklah harus lenyap oleh negasi kaum kolonial. Dengan  demikian, Pramoedya menggambarkan karakteristik orang Aceh, identitas orang Jawa, dan lain sebagainya semata agar kita sebagai bangsa yang heterogen tidak melenyapkan adat serta tradisi yang berlaku dalam tiap-tiap bangsa yang ada di Indonesia. Misalnya, seperti tindakan bahasa memproklamirkan yang diutarakan oleh tokoh Minke berikut,
Pada cermin kutemui diriku seperti satria pemenang dalam cerita Panji. Di bawah bajuku menjulur selembar kain beledu tersulam benang emas. Jelas aku keturunan satria Jawa maka sendiri seorang satria Jawa juga.” (Bumi Manusia, 2009: 198)
Pengalaman di Aceh membikin ia mengakui: prasangkanya tentang kemampuan perang Pribumi ternyata keliru. Kemampuan mereka tinggi, hanya peralatannya rendah; kemampuan berorganisasi juga tinggi ... Prasangkaku, sekali waktu ia bercerita, bahwa parang dan tombak, dan ranjau Aceh, takkan mampu menghadapi senapan dan meriam, juga keliru. Orang Aceh punya cara berperang khusus. Dengan alamnya, dengan kemampuannya, dengan kepercayaannya, telah banyak kekuatan Kompeni dihancurkan. Aku heran melihat kenyataan ini, tambahnya lagi. Mereka membela apa yang mereka anggap jadi haknya tanpa mengindahkan maut. Semua orang, sampai pun kanak-kanak! Mereka kalah, tapi tetap melawan. Melawan, Minke, dengan segala kemampuan dan ketakmampuan.” (Bumi Manusia, 2009: 86—87)
            Dalam ungkapan, ”Orang Aceh punya cara berperang khusus. Dengan alamnya, dengan kemampuannya, dengan kepercayaannya, telah banyak kekuatan Kompeni dihancurkan,” adalah tindakan bahasa perlokusi meyakinkan Pramoedya bahwa orang Aceh juga punya cara berperang khusus sehingga kekuatan musuh dapat dihancurkan. Mulai dari kanak-kanak pun rela mati demi mempertahankan sesuatu yang dianggap menjadi haknya. Dalam tindak perlokusi, Pramoedya juga hendak mengajak kita agar kita bangga menjadi anak bangsa, yang memiliki keberagaman dan kekayaan budaya, bahasa, dan sumber daya alam yang dikagumi dan diakui oleh dunia internasional. Hal ini, selaras dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang termaktub dalam Pancasila, yang berarti “berbeda-beda suku, agama, dan ras namun tetap satu tujuan”.

Aspirasi Pram Terhadap Nasionalisasi Aset
            Pram agaknya menaruh kepedulian mendalam mengenai sejumlah perusahaan Indonesia yang sebagian besar dikuasai bangsa asing, sebagaimana tampak tercermin dalam kutipan berikut.
            “Dengan uang itu aku beli pabrik beras dan peralatan kerja lainnya. Sejak itu perusahaan bukan milik Tuan Mellema saja sebagai tuanku, juga milikku. Kemudian aku mendapat juga pembagian keuntungan selama lima tahun sebesar lima ribu gulden. Tuan mewajibkan aku menyimpannya di bank atas namaku sendiri. Sekarang perusahaan dinamai Boerderij Buitenzorg. Karena semua urusan dalam aku yang menangani, orang yang berhubungan denganku memanggil aku Nyai Ontosoroh, Nyai Buitenzorg.” (Bumi Manusia, 2009: 135)
Dari kutipan di atas, tampak Pramoedya menekankan perhatiannya terhadap permasalahan aset di Indonesia. Terdapat banyak perusahaan yang berdiri di Indonesia, namun otoritas penuh dipegang oleh pihak asing. Melalui kutipan ini, Pramoedya hendak menyatakan bahwa Pribumi pun sebenarnya mampu mengelola aset-aset tersebut berdasarkan kemampuannya sendiri tanpa bergantung kepada pihak asing. Melalui tokoh Nyai Ontosoroh, Pramoedya menggambarkan seorang pribumi yang mampu menguasai aset asing dan Pramoedya juga berharap agar pribumi pun hendaknya mengelola dan memiliki aset-aset asing yang terdapat di Indonesia dengan kemampuan sendiri.

Pengaruh Lingkungan
Proses kreatif kepengarangan Pramoedya, juga tampak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial kehidupannya. Sebagaimana diketahui, Pramoedya lahir pada 6 Februari 1925, di Blora, Jawa Tengah. Blora merupakan daerah bagian kelompok masyarakat Samin yang dikenal antiperaturan kolonialis. Kahin (1995: 56), misalnya, mengatakan bahwa salah satu contoh terbaik dari aksi protes kaum tani diwujudkan oleh pergerakan Samin yang mulai dicetuskan pada 1890 di wilayah Blora, bagian Timur laut Jawa Tengah. Menjelang tahun 1907, ketika pemerintah menangkap dan memenjarakan Samin beserta delapan petani terkemuka lainnya, gerakan tersebut telah mencakup 3.000 kepala keluarga. Sejak itu, gerakan tersebut terus menyebar, dan meskipun pada umumnya melakukan perlawanan secara pasif terhadap kekuasaan pemerintah, toh mengakibatkan beberapa kerusuhan yang serius di wilayah Pati, pada 1914.
Ciri pokok pergerakan Samin ini adalah keinginan kaum tani untuk memeroleh kebebasan menuntut jalan hidupnya sendiri tanpa campur tangan pemerintah, dan untuk kembali kepada suatu organisasi sosial yang komunalistis berdasarkan atas persamaan ekonomi antarindividunya, dan atas pemilikan tanah serta pemungutan hasil secara wajar.
Hal di atas, kiranya sedikit menerangjelaskan mengapa perlawanan Pramoedya terhadap sistem kolonial dalam Bumi Manusia begitu sengit.  Seperti terdapat dalam Bumi Manusia, Pram tampak mengagungkan Max Havelaar karya Multatuli. Sebab, karya sastra yang menaruh simpati terhadap penderitaan kaum Pribumi pada saat itu adalah Max Havelaar sekalipun penulisnya seorang Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa semangat nasionalisme Pram tidak dipengaruhi oleh unsur sentimen ras.
Pengejawantahan penderitaan kaum Pribumi dan meningkatnya kesadaran politis ke dalam suatu nasionalisme yang bisa mengemukakan pendapat, hanya tinggal menanti munculnya seorang elite Indonesia untuk memimpinnya. Yang dimaksud dengan elite Indonesia tersebut, adalah kaum bangsawan yang pada saat itu berhak memeroleh pendidikan yang layak. Tokoh Minke dalam Bumi Manusia, adalah kaum elite yang dimaksud. Sebab, sebagai anak bupati Bojonegoro, ia memiliki banyak hak, tidak seperti kaum Pribumi lainnya. Hak tersebut, di antaranya meliputi hak meraih pendidikan tinggi (Hogere Burgerschool dan School Tot Opleiding van inlandsche Artsen) dan hak hukum, yakni forum Privilegiatum: Forum sederajat dengan orang Eropa di depan pengadilan untuk bangsawan Pribumi sampai ke bawah bergelar Raden Mas atau setarafnya dan anak sampai cucu bupati (Toer, 2009: 172). Dengan demikian, sosok elite Pribumi yang Pramoedya tampilkan, kiranya pilihan itu jatuh melalui tokoh Minke, yang digambarkan sebagai putra bupati yang belajar di HBS. Dengan begitu, Pramoedya mengonstruksi kekuatan yang dimiliki oleh seorang bangsawan seperti Minke dalam membangun kemajuan bangsanya.
Dengan demikian, penulis beranggapan bahwa kebijakan Jaksa Agung di era Orde Baru dalam hal pelarangan Bumi Manusia, yang dianggap menyebarkan paham komunisme, tidaklah tepat. Sebab, kepengarangan Pramoedya dalam sudut tindakan bahasa justru menonjolkan semangat nasionalismenya sebagai seorang pengarang. Implikasi dari penyalahgunaan wewenang, sama saja dengan pelanggaran hak asasi manusia dalam menyatakan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28-F UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada, (Wibowo, 2009: 2). Artinya, kebijakan pemerintah Orde Baru saat itu tidak dilandasi dengan sikap arif dan cenderung lebih menonjolkan arogansinya dalam hal menegakkan ketertiban umum. Padahal, pada 21 Desember 1979 Pramoedya telah mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S (Toer, 2009:1). Maka, sudah sepatutnya wewenang dan otoritas yang dimiliki Jaksa Agung dilandasi dengan kebijakan arif agar tidak menyalahgunakan jabatannya.


Daftar Rujukan

Hellwig, Tineke. 2007. Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ismatullah, Deddy dan Asep. A. Sahid Gatara. 2007. Ilmu Negara dalam Multi Perspektif: Kekuasaan, Masyarakat, Hukum, dan Agama. Bandung: CV Pustaka Setia.
Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surabaya: Universitas Sebelas Maret University Press.
Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail. 1995. Prahara Budaya. Bandung: Penerbit Mizan.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi pertama). Jakarta: Perum Balai Pustaka.
Toer, Pramoedya Ananta. 1995. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Lentera.
Toer, Pramoedya Ananta. 2009. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.
Vlekke, Bernard H.M. 2010. Nusantara Sejarah Indonesia. Penerjemah: Samsudin Berlian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Wibowo, Wahyu. 2009. Menuju Jurnalisme Beretika. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.




Share This

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By Blogger Templates