Kita
duduk lagi di beranda depan
seperti
saat kusematkan cincin pinangan
pada
jemarimu yang berbalut satin
bagai
sepasang raja atau ratu di atas puadai pengantin
dan
jemari kita pun bergamitan
melepas
rindu yang dulu tertahankan,
lalu
mengekal dalam kelopak melati yang bermekaran.
Lantas
kukumpulkan serpihan emas murni
pada
cinta kita yang kini luntur oleh pertikaian
dan
tengah sekarat dalam prahara yang sulit diterjemahkan
kemudian
kelopak melati itu pun layu
tak
sabar sudah lama menanti
hingga
ia terkulai dan berjatuhan mati.
Lalu
kau mengajakku cepat-cepat makan
dengan
dalih merayakan hari kemenangan
namun
setelah kusadari,
ternyata
itu caramu untuk mengusirku pergi
sebab
saat itu,
kulihat
raut wajahmu tidak lagi asri
senyummu
tampak terpaksa
matamu
enggan menatapku lama-lama
tiada
lagi candaan dan tawa
yang
menghiasai cengkerama kita
seperti
dulu saat di depan beranda.
Berkali-kali
pula kau tampak mual
saat
melihatku berlama-lama di sana.
padahal
aku membawa rembulan di siang itu
agar
kau dan anak kita tak segan duduk di pangkuan imamnya
untuk
membasmi gelisah
dan
menghancurkan ombak hingga terpecah belah
Sementara,
kulihat anakku memandang ayahnya
di
antara celah keranjang serta mainan kuda tunggangan
ia
coba menafsirkan sebuah perkara
dengan
menatap sayu dan berdiam lesu
mungkin
ia tak lagi menangkap kehangatan seperti dulu
saat
ayah dan ibunya berbarengan memeluknya
saat
ibu dan ayahnya mencium pipi kiri dan kanannya
lalu
si ayah beranjak pulang,
sedang
si anak berharap ayahnya datang kembali
membawa
rembulan itu ke pangkuannya lagi.
Bogor,
27 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar